Apakah The Rings of Power Wajib Jadi Daftar Tontonan?

Ada beberapa ketakutan dari penggemar setia The Lord of the Rings sebelum The Rings of Power, prekuel dan serial dari salah satu franchise terbesar tersebut dirilis. Salah satunya adalah jika ia mungkin mengekor nuansa Game of Thrones. Karena, jika jalan itu yang diambil, semua kenangan dan imajinasi penggemar berat akan berangsur-angsur menghilang.

Untungnya, dilihat dari dua episode pertama yang dirilis pada tanggal 2 September 2022 di Amazon Prime, sangkaan ini sepertinya enggak tepat. The Rings of Power masih setia dengan nuansa franchise J.R.R Tolkien, dengan dunia Bumi Tengah dan Valinor yang magis dan penuh warna, serta rating PG-13 yang membuatnya enggak akan sama dengan Game of Thrones.

Film dibuka dengan satu sosok anak kecil yang mencoba mengapungkan kapal. Kapal itu bukan kapal biasa, melainkan kapal yang bisa sedikit hidup. Dari rambut sang anak, dari keajaiban kecil itu, penggemar berat sudah bisa menebak: ia adalah Galadriel.

Bukan Frodo, bukan Bilbo, bukan Mithrandir a.k.a Gandalf, dan bukan Aragorn, film ini mengambil waktu ribuan tahun sebelum The Lord of the Rings (LOTR), sehingga tokoh-tokoh yang familiar tentu hanya para elf, yang notabene abadi. Di episode pertama, ada Galadriel, sahabatnya Elrond, dan tokoh-tokoh baru yang mewakili bangsa-bangsa lain seperti Hobbit dan Manusia.

Penuh dengan aspek visual cantik, tetapi apakah cukup?

Via Istimewa

The Lord of the Rings bukan sekadar pameran visual dan bukan sekadar film fantasi. The Lord of the Rings memuat cerita yang klasik dengan budaya yang kaya. Jika kamu juga membaca novel-novel karya Tolkien, kamu akan menyadari bahwa Tolkien membuat lebih dari sekadar cerita. Ia membuat sebuah dunia. Ia begitu detail membuat jenis makhluk, penamaan, budaya, hingga politik.Konfliknya enggak setajam Game of Thrones, tetapi ini dunia yang sempurna.

Maka, untuk menyenangkan para fans, sudah seharusnya serial ini memperhatikan detail-detail itu. Adanya berbagai jenis makhluk bukannya tanpa alasan. Mereka enggak cuma berbeda secara fisik saja. Budaya dan karakter mereka berbeda. Elf, misalnya, enggak mungkin memiliki sifat seperti manusia. Para Elf adalah makhluk yang lebih tinggi daripada penduduk Middle Earth. Mereka memiliki umur panjang dan kebijaksanaan.

Hal tersebut juga dapat dilihat dari kompleksitas tata bahasa mereka. Soal sifat, mereka hampir mirip dengan kaum Vulcan di Star Trek. Dalam berbagai produk Star Trek, Vulcan adalah sosok yang mampu menekan emosi sehingga mereka terlihat datar. Dan, semua produk Star Trek setia dengan hal itu.

Via Istimewa

Namun, awal dari episode ini enggak terlalu setia dengan karakter basic dari Elf. Galadriel terlihat begitu emosional dan enggak rasional. Apalagi, saat ia dan pasukannya menembus badai salju. Bagaimana pasukannya merespons pun terlihat sangat manusiawi. Mereka terlihat kurang bijak di sini.

Bagaimana para Elf itu menghadapi badai salju juga bikin “ilfil”. Maksudnya, Elf itu sosok yang jelas lebih ringan daripada hobbit dan manusia, serta lebih tenang. Bahkan, saat berperang pun mereka selalu tenang dan bersih.

Kamu bisa melihatnya dari peperangan di Helm’s Deep (Lord of the Rings: The Two Tower). Atau, saat sedang marah, mereka juga elegan. Contohnya, seperti Thranduil yang tetap tenang (tetapi bermulut pedas) saat menangkap Thorin dan kawan-kawan dalam The Hobbit. Namun, yang kita lihat adalah Galadriel yang termakan dendamnya dan pasukannya yang panikan serta lemah.

Dialog yang perlu ditingkatkan

Via Istimewa

Memang cerita ini enggak akan bisa menyamai trilogi LOTR mau pun The Hobbit, karena ia adalah adaptasi dari berbagai bagian dan bukan diadaptasi dari kisah utuh. Banyak tokoh yang merupakan tokoh baru, bukan diproduksi oleh pikiran Tolkien. Namun, seharusnya dengan bujet yang katanya di atas USD 460 juta, Amazon bisa berbuat lebih dari ini. Bujet sebesar itu seharusnya enggak hanya dibuktikan dari aspek visual saja, tetapi kekuatan dialog dan penceritaan.

Sepanjang episode satu dan dua, hanya sedikit dialog yang mengesankan. Mungkin dialog antara Elrond dan Durin IV, pangeran kurcaci, adalah salah satunya. Dialog di antara keduanya memang sederhana, tetapi menggambarkan perseteruan kaum Elf dan Kurcaci yang cuma sebatas panas-dingin.

Misalnya, saat Durin IV ngambek karena Elrond melewatkan banyak momen penting dalam kehidupannya seperti pernikahan dan kelahiran anak. Durin IV pun menyentil bahwa kaum Elf alias Peri enggak menghargai waktu, karena usia mereka abadi.

Kedua kaum enggak betul-betul saling berperang, tetapi memang kalau sudah saling bertemu, terlihat bahwa hubungannya kurang akrab dan terdapat banyak stereotip kaum peri yang ada di benak kaum kurcaci.

Feminisme yang kuat

Trilogi LOTR memang sudah mengusung feminisme dengan porsi yang cukup pas, contohnya lewat sosok Galadriel di Mirkwood, Arwen yang cukup berani membawa Frodo dan mengecoh para Nazgul, serta jangan lupakan Eowyn yang nekat pergi ke medan perang serta membunuh Nazgul sambil berkata, “I am no man.” 

Via Istimewa

Meski didominasi laki-laki, tetapi unsur feminisme ini sudah cukup menggambarkan bahwa perempuan juga bisa bergerak.

Dunia yang dibangun oleh Tolkiens adalah dunia yang cenderung maskulin. Pemimpin-pemimpin adalah laki-laki dan jika melihat pada setting-an lawas Bumi Tengah serta kapan Tolkiens hidup dan berkarier, rasanya cukup logis mengapa Tolkiens meletakkan para laki-laki sebagai pemimpin dan raja.

The Rings of Power mencoba untuk lebih kental lagi memasukkan unsur feminisme. Setiap kaum direpresentasikan oleh perempuan yang kelihatan lebih memiliki inisiatif. Dari kaum Elf, ada Galadriel yang memimpin pasukan mencari sisa-sisa keberadaan kekuatan jahat. Dari kaum Hobbit, ada Nori. Dari kaum manusia, terlihat ada Bronwyn yang mampu melawan Orc dengan tangannya sendiri. Dari kurcaci, meskipun awalnya terlihat enggak ada, tetapi ternyata muncul Princess Disa, istri Durin IV, yang bisa menjadi penengah dari suaminya dan Elrond.

Via Istimewa

Gerakan perempuan sangat menyenangkan jika terlihat dalam film. Namun, kalau terlalu banyak dan dipaksakan, rasanya menjadi konyol. Dalam dua episode The Rings of Power, para perempuan ini mampu memutuskan apa yang perlu mereka lakukan. Namun, entah kenapa banyak lelaki yang digambarkan gegabah dan bodoh, mulai dari pasukan Elf, para manusia, Hobbit pria yang mudah terluka, hingga kurcaci yang gampang marah-marah.

Apabila porsi feminisme ini dituangkan secara cukup, believability kita bisa meningkat. Namun, kalau dipaksakan, rasanya jadi bikin bingung mengingat dalam The Hobbit dan The Lord of the Rings, kaum pria juga enggak terlihat terlalu bodoh dan gegabah.

The Rings of Power adalah prekuel, bukan film baru. Untuk itu, ideologi apa pun yang ingin dimasukkan, sebaiknya harus mengikuti karya yang sebelumnya sudah ada.

Perlu perhatian pada detail

Via Istimewa

The Rings of Power menjanjikan beberapa hal, termasuk bahwa ia akan menceritakan rincian dari tempat-tempat dari semesta Tolkien. Karena, setiap tempat memiliki cerita dan sejarah.

Namun, ada sedikit hal yang bikin kecewa. Misalnya, saat Galadriel bercerita tentang matinya cahaya pohon di Valinor. Entah enggak detail atau lebih fokus pada dendamnya terhadap kekuatan hitam, tidak dijelaskan bahwa pohon tersebut cahayanya mati karena Ungoliant.

Ungoliant adalah laba-laba purba, buyut dari Shelob yang menyerang Frodo. Bersama Melkor, Ungoliant menghancurkan cahaya dan melahap cahaya dua pohon. Ungoliant punya peran penting dalam matinya cahaya pohon tersebut. Jadi, mengapa enggak disebutkan? 

Beberapa detail seperti xenophobia juga digambarkan berlebihan. Mengapa manusia bisa sangat benci pada Elf –hampir semua manusia yang masih muda–? Sentimen itu mungkin ada, tetapi Peter Jackson mampu menggambarkannya dengan enggak berlebihan.  Adegan Galadriel dan manusia di kapal terlalu berlebihan. Sama berlebihannya dengan dendam Galadriel yang tampak banget di muka.

*** 

Rasanya terlalu berlebihan apabila The Rings of Power dianggap sangat buruk. Sinematografi bagus, penceritaan sebetulnya enggak bertele-tele. Nuansanya juga untung saja enggak meniru Game of Thrones yang memang punya basis penggemar besar. Hanya saja, dengan bujet besar, seharusnya detail-detail kecil enggak terlupakan, karena semesta LOTR sendiri memang dibangun dengan detail.  Rasanya tragis karena seolah-olah, serial ini menegaskan bahwa Tolkiens memang sudah enggak ada di dunia ini dan ide-idenya berangsur-angsur mengabur.

Jika kamu mau menikmati The Rings of Power, sebaiknya buang jauh semua idealisme dan ekspektasi. Lebih baik, kosongkan pikiran dan kamu akan merasa senang dengan sajian sinematografi yang cantik dan nostalgia akan tempat-tempat menawan Bumi Tengah. Semoga episode ke dépannya punya banyak cerita seru yang lebih menarik.

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.