Deretan Film Pertama Indonesia dengan Kisah yang Out of the Box

Ada banyak wacana yang muncul saat membicarakan mengenai film nasional. Sebagian merasa bahwa film Indonesia memiliki potensi yang cukup menjanjikan di masa depan. Sebagian yang lain lagi merasa skeptis dan menganggap kalau film-film Indonesia hanya heboh di pemasaran, tetapi keok dalam segi eksplorasi cerita.

Jika dibandingkan oleh dunia perfilman di negara lain, seperti Prancis, Jepang, Korea Selatan, Hong Kong, dan tentu Amerika Serikat, soal eksplorasi plot, negara kita mungkin belum sesangar mereka. Namun, bukan berarti Indonesia enggak bisa seperti itu. Nyatanya, pada masa awal pembuatan film di Indonesia, ada beberapa film fantastik dengan ide cerita yang mind-blowing.

Film-film ini mungkin enggak sebanding dengan film masa kini dari segi kualitas gambar atau suara. Namun, idenya out of the box. Mari kembali menengok masa lalu, siapa tahu bisa menjadi pelajaran untuk membuat film-film baru yang lebih seru.

Loetoeng Kasaroeng, terinspirasi dari kisah rakyat asli

Via Istimewa

Terinspirasi dari kisah rakyat Sunda, Loetoeng Kasaroeng merupakan film yang diproduksi pada tahun 1926 oleh NV Java Film Company. Ia merupakan film pertama di Indonesia yang dibintangi oleh aktor dan aktris pribumi.

Kisahnya tak berbeda dengan legenda yang digaungkan di tanah Pasundan. Seorang dewa bernama Sanghyang Guruminda yang menjelma sebagai lutung dan turun ke Bumi. Di sana, ia bertemu dengan Purbasari, seorang gadis baik yang diusir saudara jahatnya, Purbararang.

Kendati merupakan film kebanggaan banyak orang, tetapi kualitasnya memang masih buruk. Hal tersebut sebetulnya patut dimaklumi mengingat teknologi perfilman belum semaju sekarang dan ini merupakan “film percobaan pertama”. Selain itu, eksekusi ide cerita cukup menarik.

Eulis Atjih, berisi sindiran buat orang yang hobi flexing

Sering muak sama berita orang-orang yang doyan flexing? Film ini kayaknya mampu “meramal” kejadian zaman now, nih.

Film Indonesia ini dibuat setelah NV Java Film Company mencari investor ke mana-mana. Sebelumnya, perusahaan film Hindia Belanda ini mengalami kesulitan keuangan karena gagal di Loetoeng Kasaroeng. Kegagalan Loetoeng Kasaroeng disebabkan oleh beberapa faktor: kesiapan rakyat dalam menerima film, teknologi yang belum mendukung kisah fantasi, dan juga perhitungan yang kurang baik.

Eulis Atjih rupanya lebih sukses dari segi finansial. Ia laku keras di dalam negeri. Ceritanya lebih segar, penuh sindiran.

Film yang dibintangi oleh Arsad dan Soekria ini bercerita tentang seorang pria yang meninggalkan anak istri buat berfoya-foya. Nah, kesenangannya itu enggak berlangsung lama karena uang sang suami habis. Ia pun menjadi melarat.

Menengok film ini dan membandingkannya dengan kondisi zaman sekarang, rasanya kita menjadi sadar akan satu hal: dari dulu, tukang flexing dan pamer itu udah banyak. Namun, zaman dahulu, medianya belum seluas sekarang.

Njai Dasima & Nancy Bikin Pembalesan, kisah pernikahan dengan “penjajah” 

Via Istimewa

Belum lama ini, banyak pro-kontra yang timbul di media sosial mengenai pernikahan beda agama yang enggak direstui oleh orang tua. Nah, film Njai Dasima kurang lebih menampilkan unsur tersebut.

Njai Dasima jatuh cinta dengan  Tuan Edward, orang Inggris di Pejambon. Nekat karena mencintai Edward dan melihat “masa depan” dengan Edward, Njai Dasima pun rela dibuang keluarganya karena menikah dengan laki-laki itu. Njai Dasima dianggap amoral karena menikahi orang asing yang memeluk agama berbeda.

Tantangan enggak berhenti sampai di situ. Njai Dasima enggak diterima sama circle Edward yang menganggap bahwa pribumi enggak sekelas dengan mereka. Selain itu, setelah bosan, Edward pun mencampakkannya. 

Suatu hari, seorang pemuda yang terlihat tulus bernama Samiun mendekati Njai Dasima. Alih-alih bahagia, Samiun justru malah memanfaatkan sisa harta kekayaan Dasima, kemudian merampoknya sampai Njai Dasimah meninggal dunia.

Film yang dirilis tahun 1929 ini kemudian dibuat sekuelnya bertajuk Nancy Bikin Pembalesan. Nancy adalah anak Njai Dasimah yang mencari pembunuh ibunya untuk balas dendam. Dalam film ini, terdapat unsur mistis, yakni ketika Njai Dasimah merasuki Hayati, istri Samiun, yang kemudian bunuh diri.

Ikan Doejoeng, kisah surealis orang patah hati

Ikan Doejoeng (1941) membawa penderitaan cinta kepada level yang lebih surealis. Menengok pada adegan duyung, kesannya barangkali seperti Lighthouse, walaupun tentu tidak dark seperti film thriller psikologis yang dibintangi oleh Robert Pattinson dan Willem Dafoe.

Kesamaannya mungkin ada pada imajinasi mengenai duyung. Ya, keberadaan duyung pada film ini memang enggak nyata. Duyung hanyalah bayangan dari Asmara, perempuan yang enggak bisa menikah sama laki-laki yang ia cintai. Menikah dengan Harun dan bukannya Sanusi, Asmara yang depresi membayangkan dirinya sebagai putri duyung.

Ikan Doejoeng merepresentasikan orang-orang yang enggak dapat memenuhi ekspektasinya sendiri di dunia, kemudian menciptakan dunia baru dalam pikirannya. Kendati enggak nyata, tetapi dunia imajinatif itu malah lebih membahagiakan dibanding dengan kenyataan yang pahit.

Resia Boroboedoer, Indiana Jones cewek pada masa Hindia Belanda

Via Istimewa

Pada 1929, Hindia Belanda pernah punya Indiana Jones versi cewek dengan sentuhan budaya Tionghoa. Subjeknya? Borobudur.

Suatu hari, Young Pei Fen merantau dari daratan Cina ke Jawa. Dalam buku milik ayahnya, ia menemukan petunjuk kalau stoples berisi abu Gautama Buddha ada di Candi Borobudur. 

Nah, pencarian itu enggak mudah karena rupanya ada orang yang ingin menggagalkan proyek itu. Gandha, penjaga candi, sudah melarang Young karena tahu berbagai rumor berbahaya yang akan menanti. 

Apa yang ditakutkan Gandha benar adanya karena nyatanya, Young enggak bisa meraih abu itu. Entah ada atau enggak, lokasi di mana abu diduga ada, seolah menolak untuk didatangi.

Di akhir film, obsesi Young enggak pernah terlaksana. Namun, petualangan itu justru membuatnya menemukan rasa damai dan tujuan kehidupan. Dan sebetulnya, tujuan dari pencarian arkeologi sebenarnya enggak harus selalu barang berharga. Cerita dan pengalaman pun bisa menjadi bekal yang enggak kalau menarik.

***

Film-film awal negara kita, memang selalu menarik untuk disimak. Menengok kembali ke masa itu, rasanya dengan teknologi perfilman yang semakin maju, kita bisa membuat film-film berkualitas yang lebih enak untuk ditonton.

Namun, film memang bukan soal teknologi, tetapi tentang jiwa. Membuat film yang baik butuh riset matang dan tentunya sentuhan perasaan.

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.