5 Hal yang Sebaiknya Enggak Dikacaukan Hollywood dalam Live Action Akira

Kabar mengenai pembuatan live action Akira udah terdengar sejak lama. Rumah produksi Warner Bros. udah punya hak adaptasi ini sejak 15 tahun lalu, tapi entah kenapa enggak pernah jadi kenyataan. Berbagai nama udah melintas sebagai sutradara dan penulis naskah, namun enggak ada yang bisa mencapai tahap produksi.

Via Istimewa

Nah, kabar terbaru yang lebih segar akhirnya datang, nih. Taika Waititi, sutradara Thor: Ragnarok, dikabarkan lagi dalam perbincangan untuk menyutradarai Akira. Waititi juga udah membagikan rencananya soal live-action ini dalam sebuah wawancara dengan IGN. Dalam wawancara tersebut, Waititi bilang bahwa dia enggak keberatan ngambil pemeran dari Asia dan bakal mengadaptasi Akira versi manga, bukan anime.

Viki enggak bisa berharap bahwa live action ini bakal dibikin dalam waktu dekat. Soalnya, Waititi belum mengonfirmasi apa pun soal keterlibatannya ini. Yah, yang jelas, kalau memang proyek ini dijalanin secara serius, semoga aja Hollywood enggak mengacaukannya.

Via Istimewa

Lo ngikutin manga dan anime Akira? Kalau iya, pasti lo punya ekspektasi atau ketakutan tersendiri soal bagaimana hasil adaptasinya nanti. Coba, yuk, kita kumpulin apa aja sekiranya yang enggak boleh dikacaukan Hollywood kalau memang mereka serius mau ngegarap live action Akira. Kali aja suatu saat kita bisa ketemu sama Waititi dan berkesempatan ngasih masukan langsung ke dia.

 

1. Latar Tempat

Via Istimewa

Akira berlatar di Neo Tokyo yang merupakan Jepang modern. Dalam naskah live action yang udah dibikin sebelumnya sama Gary Whitta pada 2008, Neo Tokyo ini diganti jadi New Manhattan; dengan kesadaran bahwa Manhattan jadi wilayah kedaulatan Jepang (tapi kebetulan ada di pantai timur Amerika Serikat) dan ada 10 juta orang Jepang tinggal di sana. Kelihatannya, hal ini masih bisa dibilang masuk akal. Soalnya, Akira ngambil latar waktu futuristis. Ya, ‘kan, siapa tahu aja di masa mendatang nanti Manhattan jadi kepunyaan Jepang.

Sah-sah aja mikir begitu. Namun, satu hal yang enggak boleh dilupain: Neo Tokyo adalah sumber konflik utama Akira. Kenyataan bahwa Neo Tokyo berada di Jepang justru bikin Akira jadi masuk akal karena Akira ngangkat konflik Perang Dunia II, saat dibom sama Amerika pakai senjata nuklir yang memicu Perang Dunia III. Lalu, militer Jepang pun bikin penelitian terhadap para cenayang supaya bisa menciptakan senjata terkuat yang pada akhirnya malah jadi bumerang. Jadi, mengganti latar tempatnya enggak bakal semudah itu, deh.

Via Istimewa

 

2. Penokohan Karakter

Via Istimewa

Hollywood enggak jarang mengacaukan live action manga atau anime dengan seenaknya aja ngeganti watak karakter sesuai dengan kebutuhan mereka. Hasilnya, enggak jarang si karakter enggak ngundang empati dan filmnya pun jadi enggak berjiwa. Contoh terbaik dan paling baru, sih, Death Note versi Netflix.

Sebelum Waititi dilirik jadi sutradara, Warner Bros. udah bikin kerja sama dengan Jaume Collet-Serra untuk bikin live action Akira. Dalam sebuah wawancara, Collet-Serra pernah ngungkapin rencananya soal adaptasi Akira. Lo tahu apa yang dia bilang? Dia terang-terangan bilang bahwa enggak bakal ada yang tertarik sama karakter Tetsuo Shima dan Shoutarou Kaneda. Menurutnya, itu udah jadi budaya kalau Jepang enggak pernah punya karakter yang kuat.

Via Istimewa

Untungnya, Collet-Serra enggak jadi ngegarap live action ini. Soalnya, dengan pernyataan dia itu, kelihatan banget bahwa dia enggak benar-benar memahami Akira. Dia bahkan enggak menghargai karya aslinya. Semoga aja Waititi enggak punya pemikiran yang sama. Soalnya, persahabatan Tetsuo dan Kaneda adalah kunci utama yang bikin konflik dalam manga dan animenya jadi keren banget. Kalau sutradara berani ngubah watak mereka cuma karena menurutnya enggak menarik, siap-siap aja kena kritikan dari berbagai penjuru.

 

3. Pemilihan Pemeran

Via Istimewa

Para penggemar kayaknya udah muak banget sama isu whitewashing, khususnya setelah Ghost in the Shell.  Sesungguhnya, dalam naskah Whitta, salah satu alasan dia mindahin Neo Tokyo jadi New Manhattan adalah isu ini. Dia enggak mau sekadar mindahin latar tempatnya demi keperluan Hollywood (biar aktornya dari Hollywood semua) dan ngerasa harus punya alasan yang jelas biar pemilihan aktornya pun enggak kelihatan whitewashing. Jadi, dibuatlah New Manhattan, wilayah kedaulatan Jepang yang terletak di Amerika Serikat. Namun, bukan berarti semua pemerannya orang Amerika, ‘kan?

Intinya, sih, selama Hollywood memilih pemeran yang tepat dan bisa menyampaikan hal yang memang disampaikan di manga dan animenya, live action Akira pasti enggak bakal dihujat.

 

4. Konflik

Via Istimewa

Hollywood memang akhir-akhir ini rajin bikin live action, khususnya dari manga atau anime. Namun, enggak jarang juga orang-orang di balik industri perfilman Hollywood ini bikin film yang jauh dari akarnya. Kenapa begitu? Bukan rahasia lagi bahwa orang-orang di Hollywood ngejar profit tinggi. Jadi, sebisa mungkin, mereka bikin cerita yang lebih mainstream dan gampang diterima sama orang banyak. Jadinya, mereka bakal ngubah konflik jadi lebih dangkal demi hal ini. Sering kali hal itulah yang bikin live action Hollywood gagal.

Akira pun bukanlah manga atau anime yang punya konflik dangkal. Manga dan anime ini kompleks banget karena nyinggung aspek sosial, politik, fiksi ilmiah, sampai hal yang mistis. Neo Tokyo digambarin sebagai wilayah yang modern, tapi ada juga yang kumuh dan kayak slum area. Di situlah geng motornya Kaneda biasa ngumpul. Meski enggak secara langsung, sebetulnya detail di dalamnya nunjukin distopia yang dihasilkan dari “modernisasi”. Masalah politiknya pun rumit karena ada banyak pemberontakan yang disorot di dalamnya. Belum lagi keterlibatan militer dan pengembangan senjata rahasianya.

Via Istimewa

Dalam manganya, Otomo ngegambarin masyarakat kontemporer Jepang saat pascaperang, ketika mereka harus berurusan dengan teror mengerikan bom atom, lalu bertahan dan membangun hubungan yang unik dengan teknologi. Sesungguhnya, semua itu hal “Jepang banget”. Hubungan sebab-akibat di dalamnya pun masuk akal. Jadi, konfliknya pun kece. Meski konfliknya kompleks, lo bakal enggak bisa berhenti ngikutin sampai tuntas.

Sebaiknya, sih, hal tersebut enggak dihilangkan dalam live action. Kalau dihilangkan, berarti film adaptasi itu bakal jauh banget dari akarnya. Kalau udah jauh banget dari akarnya, mending enggak usah disebut adaptasi, deh. Bilang aja “terinspirasi”. Edge of Tomorrow-nya Tom Cruise bisa kece meskipun enggak mirip banget sama light novel-nya Hiroshi Sakurazaka, All You Need Is Kill. Soalnya, konflik yang diangkat tetap sesuai sama akarnya.

 

5. Lokalitas

Via Istimewa

Sebetulnya, menurut Viki, hal yang kadang bikin adaptasi manga atau anime versi Hollywood gagal adalah karena manga atau anime dibuat dengan latar tempat dan budaya yang lokal banget. Saat sesuatu yang lokal itu dipindahin dan disesuaikan dengan kelokalan di tempat lain, nilai-nilai esensialnya jadi hilang. Akira pun berisiko jadi adaptasi yang enggak lokal alias enggak Jepang-sentris.

Hollywood bisa oke banget bikin live action komik mereka karena konflik di dalamnya sesuai sama lokalitas mereka. Misalnya aja Wonder Woman karena adanya isu feminisme di Amerika pada awal 1940-an. Karakter ini enggak bakal dibuat di Jepang yang belum sadar isu feminisme pada masa itu. Masalah yang muncul dari adaptasi manga atau anime adalah Hollywood menyesuaikan hal yang biasa ada di Jepang dengan hal yang biasa ada di Amerika. Hal ini tentu enggak mudah diterima, khususnya kalau ceritanya aja udah lokal banget.

Via Istimewa

Hal yang paling penting dari adaptasi, sih, sebetulnya seberapa besar adaptasi itu tetap menghargai karya aslinya. Caranya? Dengan enggak ngerusak akarnya dan tetap jujur pada ceritanya. Hollywood bisa, kok, bikin adaptasi komik mereka dengan jujur. Untunglah Otomo menerima tawaran live action ini dengan syarat bahwa dia harus menyetujui naskahnya dulu sebelum dijadiin film. Namun, Otomo ngaku bahwa dia lebih condong untuk bikin sesuatu yang sepenuhnya baru dan terpisah dari karya aslinya. Yah, selama masih sejiwa sama karya aslinya—dan tentunya disetujui sama sang mangaka—kayaknya, sih, enggak bakal ada masalah.

***

Jujur aja, Viki, sih, enggak berharap banyak sama proyek ambisius ini (karena udah direncanain sejak 15 tahun lalu). Namun, enggak ada salahnya, kok, kita nungguin live action garapan Hollywood ini. Semoga enggak gagal kayak yang udah-udah, ya!

Via Istimewa
Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.