5 Penyebab Film Inferno Mengecewakan

Novel-novel Dan Brown menjadi favorit para penyuka misteri karena plotnya yang rumit, serta teka-teki dalam novel yang sarat akan nilai seni. Contohnya, The Da Vinci Code yang membahas lukisan Perjamuan Terakhir. Dalam novel tersebut, dikisahkan kalau lukisan tersebut mengandung beberapa petunjuk tentang Cawan Suci dan keturunan Yesus Kristus. Meskipun novel buatan Dan Brown selalu mengundang beberapa kontroversi, film-film tentang Professor Robert Langdon ini selalu menjadi box office.

Oh ya, sekadar kilas balik, Professor Robert Langdon adalah profesor di bidang simbologi dan segala ikon lain yang sarat akan nilai keagamaan dan kebudayaan. Karena kepiawaiannya menerjemahkan simbol, maka Professor Langdon pun bak detektif yang sering dimintai tolong untuk memecahkan sandi-sandi. Makanya enggak heran kalau kebanyakan latar tempat novel-novel Dan Brown ada di Italia. Soalnya, negara itu memang menyimpan banyak peninggalan seni dan keagamaan yang berharga serta masih misterius.

Di film Inferno ini, entah kenapa Profesor Langdon tiba-tiba terbangun dan mendapati dirinya berada di rumah sakit di Italia. Padahal, sebelumnya dia merasa kalau dia lagi ada di rumahnya. Bersama Sienna Brooks, dokter yang menyelamatkannya, dia pun mencari tahu tentang keberadaannya di Italia, serta misteri-misteri yang lama kelamaan mempertemukan dia pada fakta tentang Bertrand Zobrist serta keinginannya untuk mereduksi jumlah manusia di dunia dengan virus berbahaya. Oh ya, teka-teki di sekitar dia pun juga harus dipecahkan melalui berbagai karya seni, salah satunya adalah Dante's Hell (Inferno), lukisan karya Botticelli yang digunakan oleh Dante Alighieri di buku puisinya, The Divine Comedy.

Namun, enggak bisa dipungkiri kalau film-film yang diangkat dari novel Dan Brown itu banyak dikritik sama orang. Terutama mereka yang ngefans banget sama novelnya, sampai hafal semua latar dan plot yang ada di dalam novel. Apalagi Inferno. Buat lo yang enggak pernah baca novelnya, mungkin Inferno bisa jadi tontonan yang menghibur dan mendebarkan. Namun buat yang udah pernah baca, rasanya kesel aja gitu. Nah, apa aja sih hal-hal di film Inferno yang bikin kecewa?

 

1. Plot Dipangkas

Banyak banget kejadian di dalam novel yang enggak diangkat di film. Contohnya, saat Professor Langdon mau bertemu sama Elisabeth Sinskey, petinggi di WHO yang perannya enggak akan disebutin di sini karena spoiler. Harusnya sebelum mereka bertemu dan Langdon sadar akan apa yang terjadi, kejadiannya lebih heboh dan enggak cuma kayak di film, di mana adegannya sunyi banget gitu.

Enggak cuma itu sih, banyak plot lain yang dipangkas dan bikin penggemar novel jadi mikir, ini penulis skenarionya udah baca novelnya belum sih? Yah, mungkin emang sengaja dipangkas supaya enggak kelamaan ya. Kalau kelamaan kan bosen. Lagian juga, mahal aja kalau harus nambah banyak figuran buat jadi tentara yang menangkap Langdon.

 

2. Nasib Sienna di Film Inferno

Selain misterinya, tokoh Sienna Brooks, dokter deuteragonis ini emang jadi satu hal yang bikin film ini menarik. Bukan cuma karena dia cantik, tapi dia juga kelihatan cerdas dan berkarakter. Selain itu, awalnya juga Sienna menjadi satu-satunya tokoh yang bisa diandalkan oleh Professor Langdon. 

Oh ya, dia bukanlah cewek kayak di franchise James Bond  (Bond Girl) yang pada akhirnya jatuh cinta sama tokoh utama, atau cewek menye-menye yang minta diselamatin banget. Dia bisa menyelamatkan dirinya sendiri, dan juga jatuh cinta sama orang yang emang menurut dia, pantas untuk dikagumi. 

Yang nyebelin adalah, nasib Sienna di film itu buruk banget. Dia mati kena bom yang dia pasang sendiri. Sementara itu, berbeda dengan di film, nasib Sienna di novel lebih kompleks. Dia enggak mati, enggak juga dihukum. Pokoknya plotnya lebih adil di novel deh daripada di film. Makanya banyak penggemar novel yang mencak-mencak waktu lihat endingnya. So shallow. Tapi yang mungkin hal itu lebih jelas, bagi penonton awam.

 

3. Racun Zobrist

Kalau di film, Zobrist, sang tokoh antagonis yang ingin mengubah dunia ini kelihatan seperti miliarder dan ilmuwan gila yang enggak berperasaan, macem Kurt Hendriks di Mission Impossible 4. Udah gitu, meski dibilang pinter, tapi aneh aja, kenapa kok Zobrist yang jago orasi ini cuma punya solusi menciptakan racun mematikan bagi manusia. Itu kan biasa banget. Udah ada di semua film dan semua teori konspirasi alam semesta khas Illuminati. Zobrist pun jadi terlihat bodoh di film. Udah terlihat bodoh, mati lagi.

Berbeda dengan versi film, di novel, Zobrist membuat sebuah racun yang bikin orang jadi mandul. Racun itu cukup fair sih, kalau emang tujuan Zobrist adalah membuat dunia yang lebih baik dan ramah lingkungan. At least, lo enggak perlu melihat berbagai kematian kayak di Love In The Time of Cholera, atau di cerita-cerita Perang Dunia. Seenggaknya racun itu cukup menarik dan membuat kita berpikir kalau Zobrist adalah ilmuwan yang cukup realistis, meskipun agak out of the box.

 

4. Nasib Racun Zobrist

Masih soal racun Zobrist,di film emang endingnya bikin damai semua orang. Bak James Bond 007, racun itu berhasil dimasukkan ke dalam boks dan gagal meracuni orang-orang di dunia, meskipun Professor Langdon harus bertarung dan bersusah payah di dalam salah satu kolam Hagia Sophia, Istanbul. Semua orang di dunia pasti maunya itu, karena siapa yang mau terinfeksi racun yang bikin kita sekarat. 

Tapi kalau di novel, racun Zobrist udah terlanjur pecah, dan racun itu mau enggak mau meracuni sebagian masyarakat di dunia. Memang sih ending itu enggak nyenengin, meskipun enggak ada korban nyawa. Soalnya biasanya penonton emang nyari ending yang bener-bener happily ever after kan?

 

5. Pendapat Tokoh Protagonis terhadap Zobrist

Kalau di film, Zobrist itu enggak lebih dari orang gila, halu melebihi Taat Pribadi yang cuma pengen dunia ini hancur demi memenuhi ambisi pribadinya untuk melihat world as a better place. "Masak buat bikin kedamaian, solusi lo cuma bunuhin orang aja? Kayak Hitler dong", begitu komentar banyak orang terkait tokoh Zobrist. Termasuk juga orang-orang di dalam cerita Inferno. Zobrist itu pokoknya makhluk yang jahat sejahat-jahatnya di mata WHO dan Professor Langdon.

Namun, di novel, beberapa tokoh protagonis, salah satunya di WHO, pada akhirnya cukup setuju dengan ambisi dan ideologi Zobrist. Meminjam kata Agent Smith, human beings are a disease, cancer for this planet. Berbeda sama mamalia lain, manusia bukannya beradaptasi dan bersinergi sama alam, tapi malah ngerusak alam dan bikin planet ini enggak sehat lagi. Makanya terlalu banyak manusia juga enggak baik buat Bumi. Dan pendapat Zobrist ini dianggap cukup realistis: enggak seharusnya manusia berkembang biak terlalu cepet. Tapi gimana ya, semua hal memiliki akhir. Termasuk dunia ini. Kita enggak punya hak buat melarang orang punya anak, kan?

***

Film Inferno ini emang simplifikasi dari novelnya. enggak jauh beda dari Angels and Demons dan The da vinci Code. Yah namanya juga film, durasinya terbatas dan biayanya ditekan. enggak kaya novel di mana pembaca bisa berimajinasi. So, kalau lo memang mau menyegarkan pikiran, tonton aja filmnya tanpa terikat sama novelnya. Oke?

 

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.