(REVIEW) Death Note ala Netflix: Parodi Terbaik Sepanjang Masa

*Spoiler Alert: Artikel ini mengandung bocoran film yang bisa aja mengganggu buat lo yang belum nonton.

Cerita: 6,5 | Penokohan: 5 | Visual: 7,5 | Scoring: 7 | Total: 6,6/10

Kalau lo penggemar manga misteri, Death Note pasti jadi bacaan wajib lo. Komik buatan Tsugumi Ohba dan Takeshi Obata ini benar-benar epik. Lo bakal terkagum-kagum sama bagaimana Ohba-san bikin cerita misteri yang unik dan benar-benar mendetail. Enggak cuma itu, salah satu hal yang bikin Viki suka sama Death Note adalah pemaparan filosofinya. Di komik ini, digambarin banget bagaimana ideologi Light Yagami, seorang anak SMA yang udah lelah sama dunia dan ngejadiin Death Note sebagai "tangan" buat ngubah dunia.

Via Istimewa

Kabar soal Hollywood yang bakal mengadaptasi Death Note pun Viki sambut dengan sukacita, sekaligus khawatir. Tentunya, bakal menarik ngelihat penggambaran Hollywood terhadap Death Note. Di satu sisi, Viki punya rasa takut karena tren buruk Hollywood dalam mengadaptasi kisah dari manga/anime Jepang kayak Dragonball: Evolution (2009).

Pada akhirnya, ketakutan Viki terjadi juga.

Yap, film (bukan serial, ya!) Death Note digarap sama Netflix dengan Adam Wingard sebagai sutradara. Sebelumnya, Netflix dan Wingard berniat bikin sebuah film Death Note yang orisinal dan benar-benar beda. Entah kenapa, niatan ini terlihat enggak serius dan setengah-setengah. Soalnya, tetap aja film ini ngambil jalan cerita yang mirip. Bahkan, nama tokohnya pun sama (Light dan L).

Jadi, please banget, ya, Netflix. Jangan salahin penggemar kalau mereka ngebanding-bandingin film ini sama sumber aslinya!

Kesamaan pertama bisa lo lihat di inti kisahnya. Ada satu anak SMA bernama Light Turner yang nasibnya berubah setelah mendapatkan Death Note alias buku kematian. Buku ini punya kemampuan membunuh seseorang dengan menuliskan namanya. Light pun memakai buku itu untuk membasmi kejahatan di dunia dengan nama alias Kira. Sayangnya, tindakan Light itu mendapat tentangan dari L, seorang detektif andal yang berambisi menangkap Kira/Light dan membongkar modus operandinya.

Meski punya premis yang sama, Netflix memutuskan sedikit ngebelokin cerita. Viki enggak akan ngebocorin semuanya. Namun, Viki harus akui kalau cerita orisinal di babak kedua film cukup menjanjikan dan terasa ketegangannya. Wingard juga lihai dalam bikin adegan-adegan yang terlihat artsy dengan kombinasi adegan lambat dan pemilihan warna yang cerah.

Tentu keputusan untuk go original ini patut diberi acungan jempol. Enggak cuma dari segi cerita, Netflix juga mutusin buat ngebelokin karakter utamanya. Kali ini, Netflix enggak dapat jackpot. Sejujurnya, keputusan buat ngebelokin karakter jadi blunder paling fatal buat film ini.

Kekacauan pertama dan paling terlihat adalah Light Turner (Nat Wolff). Jangan berharap lo bakal ngelihat sosok Light yang cerdas, culas, idealis, cekatan, dan jago mainin perasaan cewek kayak Light Yagami yang lo kagumin di komik. Light Turner di film ini adalah kebalikannya. Dia bodoh, penakut, lembek, enggak keren, dan cupu abis karena enggak mampu memikat hati cewek.

Yap, ini fatal banget, guys. Penggemar atau pembaca Death Note pasti bakal ngerasa muak sama penggambaran karakter Light di film ini. Lebih parahnya lagi, Nat Wolff "sukses" banget bikin karakter Light jadi lebih kacau. Sepanjang film, lo bakal disajiin ekspresi-ekspresi enggak natural dan konyol. Enggak berhenti sampai situ, telinga lo juga bakal diiringi oleh jeritan "merdu" Wolff yang terdengar seperti suara cabe-cabean lagi teriak. Penasaran? Nih, Viki persembahkan simfoni "Jeritan Light" yang bisa lo dengar sambil baca ulasan ini!

Kedua, penggemar komik/anime Death Note pasti bete banget sama penggambaran karakter L (LaKeith Stanfield) di film ini. Soalnya, L di Death Note versi Netflix ini berkulit hitam dan enggak kelihatan freak kayak di komik. Sejujurnya, Stanfield udah berusaha keras buat jadi L di film ini. Lo bakal ngelihat sang aktor duduk jongkok di kursi dan suka makan makanan manis kayak di komik. Sayang banget, akting Stanfield terlalu total dan bikin penampilannya kelihatan lebay.

Buruknya, L di film ini juga benar-benar beda dari segi karakteristik. Netflix sebenarnya udah bisa ngegambarin L yang freak dan ambisius kayak di komik. Entah kenapa, Netflix malah ngebelokin L jadi terkesan enggak cerdas, enggak perhitungan, selalu khawatir, dan impulsif.

Di lain sisi, Ryuk yang diperanin Willem Dafoe sukses jadi bintang dalam film ini. Suaranya kedengaran pas banget sebagai Ryuk. Begitu juga ekspresi muka jahatnya. Sayangnya, sang shinigami enggak mendapat jatah tampil sebanyak karakter-karakter utama lainnya. Padahal, bakal menjanjikan banget kalau Ryuk tampil lebih sering. Tentu bakal asik jika melihat Ryuk gelisah dan meliuk-liuk akibat kecanduan apel kayak di komik.

Skenario juga jadi titik lemah film ini. Netflix tergolong nekat untuk memadatkan kisah kompleks 12 episode komik menjadi sebuah film berdurasi 1 jam 40 menit. Hasilnya pun terlihat jelas. Kisah asal-usul para karakter pun enggak mendapat porsi yang pas. Khususnya bagi Light yang kisahnya diceritain hampir dalam satu komik.

Hal ini pun bikin penokohan Light jadi terlihat dangkal. Terlihat lucu juga bagaimana film ini mengisahkan Light yang tadinya anak SMA biasa tiba-tiba aja berubah jadi psikopat gara-gara sebuah buku. Kalau di manga/animenya, semua motif Light didasari ideologinya akan dunia ideal. Sedangkan, di film ini, Light berubah total hanya gara-gara dirisak (di-bully). Dan, yang paling parah, dia ingin narik perhatian cewek lain agar jadi kekasihnya! Light di komik enggak bakal sudi ngelakuin hal itu.

Logika dalam film ini juga terkesan dipaksain banget. Contohnya saat Light pamerin buku kematiannya ke Mia Sutton (Margaret Quilley) alias Misa Amane dalam komik. Anehnya, Mia langsung terkesan dan tertarik sama Light. Padahal, orang yang baru mamerin itu adalah orang yang baru aja dirisak dan dihajar sampai pingsan di depan lo.

Sama kayak film adaptasi lainnya, contohnya Power Rangers, Death Note ini jadi malah kayak film drama remaja. Nuansa percintaan juga makin terasa dengan pemilihan soundtrack slow-rock era 1980-an. Padahal, Death Note sendiri bukan komik drama percintaan. Makanya, siap-siap aja dikasih adegan klise dan enggak penting. Contohnya kayak foto adegan di bawah ini.

Film ini juga kerasa banget rasa “Amerika-nya”. Selain karena adegan percintaan yang udah Viki sebut tadi, Death Note versi Netflix ini juga lebih berorientasi pada adegan aksi. Tentu hal ini berbeda sama komik/anime/atau film live action versi Jepang yang lebih fokus ke cerita dan detailnya.

Sebenarnya, Death Note versi Netflix punya potensi. Sayangnya, film ini terkesan enggak punya identitas dan setengah-setengah. Film ini mau go original. Namun, hal itu enggak terlihat dari kemiripan cerita dan nama karakter yang sama. Coba aja nama karakternya bukan Light dan L, mungkin banget kalau Death Note versi Netflix enggak bakal seburuk ini.

Pertanyaan terbesar lainnya, kenapa Netflix justru bikin film dibanding serial? Padahal, kalau dibuat dalam format serial, Death Note ini potensial banget. Kisah kompleks yang ada di komiknya tentu bakal menarik jika dipaparin secara mendetail di setiap episodenya.

Saran Viki, sih, sebelum nonton, lo jangan sekali-kali ngebandingin film ini dengan versi komiknya. Viki sendiri udah mencoba hal ini. Sayangnya, tetap aja film ini terlihat konyol dan lebih cocok disebut sebagai parodi dibanding adaptasi. Sejujurnya, nama Light dan L selalu terngiang-ngiang di kepala dan bikin sugesti Viki selalu berpikir bahwa film ini enggak lebih dari upaya adaptasi yang gagal.

Thank you, Netflix, for ruining one of the best manga ever.

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.