7 Film Live Action Adaptasi Anime/Manga Paling Mantul (Bagian 2)

Dari sekian banyak film adaptasi anime/manga yang dihasilkan, sebagian besar di antaranya boleh saja enggak sesuai dengan harapan penggemarnya. Menjadi fenomena yang lumrah apabila tiap kali manga/anime kesukaan mendapat pengumuman akan segera dialihmediakan menjadi sebuah film, para fans lebih sering menyambutnya dengan rasa skeptis.

Hal tersebut terbilang lumrah. Semua karena kecenderungan film adaptasi, khususnya format live action, untuk gagal hampir selalu lebih tinggi daripada sesuai dengan apa yang mereka inginkan atau sukses secara komersial. Akan tetapi, optimisme itu ternyata benar-benar ada dan terus tumbuh ke arah yang menjanjikan. Lo bisa lihat beberapa contohnya di sini, tapi itu belum cukup.

Film-film di bawah ini bisa dijadikan garansi resmi bahwa mengangkat kisah manga/anime ke layar lebar bukanlah keputusan yang patut disesali.

 

1. Ajin

Via Istimewa

Usai mengukir performa yang impresif dalam Inuyashiki dan trilogi Rurouni Kenshin, Takeru Satoh kembali unjuk gigi dalam film adaptasi anime/aksi bertitel Ajin: Demi Human. Dalam film ini, dia kembali berperan sebagai tokoh utama, Kei Nagai. Bersama dengan Go Ayano, yang memerankan pempimpin pemberontakan kaum Ajin, Sato, dua aktor keren ini jadi elemen penting yang berhasil menghidupkan film ini jadi sangat spektakuler.

Film adaptasi Ajin adalah tentang aksi non-stop. Kejar-kejaran dan baku tembak antara Kei dan Sato mengambil porsi yang sangat dominan di sini. Faktor kemampuan supranatural Ajin, yang memungkinkan regenerasi dan reinkarnasi, dieksplor sangat eksplosif, tapi seirama dengan tema yang coba dipertunjukkan.

Meski demikian, film ini tetap punya kekurangan yang sangat mengganggu dari segi naskah dan pengembangan karakternya yang terlalu terburu-buru. Film ini semestinya dipecah menjadi dua atau mungkin tiga seri untuk memberi ruang bagi eksplanasi latar belakang semesta ini dengan lebih mendalam dan menyajikan resolusi konflik yang lebih dapat diterima.

 

2. I Am a Hero

Via Istimewa

Menggantungkan hidup dari hanya bekerja sebagai asisten manga membuat Hideo sengsara. Manga karyanya sendiri terbengkalai dan kekasihnya mulai enggak betah hidup bersamanya. Apalagi usianya sudah 35 tahun yang jelas tak lagi muda. Merebak dan menyebarnya virus ZQN yang mengubah mayoritas penduduk menjadi mayat hidup membuat nasib Hideo berotasi 180 derajat. Masih tetap miskin, sih, tapi jadi jauh lebih menarik!

Sang sutradara cukup sukses mengalihmediakan manga karya Kengo Hanazawa ini menjadi film adaptasi yang apik, meski dibatasi oleh durasi film yang hanya berkisar sekitar dua jam saja. Bertumpu pada aspek aksi dan komedi yang hadir silih berganti, film ini mampu menyajikan tayangan yang sangat menghibur. Kredit berlebih layak dialamatkan kepada Yo Oizumi yang dengan briliannya memerankan sang tokoh utama.

Sebagian besar karakter dan elemen-elemen penting lainnya dipangkas dalam film ini. Namun, enggak mengurangi intensitas keseruan yang dipersembahkannya. Keuntungan lain dari keputusan kontroversial tersebut adalah, para penonton enggak mesti baca dulu manganya untuk memahami jalan cerita film ini.

 

3. Dwilogi Death Note

Via Istimewa

Light Yagami mungkin tak menyangka bahwa jalur kehidupannya seketika berbelok tajam ketika menemukan sebuah buku misterius. Sebuah buku bertajuk “Death Note” yang kelak bukan hanya akan mengubah hidupnya, tapi juga juga semua orang di seluruh dunia. Di lokasi berbeda, namun negara yang sama, detektif muda nan jenius, L, telah menyusun rencana sistematis untuk mencegah Light dari apapun mufakat jahat yang tengah dia capai.

Enggak perlu penjelasan panjang lebar untuk mendeskripsikan betapa mantulnya film ini. Diangkat dari sebuah komik bertaraf fenomena global, film adaptasinya pun menghasilkan tontonan yang sama cerdas dan sama menegangkannya. Death Note adalah sebuah karya bergenre misteri supranatural yang sampai saat ini masih belum tersaingi oleh manga apapun.

Sebelum menutup paragraf, marilah kita bersepakat untuk enggak akan pernah menganggap eksistensi serial Death Note yang diluncurkan oleh Netflix.

4. Lesson of the Evil

Via Istimewa

Seiji Hasumi adalah guru Bahasa Inggris yang dikagumi para murid dan dihormati sesama rekan satu profesi. Bukan semata karena dia pandai mengajarkan bahasa asing, Hasumi memang menjadi sosok guru yang lihai mengatasi aneka macam problematika di sekolah tempatnya berada. Dari pertikaian antar murid, ritual mencontek massal, atau pun kasus pelecehan guru terhadap siswa, semua sukses dia tangani. Namun, perlahan namun pasti semua fakta mengerikan tentang sosok penuh kharisma ini terangkat ke permukaan.

Film ini memang menyimpan banyak kekurangan yang bikin kesal penyuka manganya. Plotnya yang berlapis terasa jadi rumit dalam durasi yang terlampau sedikit. Pemilihan Hideaki Ito secara fisik sudah tepat. Sayang, dia masih tampak kurang luwes memerankan Hasumi yang pintar memainkan emosinya. Belum lagi pelafalan Bahasa Inggris doi yang enggak terlalu fasih.

Bagaimanapun, menciptakan sebuah film adaptasi di mana manga atau animenya saja belum tuntas mencapai babak final, adalah tantangan yang sangat sulit. Penulis naskah mesti memeras otak lebih keras untuk hadirkan ending alternatif yang tetap berkesan. Lesson of the Evil sebetulnya gak berakhir semanis itu. Tapi adegan pemuncak film ini dijamin bikin para penikmat genre slasher tertawa puas kegirangan.

 

5. Dwilogi Crows Zero

Via Istimewa

Kelahi, kuasa, dan supremasi. Tiga elemen ini secara ironis menggambarkan situasi dan kondisi di sebuah sekolah yang, alih-alih jadi tempat ideal menimba ilmu, cenderung lebih mirip dengan penjara Azkaban, SMA Suzuran. Di sana lo akan menemukan bocah-bocah berandalan paling nakal dan brutal yang kelakuannya sangat barbar dan sama sekali enggak mencerminkan hakekat seorang pelajar. Putra dari pemimpin geng Yakuza, Takiya Genji, dijanjikan untuk mengganti posisi ayahnya bila dia mampu menguasai sekolah angker tersebut.

Dibintangi oleh Shun Oguri, film ini berhasil merepresentasikan atmosfer keras seperti yang ditampilkan pada manganya. Mengisahkan sekumpulan anak muda yang penuh antusias dan punya semangat berkobar-kobar dalam belajar memperjuangkan identitasnya sebagai generasi muda yang “sok berprinsip” dan ngerasa paling jagoan. Pilar utama film ini adalah penampilan dahsyat Shun Oguri yang sukses menghidupkan karakter Takiya Genji.

Film yang sepertinya diidolakan oleh anak-anak STM ini juga mengandung moral tentang usaha tak pantang menyerah dalam menggapai tujuan. Bisa jadi juga kisah persahabatan yang saling setia dan selalu membantu di kala butuh. Crows Zero sejatinya adalah film trilogi. Namun, seri ketiganya tak punya kualitas apik sekaliber dua seri pertamanya.

 

6. Bunny Drop

Via Istimewa

Film yang diangkat dari manga josei karangan Yumi Unita ini mengetengahkan Daikichi, seorang pebisnis lajang mapan yang hidup di kota besar. Suatu ketika, dia bertandang ke rumah keluarga besarnya, dalam kesempatan yang sama untuk melayat ke pemakaman kakeknya. Secara mengejutkan, ada seorang gadis kecil berusia 6 tahun, Rin Kaiga, yang merupakan buah dari perselingkuhan mendiang kakeknya dengan seorang wanita gelap.

Keberadaannya dianggap sebagai aib keluarga. Akan tetapi, Daikichi tak tega melihat Rin ditelantarkan seperti itu. Dia pun membawa serta Rin ke kediamannya. Di tengah kesibukannya bekerja sepanjang hari, Daikichi selalu mencuri waktu untuk bisa bermain dengan Rin dan tak cuma menitipkannya ke daycare.

Potret kesibukan warga Jepang yang begitu melelahkan bukanlah isapan jempol belaka. Mereka yang telah berkeluarga acap tak punya waktu luang untuk dihabiskan bersama anak-anak mereka. Isu pelik inilah yang coba diperbincangkan dalam film ini. Sajian slice-of-life bertabur komedi ringan yang cocok disaksikan oleh para ayah yang merasa akhir-akhir ini terlalu sibuk bekerja dan kurang memberi asupan perhatian pada putra-putri mereka.

7. Parasyte

Via Istimewa

Invasi alien enggak hanya datang dalam wujud monster mengerikan dengan ukuran tubuh dua kali lipat dari orang dewasa saja. Dia juga bisa hadir sebagai sebuah parasit. Bukan menghabisi nyawa manusia, tapi justru memanfaatkannya sebagai inang baru mereka.

Namun, satu alien gagal menyelinap ke otak milik seorang siswa bernama Shinichi Izumi. Sialnya, organisme kecil bernama Migi malah berakhir jadi alat bantu Izumi untuk menumpas para manusia yang telah tercemari alien parasit kaumnya.

Sang produser mungkin akan menyesal telah memecah film ini menjadi dua seri, sebagaimana tren yang terjadi belakangan ini di industri perfilman. Sekuelnya gagal menyamai kualitas film perdananya. Sindrom yang sama yang menjangkit film-film populer Hollywood baru-baru ini, seperti Fantastic Beast: The Crimes of Grindelwald atau The Incredibles 2.

Akan tetapi, tak dipungkiri bahwa dwilogi Parasyte adalah tayangan segar yang meleburkan elemen fiksi ilmiah dengan komedi gelap. Film ini juga menampilkan adegan aksi yang terbilang oke dengan efek spesial yang minimal tapi memikat. Parasyte jadi bukti bahwa sineas film Jepang enggak pernah berhenti mengasah diri untuk terus memproduksi film adaptasi manga/anime yang keren.

***

Anggaran dan keterbatasan teknologi. Dua faktor ini disebut-sebut sebagai biang keladi mengapa film adaptasi anime/manga kelampau sering gagal dan menuai protes di mana-mana. Namun, sekali lagi, para pegiat di industri Jepang terus berbenah untuk melakukan perubahan. Film-film di atas adalah contoh nyata bahwa menciptakan film adaptasi yang berkualitas dan sesuai dengan materi orisinalnya bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dilakukan.

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.