7 Perusahaan Video Game Terburuk Sepanjang Masa

Siapa yang bakal lo salahkan pertama kali saat lo bermain game jelek? Udah pasti jawabannya adalah sang developer atau publisher game tersebut. Yap, enggak ada lagi yang bisa disalahin karena merekalah pihak yang bertanggung jawab atas bagus atau jeleknya sebuah game.

Game dibuat dengan tujuan membuat pemainnya ngerasa bahagia. Beberapa developer atau publisher game yang akan dibahas di bawah ini justru melakukan hal sebaliknya. Mereka enggak cuma bikin game jelek. Bahkan, ada beberapa game yang diciptakan para developer buruk ini diakui sebagai yang terbaik sepanjang masa.

Kalau mau tahu game terbaik kekinian, lo bisa baca Game Terbaik yang Dirilis Februari 2018.

Sayangnya, mereka malah menghancurkannya dengan berbagai cara. Misalnya menambahkan konten DLC yang enggak penting tapi berbayar. Atau, membuat sekuel yang sebenarnya murni daur ulang dari seri pendahulunya. Ngeselin banget, ‘kan? Nah, buat lo yang ngerasa kesel, inilah mereka yang berhak masuk daftar perusahaan game terburuk sepanjang masa.

 

1. Electronic Arts

Via Istimewa

Daftar ini enggak bakal relevan tanpa memasukkan Electronic Arts (EA) ke dalamnya. Yap, EA diakui sebagai salah satu developer game terburuk yang pernah ada. Perusahaan yang berdiri sejak 1982 ini mendapat “gelar kehormatan” sebagai perusahaan terburuk di Amerika Serikat selama dua tahun berturut-turut (2012—2013). Yap, bukan cuma perusahaan game, tapi perusahaan secara keseluruhan!

Kejahatan EA yang paling terlihat adalah perlakuan mereka terhadap developer game lain yang lebih kecil darinya. EA memang rajin mengakuisisi perusahaan game dan menjadikannya anak perusahaan, sebut aja Maxis, Origin, dan Pandemic. Game yang tadinya bagus saat dikembangkan oleh developer orisinal dibuat jadi lebih buruk setelah EA mengakuisisinya. Contohnya aja waralaba The Sims yang anjlok setelah The Sims 2.

Via Istimewa

Kasus The Sims inilah yang bikin gamers di seluruh dunia jadi benci setengah mati sama EA. Setelah The Sims 2 yang murni dikembangkan Maxis sebelum diakuisisi The Sims Studio, waralaba ini seperti kehilangan arahnya. Di saat kualitas gameplay menurun, tingkat mata duitan EA justru semakin meningkat. EA memaksa pelanggannya untuk mengunduh dan membayar DLC berupa expansion packs yang seharusnya udah termasuk di dalam game.

Lebih parahnya lagi, jika sebuah game enggak perform, EA enggak segan bakal langsung menutup segala kemungkinan untuk sekuel, termasuk menutup developer yang jadi anak perusahaan EA. Westwood Studios (Red Alert) dan Visceral Game (Dead Space) adalah contoh developer malang yang terkena “eksekusi mati” EA tersebut.

Udah tahu 7 Dosa Besar Electronic Arts sebagai Game Developer?

Ah, bakal enggak kelar-kelar kalau ngebahas dosa-dosa EA dalam artikel ini. Tungguin aja pembahasan tentang dosa EA lainnya dalam artikel selanjutnya!

 

2. Activision

Via Istimewa

Perusahaan penerbit game asal Amerika Serikat ini adalah pihak yang paling pantas disalahkan atas makin jebloknya waralaba Call of Duty. Waralaba yang telah ada sejak 2003 ini sempat menikmati masa kejayaannya lewat game Call of Duty: Modern Warfare 1 dan 2 yang diakui sebagai game first person shooter (FPS) terbaik di abad milenium. Sayangnya, bukannya melihatnya sebagai peluang untuk mendekatkan diri kepada penggemar, Activision malah melihatnya sebagai peluang bisnis yang menggiurkan.

Enggak lama setelah merilis Modern Warfare 2, Activision menaikkan harga ritel game ini menjadi 59,99 dolar. Harga yang cukup mahal saat itu hanya untuk menebus satu keping CD. Parahnya, developer dan publisher lain ikut-ikutan menaikkan harga game rilisan terbarunya. Activision juga menjadikan tingkat kesulitan bermain "Veteran" dan "Hardened" sebagai konten berbayar untuk versi PC.

Via Istimewa

Faktor kejatuhan waralaba CoD enggak hanya itu. Beberapa tahun setelah perilisan Modern Warfare 2, CEO Activision, Bobby Kotick, memecat petinggi Infinity Ward yang telah berkontribusi besar kepada waralaba CoD sejak game pertamanya. Langkah ini pun membuat pengembangan Modern Warfare 3 berantakan dan enggak sebagus pendahulunya.

Kasus yang hampir sama juga terjadi pada waralaba game PlayStation 1 favorit kita semua, The Tony Hawk's Pro Skater. Hingga seri Pro Skater 4, waralaba game ini diakui sebagai yang terbaik di dunia dan bahkan bisa bersaing dengan waralaba Grand Theft Auto. Sayangnya, kerakusan Activision menjadi penyebab utama kejatuhan waralaba Tony Hawk's Pro Skater.

Via Istimewa

Saking ngebet ingin untung, Activision memaksa Neversoft untuk merilis seri terbaru setiap setahun sekali. Hal ini pun memaksa Neversoft enggak bisa maksimal mengembangkan gamenya. Hasilnya, setelah Pro Skater 4, seri penerusnya terlihat enggak punya jiwa hingga Activision “memecat” Neversoft dari waralaba ini dan menggantikannya dengan Robomodo pada 2008. Waralaba Tony Hawk's Pro Skater pun enggak bisa kembali berjaya hingga berakhir pada 2015.

 

3. Ubisoft

Via Istimewa

Thanks for Assassin's Creed and Far Cry, Ubisoft! Ada tapinya, nih. Andai, aja, Ubisoft enggak pernah ngerilis uPlay, mungkin publisher sekaligus developer game asal Perancis ini berhak dikeluarkan dari daftar “kehormatan” ini.

Bisa dibilang, platform uPlay adalah alasan kenapa banyak game Ubisoft yang dibajak. Platform sejenis Steam atau Origin (EA) ini mewajibkan pemainnya untuk tersambung ke jaringan internet saat bermain game. Tanpa uPlay, game-game keluaran Ubisoft enggak akan bisa dimainkan. Saat tersambung dengan jaringan internet, uPlay akan tetap mengganggu dengan notifikasi konten DLC.

Via Istimewa

Hal inilah yang bikin gamers lebih memilih menunggu bajakan gamenya keluar dibanding harus membeli kopian aslinya. Ubisoft pada akhirnya memang telah membatalkan fitur daring untuk uPlay yang memungkinkan bermain tanpa harus tersambung ke jaringan internet. Sayangnya, Ubisoft gagal meredakan budaya membajak yang seharusnya bisa dihindari jika mereka perhitungan dari awal.

 

4. Capcom

Via Istimewa

Di belahan dunia bagian barat, Capcom mungkin menjadi top 3 perusahaan game terburuk sepanjang masa. Developer dan publisher game asal Jepang ini memang dikenal terlalu bias ke regional asalnya. Contoh kasusnya bisa dilihat pada penutupan server Resident Evil Outbreak. Di saat game ini begitu digemari di Amerika Utara dan Eropa, Capcom justru memutuskan untuk menutup server-nya terlebih dulu 3,5 tahun dibanding server Jepang.

Perlakuan yang sama juga dilakukan Capcom pada game rilisan terbarunya. Beberapa game populer Capcom hanya dirilis di Jepang, Korea, dan Taiwan, tapi enggak dirilis di Amerika Utara atau pun Eropa. Alasannya, game-game tersebut enggak dirilis dalam versi bahasa Inggris. Apakah hal ini berarti Capcom memang malas menerjemahkan gamenya ke bahasa Inggris?

Via Istimewa

Untungnya, Capcom cukup terselamatkan dengan Resident Evil 7 yang terbukti bagus dan diakui sebagai salah satu seri Resident Evil terbaik. Prestasi ini cukup menutupi kebobrokan seri sebelumnya yang cukup mengganggu para penggemar Resident Evil. Sebut aja Resident Evil 5 dan 6 yang malah berfokus ke elemen laga dibanding horor.

 

5. Konami

Via Istimewa

Sebenarnya, dosa Konami enggak banyak. Sayangnya, perusahaan game asal Jepang ini lebih mementingkan egonya dibanding pendapat dan keinginan penggemarnya. Sekalinya mereka bikin dosa, penggemar melihatnya sebagai dosa yang sangat besar dan enggak bisa diampuni.

Keputusan Konami yang paling enggak termaafkan adalah memutus kerja sama dengan Hideo Kojima. Banyak yang menganggap keputusan ini adalah salah satu yang paling buruk sepanjang sejarah perkembangan video game. Kehilangan Kojima berarti Konami kehilangan salah satu waralaba game terbaik yang pernah dimilikinya, Metal Gear Solid. Meski waralaba ini berlanjut lewat Metal Gear Survive, penggemar tetap menganggap Metal Gear bukanlah Metal Gear tanpa kontribusi Kojima di dalamnya.

Via Istimewa

Dosa terbesar Konami lainnya adalah membiarkan Capcom bangkit melalui Resident Evil 7. Padahal, mereka punya kesempatan untuk mengubur dalam-dalam waralaba Resident Evil dengan game P.T. yang justru dibatalkan. Versi demo P.T. aja udah mampu bikin pemainnya takut setengah mati dan bikin penggemar lupa sama Resident Evil.

Nasib waralaba Winning Eleven atau Pro Evolution Soccer juga patut dipertanyakan. EA Sports perlahan bangkit dengan waralaba FIFA yang semakin hari semakin baik. Jika Konami terus merilis PES yang enggak ada bedanya dibanding versi sebelumnya, rasanya wajar jika FIFA makin menenggelamkan pamor PES.

 

6. Zynga

Via Istimewa

Ini dia “adiknya” EA. Keduanya sama-sama mata duitan dan bikin konten DLC secara harfiah ngeledek para pemainnya. Kenapa? Secara inovasi, Zynga patut diacungi jempol lewat fitur sinkronisasi waktu di dalam game dengan dunia nyata. Mereka juga menjadi yang pertama dalam fitur pertukaran mata uang beneran dan mata uang di dalam game.

Sayangnya, semua fitur ini dimanfaatkan untuk memaksa pemainnya bisa menyelesaikan game lebih cepat. Lo diwajibkan membayar agar waktu bisa berjalan cepat tanpa harus menunggu seharian penuh untuk menyelesaikan misi. Bicara soal game buatannya, Zynga dikenal suka plagiat game-game yang dikembangkan developer indie, seperti Epic Studio dan Nimble Bit.

 

7. Niantic

Via Istimewa

Niantic bisa jadi pelajaran bagi developer game di seluruh dunia agar enggak ngerilis game sebelum semuanya sempurna. Harus diakui, kesuksesan Pokémon Go saat pertama kali dirilis terbilang di luar perkiraan, bahkan bagi Niantic sendiri. Hasilnya, Niantic telanjur melepas game yang server-nya enggak mampu menampung pemain dengan jumlah banyak. Hasilnya, Pokémon Go “pecah”, dalam artian negatif, saat pertama kali rilis dengan berbagai isu terkait server.

Kecacatan Pokémon Go enggak cuma di masalah server. Niantic seperti lupa bahwa game buatannya ini menggunakan sistem GPS yang tersambung dengan sistem dalam game. Kecurangan pun enggak bisa terhindari sehingga membuat banyak gamers yang ogah bermain lagi.

Via Istimewa

Dosa lain Niantic adalah sifat PHP-nya. Contohnya saat mereka ingin merilis Pokémon Generasi 2. Di saat pemain berharap semua Pokémon langsung tersedia, kenyataannya cuma ada delapan yang bisa didapat. Itu pun enggak didapat di alam liar, melainkan melalui telur.

Pokémon Go saat ini telah jauh lebih stabil dan tetap dimainkan penggemar setianya. Namun, tetap aja rasanya sayang bagi Niantic untuk melewatkan kesempatan yang sangat besar hanya karena terlalu terburu-buru.

***

Meski “dosa” para perusahaan game ini enggak bisa diampuni, bukan berarti mereka enggak kredibel dalam urusan menciptakan game berkualitas. Ketujuhnya, enggak diraguin lagi, merupakan perusahaan-perusahaan yang udah punya nama dalam industri game dunia. Makanya, setiap kali mereka ngerilis game terbaru, penggemar tetap aja bakal menunggunya meski tahu bahwa mereka bakal kembali dibikin kecewa. Yah, namanya juga perusahaan. Mereka pasti lebih mementingkan keuntungan yang mereka dapatkan dibanding mendengarkan pendapat atau keluhan penggemar.

Di antara tujuh perusahaan game yang sering bikin frustrasi penggemarnya ini, mana yang menurut lo “tingkat kejahatannya” paling parah?

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.