Bagaimana Industri Perfilman Bertahan di Tengah Pandemi Corona?

Industri perfilman menjadi salah satu sektor kreatif yang paling terdampak oleh pandemi Corona.
-Berbagai cara dirancang oleh sineas dunia agar industri perfilman tetap berlangsung di tengah pandemi.

Mulan ditunda. Black Widow juga. Sudah banyak rumah produksi yang harus menghentikan proyek film mereka. Yap, pandemi virus Corona memang menjadi salah satu permasalahan bagi industri perfilman di paruh awal 2020. Namun, dampak yang baru saja disebutkan ini hanyalah segelintir dari sekian banyak persoalan yang dihasilkan.

Kita sebagai penikmati film masih bisa mencari alternatif hiburan dari menonton film di bioskop dengan memanfaatkan kehadiran layanan streaming. Akan tetapi, buat para pekerja film, kehadiran pandemi Corona bisa dibilang menghilangkan mata pencaharian mereka. Nyatanya, di Hollywood dan Inggris, sekitar 170 ribu orang di industri perfilman kehilangan pekerjaan mereka selama pandemi Corona berlangsung.

Ya, pandemi ini begitu besar dampaknya dalam kehidupan. Lantas, seberapa jauh industri perfilman mengalami perubahan dan bagaimana cara menyesuaikan diri dengan kondisi tersebut? Untuk mengetahui lebih dalam mengenai hal tersebut, KINCIR bakal membahasnya di bawah ini!

Peralihan Bioskop ke Layanan Streaming

Seperti yang sudah sedikit di bahas di atas, ada beberapa film terbaru yang menunda perilisannya setelah virus Corona mulai menyebar. Faktor yang membuat hal tersebut terjadi adalah karena hampir seluruh bioskop di dunia mengalami penutupan untuk mengurangi penularan virus tersebut.

Hal ini membuat sejumlah studio film mencari alternatif untuk merilis film yang telah selesai mereka produksi, seperti langsung meluncurkannya di layanan streaming. Yap, hal ini telah dilakukan oleh beberapa studio besar di Hollywood. Salah satunya adalah Disney yang mengubah rencana rilis film Artemis Fowl menjadi di layanan streaming Disney+ pada Juni 2020 dari yang awalnya akan tayang di bioskop terlebih dahulu.

Lalu, Universal Pictures juga langsung merilis film Trolls World Tour (2020) dalam format digital dengan sistem rental. Langkah tersebut enggak membuat pihak Universal menyesal karena film ini berhasil meraup pendapatan sebesar 95 juta dolar (sekitar Rp1,3 triliun) setelah 19 hari tayang secara digital. Bahkan, Jeff Shell selaku CEO dari NBCUniversal mengungkapkan bahwa studio mereka bakal merilis film di bioskop dan layanan streaming secara sekaligus.

Akan tetapi, pernyataan dari Shell tersebut malah mengundang protes dari sejumlah jaringan bioskop, salah satunya adalah AMC Theatres. Soalnya, rencana tersebut, terlebih apabila diterapkan oleh banyak studio, bakal mengurangi pendapatan yang diterima oleh pihak bioskop pada saat film terbaru dirilis setelah pandemi virus Corona berakhir.

“Ini mengecewakan bagi kami. Pernyataan Shell tentang tindakan dan niat dari Universal membuat kami enggak punya pilihan. Oleh karena itu, AMC tidak akan lagi menayangkan film Universal di bioskop milik kami di Amerika Serikat, Eropa, dan Timur Tengah,” tulis CEO AMC, Adam Aron, ke pihak Universal.

via GIPHY

Meskipun bersedia untuk melakukan negosiasi terkait hal di atas dengan pihak Universal, keputusan AMC tersebut tetap akan dilakukan. Bahkan, AMC juga kabarnya bakal melakukan hal yang sama terhadap studio film lainnya yang ingin mengikuti langkah dari Universal Pictures tersebut.

Melihat hal tersebut, kemungkinan besar langkah format perilisan langsung ke layanan streaming tersebut hanya akan dilakukan semasa pandemi virus Corona. Jadi, ke depannya film-film terbaru akan tetap tayang di bioskop seperti biasanya.

Anjloknya Box Office Global dan Hilangnya Sistem Peringkat

Via istimewa

Ketika studio memilih alternatif untuk merilis langsung film mereka di layanan streaming selama masa pandemi Corona, apakah semua baik-baik saja? Lantas, bagaimana dengan perhitungan Box Office?

Dilansir The Hollywood Reporter, industri perfilman dunia dikabarkan akan kehilangan pendapatan sebesar 5 miliar dolar (sekitar Rp70,9 triliun) di 2020 melihat situasi pada Maret lalu. Hal ini baru diprediksi berdasarkan penutupan bioskop di Tiongkok (pasar perfilman terbesar kedua di dunia), Jepang, Korea Selatan, dan Italia. Tentunya, kerugian tersebut bisa bertambah jika pandemi enggak kunjung berakhir serta diakumulasi lagi dari negara lain.

Padahal, pada 2019 lalu industri perfilman dunia mencetak rekor dengan meraih pendapatan sebesar 42,5 miliar dolar (sekitar Rp602,3 triliun) dan naik 2% dari tahun sebelumnya. Namun, jika melihat kondisi seperti yang dibahas di atas, pendapatan ini kemungkinan besar mengalami penurunan sepanjang 2020.

via GIPHY

Hal ini ditakutkan bakal berdampak kepada berkurangnya investasi yang diterima oleh studio-studio. Soalnya, mereka enggak merilis ataupun memproduksi film apapun selama terjadinya pandemi Corona sehingga tidak ada tolok ukur bagi investor untuk menanam modal di studio.

Selain itu, peringkat Box Office mingguan juga tidak diperbaharui selama beberapa pekan, mengingat enggak ada film lagi yang tayang di bioskop. Contohnya, peringkat Box Office Indonesia yang terhenti di pekan kedua Maret 2020 karena sejumlah film terbaru, seperti KKN di Desa Penari dan Tersanjung, mengalami penundaan.

Di sisi lain, sejumlah layanan streaming justru dikabarkan mengalami peningkatan pesat dalam hal pendapatan selama masa pandemi. Salah satunya dialami oleh platform asal Amerika Serikat, Netflix, yang mendapat 16 juta pelanggan baru di seluruh dunia dalam kurun waktu tiga bulan pertama di 2020. Lalu, GoPlay yang merupakan layanan streaming asal Indonesia juga mengungkapkan bahwa kunjungan ke platform-nya melonjak 10 kali lipat ketimbang sebelum pandemi.

Sayangnya, hampir seluruh layanan streaming terbilang sangat jarang merilis data pelanggan atau jumlah penonton yang menyaksikan sejumlah konten mereka. Sekalinya studio memberikan data penonton dari film yang dirilis di layanan streaming, itupun karena formatnya adalah rental atau pay per view. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Universal Pictures di poin sebelumnya terkait film Trolls World Tour.

via GIPHY

Apakah perhitungan Box Office melalui pemutaran di bioskop bisa tergantikan dengan penayangan di layanan streaming? Sayangnya, hingga saat ini belum ada sistem yang bisa mengungkap angka pasti dari jumlah penonton di seluruh layanan digital. Jadi, kalaupun ada suatu peringkat film terlaris yang tayang secara digital, itu hanyalah untuk satu layanan streaming, bukan keseluruhan seperti Box Office pada umumnya. Lagipula, peringkat tersebut bukan hanya menampilkan film yang baru tayang, melainkan juga film-film beberapa tahun lalu.

Meskipun begitu, peringkat tersebut bisa dibilang sedikit membantu untuk mengetahui data film keluaran 2020 yang akhirnya langsung tayang secara digital di beberapa layanan streaming. Hal ini seperti yang dialami oleh film SCOOB! produksi Warner Bros. yang hadir dengan format rental atau pay per view.

Berkat data yang dirilis oleh sejumlah layanan streaming, kita bisa mengetahui bahwa film SCOOB! menempati posisi nomor satu di beberapa platform. Hal ini meliputi layanan Amazon Prime, FandangoNOW, dan iTunes. Namun, lagi-lagi data tersebut bukanlah berdasarkan atas pendapatan atau hasil rental, melainkan jumlah transaksi terhadap film tersebut.

Tentunya, industri perfilman harus menyiapkan sebuah sistem khusus Box Office layanan streaming, terlepas dari apakah pandemi Corona bakal berlangsung lama atau tidak. Ataukah, akan ada perhitungan lain yang bakal disepakati untuk mengukur kesuksesan sebuah film?

Berubahnya Peraturan Ajang Penghargaan

Via istimewa

Selain perubahan cara menonton serta sistem Box Office, pandemi Corona juga mengganti sebuah tradisi yang ada di ajang penghargaan Oscar. Buat kalian yang belum tahu, sepanjang sejarahnya Oscar melarang film yang hanya tayang di layanan streaming untuk ikut berkompetisi di dalamnya.

Sebelumnya, ada ketentuan yang mengharuskan sebuah film untuk tayang di bioskop wilayah Los Angeles minimal selama tujuh hari terlebih dahulu supaya bisa ikut berkompetisi di ajang Oscar. Akan tetapi, peraturan ini ditangguhkan sementara untuk ajang Oscar 2021 mengingat situasi yang enggak memungkinkan.

Oleh karena itu, film yang tayang di layanan streaming akan dibolehkan untuk ikut serta sebagai nominasi di Oscar 2021 mendatang. Tentunya, hal ini akan mematahkan tradisi Oscar yang sebelumnya bisa dibilang anti dengan film di layanan video on demand (VOD).

Bukan berarti semua film yang ada pada layanan streaming dapat berpartisipasi dalam ajang Oscar 2021. Pihak Academy tetap memberikan syarat bahwa film tersebut diharuskan sudah memiliki rencana tayang di bioskop pada tahun ini. Selain itu, film tersebut juga harus tersedia pada situs streaming khusus milik pihak Academy dalam jangka waktu 60 hari setelah dirilis di layanan VOD.

via GIPHY

Berbeda dengan Oscar, ajang terbesar industri sinema, yaitu Festival Film Cannes 2020, justru lebih memilih untuk menunda penyelenggaraannya ketimbang mengubah peraturan. Rencananya, Festival Film Cannes tahun ini bakal diadakan pada 12 hingga 23 Mei. Namun, karena di Prancis saat itu juga sedang diterapkan prosedur lockdown, pihak panitia pun mengundur acaranya sampai situasi mulai kondusif.

Selain itu, Festival Film Venice juga dikabarkan menolak opsi penyelenggaraan secara online walaupun kerap diserukan untuk melakukan social distancing. Namun, belum ada keterangan lebih lanjut bagaimana prosedur penyelenggaran apabila festival film paling tua di seluruh dunia tersebut jadi diadakan. Tentunya, mereka juga akan melihat kembali apakah kondisi Italia sudah aman pada September mendatang untuk tetap melaksanakan acara seperti biasa.

Terlepas dari keogahan kedua ajang tersebut untuk mengubah tradisi mereka, Festival Film Cannes dan Venice tetap berkontribusi bagi pandemi virus Corona. Kedua ajang tersebut bekerja sama dengan 18 festival film lainnya untuk menciptakan festival film global yang bertajuk We Are One: A Global Film Festival.

Festival film digital ini diadakan di platform YouTube selama 10 hari, dari 29 Mei hingga 7 Juni 2020, secara gratis. Para penonton juga dapat memberikan donasi yang kemudian bakal diberikan kepada COVID-19 Solidarity Response Fund dari WHO.

Melihat perubahan peraturan serta format tersebut, enggak menutup kemungkinan hal ini juga bakal diterapkan di sejumlah ajang penghargaan atau festival film di Indonesia. Angga Dwimas Sasongko selaku CEO Visinema Pictures dan sutradara di balik kesuksesan Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini di awal 2020 pun buka suara.

“Saya dari awal merasa bahwa film adalah film. Terlepas tayang di bioskop atau di layanan streaming, selama memenuhi standar durasi feature, dia (film) harus dinilai sebagai sebuah film. Saya enggak pernah satu pandangan dengan Festival Film Cannes yang melarang film layanan streaming untuk ikut di dalamnya. Buat saya, film, ya, film,” ucap Angga kepada KINCIR.

Terciptanya Protokol Syuting Terbaru

Via istimewa

Pandemi virus Corona bukan hanya menunda perilisan film terbaru di bioskop, tapi juga berhentinya proses produksi dari sejumlah proyek film. Contohnya adalah proyek film Venom 2 yang produksinya terhenti meskipun awalnya direncanakan tayang pada Oktober 2020. Lalu, di Indonesia ada juga film Gatotkaca garapan Hanung Bramantyo yang seharusnya mulai syuting pada April 2020 dan tayang pada November di tahun yang sama.

Namun, industri perfilman bisa dibilang enggak boleh terlalu lama dihentikan. Soalnya, perfilman menjadi salah satu industri yang cukup berkontribusi bagi bergeraknya perekonomian, terutama yang bersifat kreatif.

via GIPHY

Di Amerika Serikat, industri perfilman dianggap sebagai penggerak ekonomi kreatif. Hal ini karena industri tersebut memberikan 2,5 juta lapangan pekerjaan bagi masyarakat dan juga berkontribusi membayarkan pajak sebesar lebih dari 181 miliar dolar (sekitar Rp2,5 triliun) setiap tahunnya.

Selain itu, pihak studio juga harus mengeluarkan biaya yang lebih akibat penundaan ini. Contohnya adalah tim produksi Falcon and Winter Soldier yang ‘dipulangkan’ ke Amerika Serikat saat proses syuting di Republik Ceko karena pandemi Corona mulai menyebar di negara tersebut. Tentunya, ongkos yang dikeluarkan oleh pihak studio untuk kembali melakukan produksi di negara tersebut menjadi dua kali lipat.

Selanjutnya, untuk produksi film yang dilakukan di sebuah gedung studio, kehadiran pandemi Corona juga menjadi sebuah masalah. Proyek film yang tengah melakukan produksi saat pandemi mulai menyebar tentunya harus ditunda. Hal ini tentunya berdampak bagi proyek film lainnya yang sudah berencana untuk melakukan produksi di gedung studio yang sama pada periode tertentu.

Oleh karena itu, beberapa sineas ada yang tetap membuat film di tengah pandemi ini dengan sebuah format produksi terbaru, yaitu syuting secara virtual. Salah satu proyek yang menerapkan hal ini adalah webseries Curhat Online yang dibintangi Gading Marten dan Acha Septriasa.

Curhat Online direkam via video call menggunakan aplikasi Zoom, ditambah dengan kamera personal, dan dilakukan di rumah masing-masing pemainnya. Hal ini tentunya dilakukan untuk mengurangi risiko penularan COVID-19 atau biasa disebut prosedur physical distancing.

Terlepas dari terciptanya terobosan baru bagi produksi film, industri persinemaan bisa dibilang mulai aktif kembali untuk melakukan proses syuting di pertengahan 2020. Faktor yang membuat hal ini terjadi adalah jumlah kasus COVID-19 yang sudah mulai mereda di beberapa negara. Salah satunya adalah Inggris yang membuat proyek film The Batman garapan Matt Reeves dapat melanjutkan kembali proses produksinya di negara tersebut.

Meskipun begitu, proses produksi yang akan dilakukan oleh The Batman dan sejumlah film lainnya enggak akan sama seperti sebelum terjadinya pandemi virus Corona. Hingga artikel ini ditulis, vaksin dari penyakit tersebut masih belum ditemukan sehingga masih ada risiko untuk tertular. Oleh karena itu, beberapa lembaga perfilman dan sineas membuat sebuah regulasi kesehatan khusus untuk proses syuting di masa new normal ini.

Hal ini tentunya dilakukan untuk mengurangi risiko penularan penyakit tersebut, terutama bagi para aktor yang sering melakukan kontak fisik saat syuting. Maka dari itu, kesehatan dari para aktor tetap harus dijaga selama syuting di tengah pandemi. Apalagi, hingga saat ini belum ada polis asuransi yang menutupi biaya perawatan terkait pandemi.

via GIPHY

European Film Commissions Network (EUFCN) menjadi salah satu badan yang telah menyusun regulasi untuk proses produksi film di benua Eropa selama pandemi. Di dalamnya, terdapat peraturan di mana aktor atau stuntman yang terlibat kontak fisik langsung dalam sebuah adegan harus dinyatakan negatif dari COVID-19. Tes yang menyatakan mereka negatif tersebut pun harus swab test, bukan rapid test, agar lebih akurat.

Selain itu, seluruh pihak yang terlibat juga harus selalu menggunakan masker selama di lokasi syuting, termasuk para aktor saat enggak melakoni adegan. Lalu, untuk urusan tata rias, tiap aktor diharuskan menggunakan set make-up yang berbeda. Oh, ya, semua properti dan juga seluruh orang di lokasi syuting juga harus dijaga higienitasnya dengan disinfektan.

Peraturan serupa pun dilaksanakan oleh industri perfilman di Jerman. Bahkan, mereka memiliki peraturan tersendiri untuk aktor yang terlibat dalam sebuah adegan ciuman atau seks. Nantinya, jika para aktor harus berada dalam jarak kurang dari 1,5 meter antara satu sama lain, mereka harus dikarantina terlebih dahulu. Seluruh pihak yang berada di lokasi syuting juga harus melakukan tes COVID-19 secara berkala.

via GIPHY

Sedangkan, pemerintah Republik Ceko memiliki standar higienis baru bagi tim produksi luar yang ingin membuat film di negaranya. Tim produksi yang datang dari luar Republik Ceko harus membawa bukti bahwa mereka negatif dari COVID-19 ketika sampai. Lalu, mereka juga diharuskan tes COVID-19 kedua kalinya setelah 72 jam karantina. Hal inilah yang nantinya bakal dilakukan proyek serial Falcon and Winter Soldier yang melaksanakan syuting di negara tersebut.

Di Indonesia, prosedur syuting pada masa new normal juga sedang dipersiapkan hingga artikel ini ditulis oleh sejumlah sineas dan rumah produksi di bawah Badan Perfilman Indonesia (BPI). Salah satu sineas yang tergabung dalam perancangan protokol kesehatan tersebut adalah Angga Dwimas Sasongko.

Ketika dihubungi oleh KINCIR, Angga mengaku bahwa saat ini masih ada beberapa poin di prosedur tersebut yang dipermasalahkan. Pertama adalah kewajiban untuk melakukan rapid test bagi seluruh pihak yang terlibat dalam produksi film sebelum syuting.

“Protokol tersebut bagus untuk keamanan, tapi diskriminatif. Rumah produksi yang besar pastinya bisa mengadakan rapid test. Biaya rapid test itu Rp1 juta tiap orang, Untuk rumah produksi kecil yang punya 50 kru, rapid test bakal memakan Rp50 juta. Kalau misalkan bujet film hanya Rp500 juta, 10% sudah habis duluan. Kenapa enggak pemerintah saja yang bayarin biaya rapid test kalau mau ekonomi jalan?” pungkas Angga.

Lalu, poin kedua yang juga masih dipertentangkan adalah produksi film di masa new normal enggak boleh melibatkan orang dengan usia di atas 45 tahun. Maka dari itu, protokol syuting di Indonesia masih dalam proses penyusunan hingga artikel ini ditulis. Meskipun begitu, Angga juga ternyata tengah menyusun sebuah prosedur syuting khusus untuk diterapkan di rumah produksi miliknya.

“Salah satu yang Visinema mau rancang adalah adanya setting ring. Seluruh kru dan pemain enggak boleh pulang. Jadi, di-lockdown di sebuah hotel. Jadi, kita punya hotel dan tempat syuting dan bolak-balik antara lokasi. Supaya, kalau ada apa-apa di dalam lokasi enggak akan di bawa ke luar, dan sebaliknya. Memang akhirnya biayanya lebih mahal dan ini enggak kita sarankan ada di protokol juga. Namun, sepertinya itu yang akan kita (Visinema) lakukan,” tambah Angga.

Selain Angga, Hanung Bramantyo juga membocorkan sedikit protokol syuting film di Indonesia yang kemungkinan akan mengambil standar internasional. Nantinya, di lokasi syuting akan tidak ada banyak orang. Jadi, kru art bakal mendekor tempat syuting terlebih dahulu, lalu dilanjutkan oleh divisi lainnya seperti lighting dan kamera secara bergantian di satu lokasi.

“Protokol tersebut harus disetujui oleh gugus tugas COVID-19. Kalau tidak disetujui, sama saja. Bahkan, kami minta di setiap di lokasi syuting harus ada polisi COVID. Fungsinya adalah menjelaskan kepada warga di lokasi syuting bahwa kru yang terlibat dalam kondisi sehat. Nah, hal itu tidak bisa kami yang melakukan, tapi harus dari pemerintah,” ungkap Hanung kepada KINCIR.

Sebenarnya, prosedur syuting tersebut juga diterapkan oleh sutradara Transformers, Michael Bay, untuk film terbarunya yang berjudul Songbird. Yap, Bay menjadi salah satu sutradara yang bisa dibilang nekat untuk melakukan produksi film di tengah pandemi Corona. Apalagi, Los Angeles yang menjadi kota tempat dia syuting juga masih dalam masa lockdown.

Meski begitu, tim produksi nantinya memberikan pelatihan jarak jauh buat para aktornya. Mereka juga berjanji enggak bakal ada keramaian dalam satu ruangan ketika proses syuting berlangsung dan akan mengutamakan aturan social distancing nantinya.

Apakah ini adalah cikal-bakal kebangkitan industri perfilman di era pandemi? Apapun itu, mari kita berdoa supaya segala perubahan ini bakal efektif menghidupkan kembali industri perfilman, baik dalam maupun luar negeri.

***

Pandemi Corona bukan hanya bencana bagi kehidupan, tetapi juga ujian dan tantangan bagi kemanusiaan. Sejumlah industri kini dituntut untuk menyusun strategi baru agar bisa bertahanan di tengah situasi ini, termasuk dunia perfilman. Deretan poin di atas pun menjadi titik awal dari kebangkitan industri perfilman di tengah pandemi Corona. Harapannya, industri perfilman dapat kembali berjalan kembali dan menghibur kita semua.

Nah, menurut kalian, apa yang harus dilakukan supaya industri perfilman dapat kembali berjalan baik di masa pandemi Corona? Bagikan pendapat kalian di kolom komentar dan ikuti terus informasi selanjutnya seputar perfilman hanya di KINCIR!

Oh, ya, supaya makin keren dan enggak terpapar penyakit, ada baiknya kalian gunakan Masker Kain Scuba hasil kolaborasi dengan IESPL. Setiap pemesanan satu masker berarti kalian telah berbagi tiga masker kepada yang membutuhkan. Yuk, dapatkan maskernya di sini!

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.