Film Indonesia yang Berjaya di Festival Internasional

Kata siapa film-film Indonesia kalah mutunya dibanding film-film luar negeri? Kalau masih berpikiran kayak gitu, berarti lo mainnya kurang jauh. Soalnya, ada juga, kok, film Indonesia berkualitas yang berjaya di festival film internasional. Bahkan, ada yang sampai borong penghargaan segala.

Iya, industri film Indonesia memang udah mulai merangkak bangkit, nih. Para sineas film Indonesia sekarang, tuh, enggak cuma produktif, tapi juga semakin kreatif ngegarap cerita dan ngolah berbagai aspek lainnya untuk bikin film kece. Nah, buat lo, Viki berhasil ngumpulin empat film Indonesia kece yang berjaya di festival film internasional.

 

1. Salawaku

Via Isimewa

Siapa sangka ternyata perjalanan bocah laki-laki bernama Salawaku untuk mencari kakaknya yang belum lama minggat bisa asyik banget dinikmatin. Meski merupakan aktor muda pendatang baru, Elko Kastanya yang memerankan Salawaku sukses membawa penonton nikmatin perjalanannya. Dia juga bisa ngajak penonton melihat masalah dari sudut pandang anak kecil yang polos, tapi cukup dewasa dan berani ngambil risiko.

Salawaku jadi road movie yang asyik dinikmatin karena ngangkat tema universal, yaitu cinta. Pritagita Arianegara berhasil mengemas sekelumit kisah cinta yang sebenarnya sederhana, tapi cukup rumit. Perjalanan Salawaku dari Pulau Seram ke Pulau Piru bersama Saras (Karina Salim) dan Kawanua (JFlow Matulessy) bisa diceritain dengan baik. Bukan cuma kisahnya yang asyik, sinematografinya juga manjain mata banget. Makanya, enggak heran, deh, kalau film ini masuk nominasi “Film Terbaik” di Tokyo International Film Festival 2016.

Salawaku juga jadi film pembuka di Jogja-Netpac Asian Film Festival 2016, loh. Di dalam negeri, film ini juga berhasil borong penghargaan di ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2016, yaitu “Pemeran Anak Terbaik”, “Pengarah Sinematografi Terbaik”, dan “Pemeran Pembantu Wanita Terbaik”. Film ini juga berhasil menangin Piala Deantara untuk kategori “Film Panjang Bioskop Terbaik” di Apresiasi Film Indonesia (AFI) 2016, loh. Hebat, ya!

 

2. Istirahatlah Kata-kata

Via Istimewa

Lo sempat nonton film ini saat tayang di bioskop? Karena cukup menuai kontroversi, soalnya ngangkat kisah aktivis yang cukup berani nyuarain kritiknya terhadap pemerintahan Orde Baru, film ini ditayangin secara terbatas di Indonesia. Namun, sebelumnya, film ini udah meraih banyak prestasi di festival film internasional, loh. Ya, film yang mengangkat kisah Wiji Thukul—seorang aktivis 1998 yang sampai sekarang enggak ketahuan batang hidungnya—ini memang cukup diakui kualitasnya di dunia perfilman internasional. Istirahatlah Kata-kata pernah diputar di Locarno International Film Festival ke-69 di Swiss dan di Busan International Film Festival pada 2016 lalu.

Dari judulnya aja mungkin lo udah bisa menilai bahwa ini bukan film mainstream. Film ini jadi gambaran bahwa di tengah demokrasi yang berlangsung di Indonesia sekarang, pernah ada rezim yang begitu menekan, kayak yang digambarkan dalam film. Makanya, wajar juga kalau Yosep Anggi Noen, sang sutradara, meraih penghargaan sebagai “Sutradara Terbaik” di Usmar Ismail Awards dan jadi unggulan di Festival Film Indonesia. Istirahatlah Kata-kata juga jadi “Film Terbaik” di Jogja-NETPAC Asian Film Festival dan Godlen Hanoman Award. Enggak ketinggalan, Gunawan Maryanto yang meranin mendiang Wiji Tukhul juga meraih penghargaan sebagai “Aktor Terbaik” di Usmar Ismail Awards.

 

3. Headshot

Iko Uwais selalu menarik perhatian di setiap filmnya. Selain terkenal melalui The Raid, dia juga tampil kece, loh, saat membintangi Headshot bareng Chelsea Islan dan Julie Estelle. Makanya, enggak heran kalau Headshot berhasil tayang di sesi Midnight Madness di Toronto International Film Festival (TIFF) 2016. Bahkan, enggak tanggung-tanggung, Headshot juga ditayangin khusus di L’Etrange Festival Paris, Fantastic Fest di Texas, Festival Beyond Fest di Los Angeles, Mayhem Film Festival di Inggris, Irish Film Institute Horrorthon, Rio de Janeiro International Film Festival, dan Busan International Film Festival. Semua diraih pada tahun yang sama! Kurang kece gimana lagi, coba?

Duo Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel alias Mo Brothers berhasil nyajiin kisah yang enggak biasa tentang perjalanan seorang cowok amnesia yang begitu mengejutkan. Dia berubah jadi mesin pembunuh saat harus berhadapan dengan gembong narkoba yang berbahaya. Film ini memang penuh aksi banget dan bikin nama Iko semakin diakui dunia. Bahkan, ada kritikus yang ngebandingin Iko dengan Matt Damon sebagai Jason Bourne, loh. Soalnya, di film ini Iko enggak cuma adu tinju, tapi juga adu senjata. Makanya, enggak heran kalau film ini ditayangin khusus di berbagai festival film internasional.

 

4. Marlina: Si Pembunuh dalam Empat Babak

Via Istimewa

Kalau yang terakhir ini masih hangat banget dan memang belum tayang di Indonesia. Kecenya, film ini udah ngantongin tiket ke Cannes Film Festival 2017. Film garapan sutradara Mouly Surya (Fiksi, What They Don’t Talk About When They Talk About Love) ini punya kisah yang enggak biasa. Makanya, wajar aja kalau film ini bakal diputar dalam sesi Director’s Forthnight di salah satu festival paling bergengsi di dunia yang diselenggarain di Cannes, Prancis.

Marlina: Si Pembunuh dalam Empat Babak ngambil latar di Sumba, namun punya suasana kelam yang mirip-mirip sama film Django Unchained. Di film ini, Marlina (Marsha Timothy) adalah seorang janda yang diserang perampok. Demi mempertahankan diri, Marlina membunuh para perampok itu dengan parang dan membawa kepala salah satu di antaranya dalam perjalanan pulang mencari keadilan. Cuplikan film ini bisa lo lihat di sini. Kalau nanti film ini tayang di bioskop Tanah Air, jangan lupa nonton, ya!

***

Itu dia empat film Indonesia yang kece banget sampai sukses berlaga di festival film internasional. Sebetulnya, sih, masih banyak lagi film-film Indonesia kece lainnya, misalnya Rumah Dara yang pada 2007 menangin empat penghargaan sekaligus di Amerika dan Irlandia.

Selain itu, film-film pendek buatan para sineas Indonesia juga enggak kalah kece, loh. Misalnya aja Prenjak karya Wregas Bhanuteja yang durasinya cuma 12 menit tapi berhasil meraih penghargaan sebagai “Film Pendek Terbaik” di Festival Cannes Film Festival. Ada juga On the Origin of Fear yang disutradarai oleh Bayu Prihantoro Filemon yang ikut berkompetisi di program Orizzonti—program kompetisi bagi film-film yang mampu menghadirkan temuan estetis dan ekspresi baru—di Venice Internetional Film Festival 2016 lalu.

Semua prestasi itu ngebuktiin bahwa orang Indonesia juga bisa bikin film kece. Masalahnya, lo sebagai penonton mau ngedukung industri film Indonesia dengan nonton film Indonesia di bioskop, enggak? Atau, tetap aja lo lebih milih film Hollywood dibandingin film Indonesia? Nah, tanya ke diri sendiri aja, deh.

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.