INFO
  • Tentang Kincir
  • Karier
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Follow Us :
Fakta di Balik Terciptanya Semboyan Bhineka Tunggal Ika
Epic Life , Top List

Fakta di Balik Terciptanya Semboyan Bhineka Tunggal Ika

By Teman Rakyat / 30 Januari 2017

Orang-orang sering banget ngomongin soal Bhineka Tunggal Ika, dan mengakui kalimat tersebut sebagai semboyan negara Indonesia. Sayangnya, enggak semua orang bener-bener menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, terutama di sosial media.

Viki sebetulnya enggak heran waktu situs Alexa.com mencatat penurunan trafik Facebook Indonesia dari yang selalu ada di 10 besar, jadi 13 besar. Soalnya, enggak cuma banyak yang menyebarkan berita HOAX, ada banyak orang yang membuat status-status yang menyinggung agama, ras, dan juga suku. Hal itu bikin banyak orang yang masih waras jadi jengah, dan berpikir kalau buka Facebook cuma akan bikin mereka makin pesimistis sama negara ini.

Dari dulu, semestinya kita tau kalau menyinggung agama, ras, dan suku itu adalah sesuatu yang enggak sopan, menyakitkan hati orang, dan juga bisa membuat kita terseret kasus hukum. Sayangnya orang-orang pada termakan ego sendiri dan melupakan hal tersebut. Mereka lupa kalau manusia tuh emang diciptakan berbeda-beda, supaya mereka saling mengenal dan melengkapi. Semua agama juga mengajarkan toleransi seperti itu. Dan semboyan negara kita pun memuat hal tersebut. Sedih aja sih kalau pada akhirnya banyak yang lupa, dan semboyan negara serta Burung Garuda cuma dijadikan pajangan aja. Untuk itu, yuk mendingan kita simak, ada apa aja sih di balik semboyan Bhineka Tunggal Ika ini?

1. Diambil dari Lontar Sutasoma

Istilah Bhineka Tunggal Ika sebetulnya diambil dari Lontar  Sutasoma karya Mpu Tantular. Kita semua pasti sering mendengar nama ini. Yap, Mpu Tantular adalah seorang pujangga ternama yang hidup pada abad ke-14 di Majapahit. Dia sebetulnya masih kerabat kerajaan pada masa pemerintahan Raja Rajasanegara itu.

Istilah Bhineka Tunggal ika diambil dari salah satu penggalan kakimpoi alias Syair Sutasoma. Begini nih bunyinya dalam Bahasa Sansekerta, dan diterjemahkan ke Bahasa Indonesia:

Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Nah, ini nih terjemahannya:

Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.

 

Mpu Tantular merupakan penyair yang beragama Budha, tetapi beliau sangat menghargai perbedaan agama, terutama agama Hindu yang pada saat itu memang menjadi agama dominan di Indonesia. Lo liat deh syair di atas, maknanya tuh dalam banget. Bahwa meskipun zat-zatnya berbeda, tetapi toh tetep kebenaran itu tunggal.  Dan istilah Bhineka Tunggal Ika sendiri artinya terpecah belah, tetapi satu juga. Maksud dari terpecah belah itu adalah, manusia itu enggak ada yang sama, beda-beda kayak kalau lo lihat pecahan kaca atau puzzle yang belum dirangkai. Tetapi perbedaan itu justru bisa menyatukan mereka. Ya lo bayangin aja, kalau semua puzzle itu sama, emang bisa disatuin?

2. Bukan “ciptaan Bung Karno”

Dalam buku karangan Mohammad Hatta alias Bung Hatta yang berjudul Bung Hatta Menjawab, dituliskan bahwa Bung Karnolah yang menciptakan istilah “Bhineka Tunggal Ika”. Buku itu enggak salah, tetapi, pemaknaan orang-orang bisa jadi salah, karena yang dimaksud dengan kalimat “ciptaan Bung Karno” adalah bahwa Bung Karno adalah yang mengusulkan ditambahkannya frasa itu di dalam pita yang dicengkram oleh Burung Garuda.

Sebelumnya, Burung Garuda direncanakan mencengkram pita merah-putih. Namun Bung Karno mengatakan bahwa lebih baik kalau pita yang dicengkram oleh Burung Garuda diganti menjadi pita putih dan dituliskan kalimat Bhineka Tunggal Ika di atasnya. Penggantian itu memang membuat simbol negara kita jadi lebih keren, dan tentunya lebih filosofis.

3. Disimpan di Perpustakaan Leiden

Karena negara kita erat kaitannya sama Belanda, maka enggak heran kalau banyak transkrip-transkrip lama Nusantara dari jaman kerajaan dulu yang disimpan di Leiden, Belanda. Lagipula, sejarah bangsa kita tuh emang menarik banget buat ditelusuri, karena keunikan dan keragamannya.

Sebelum diselidiki kembali oleh Muhammad Yamin, semboyan ini diselidiki pertama kali sama Johan Hendrik Caspar Kern, atau yang lebih dikenal dengan nama Prof. H. Kern. Prof H. Kern ini adalah seorang pakar linguistik dan orientalis Belanda pada saat itu. Nah, transkrip Sutasoma sendiri disimpen di Perpustakaan Leiden, dan bait yang mengandung istilah Bhineka Tunggal Ika ini ada di lembar 120 lontar Sutasoma.

4. Tidak hanya tentang persatuan suku

Bhineka Tunggal Ika erat kaitannya sama persatuan suku yang berbeda-beda. Maklum, Indonesia, yang dulunya merupakan Nusantara adalah kesatuan dari berbagai suku dan kerajaan-kerajaan dengan budaya yang berbeda-beda. Sampai sekarang, Indonesia pun masih terdiri atas masyarakat dengan suku, agama, dan budaya yang berbeda, makanya orang yang rasis seringkali mesti ditampol dan diingetin kalau semboyan negara kita tuh Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi tetep satu. Jadi kalau rasis dan enggak mau menerima perbedaan, mendingan dia keluar aja jauh-jauh dari Indonesia.

Namun menurut Sutan Hamid II, dalam transkrip pada tahun 1967, disebutkan bahwa semboyan Bhineka Tunggal Ika itu enggak cuma tentang perbedaan suku budaya yang harus disatukan, tetapi juga perbedaan pemikiran. Menurut Sutan Hamid, Soekarno menggambarkan Bhineka Tunggal Ika juga sebagai persatuan pemikiran federalis dan juga kesatuan di Republik Indonesia Serikat (nama Indonesia pada saat itu). Nah, karena Bhineka Tunggal Ika juga mencakup persatuan pemikiran yang berbeda-beda, maka sebagai orang Indonesia, maka lo juga harus menghargai pemikiran orang lain dan enggak asal menghakimi pemikiran orang lain sebagai pemikiran yang enggak bener. Bisa aja orang lain sama benernya sama lo, tapi mereka punya perspektif yang berbeda aja.

***

Menilik sejarah Bhineka Tunggal Ika, rasanya miris aja sih melihat banyak orang yang kelihatan enggak menghargai perbedaan dan terang-terangan menghina orang lain yang berbeda sama mereka. Seolah-olah Burung Garuda dan semboyan negara sekarang cuma dianggap pajangan aja sama mereka. Nah, jangan pernah deh lo menciderai apa yang udah dibangun sama para pemikir dan pejuang jaman dulu. Daripada kebanyakan menjelek-jelekkan orang lain yang beda sama lo, mending lo belajar lagi aja sejarah bangsa, oke?

bhineka tunggal ikaindonesiaKehidupan2016

Related Article

Voucher Game

Close Ads X
© 2019 PT Gajah Merah Terbang. All rights reserved.