5 Obrolan Seru Bareng Lala Timothy di Hari Film Nasional

Lala Timothy, produser film Wiro Sableng 212 (2018), membagikan pengalamannya di balik layar selama berkecipung di industri perfilman. Bukan hanya tentang sulitnya mengatur segala elemen hingga menghasilkan gambar sekitar dua jam di layar lebar, tapi juga serunya berkarya. Di Hari Film Nasional ini, Lala Timothy pun enggak melupakan semua yang membesarkannya hingga kini.

KINCIR berkesempatan berdiskusi seru bersama Presiden Direktur Lifelike Pictures ini dalam menyambut Hari Film Nasional. Produser bernama lengkap Sheila Timothy, seorang movie agent kondang yang dimiliki Indonesia ini akan membuka pandangan kalian tentang optimistis perfilman Indonesia bertahan di negeri sendiri dan berjaya di luar negeri.

Berikut, lima hal obrolan seru bareng Lala tentang industri perfilman Indonesia yang telah dicapai filmmaker Tanah Air. Yuk, simak!

 

1. Kekuatan Nilai Jual Film Indonesia di Kancah Dunia

Harus diakui, saat ini perfilman Indonesia lagi dalam momen yang sangat menggembirakan. Semuanya serba positif. Buktinya, Lala membeberkan bahwa peningkatan market share-nya meningkat hingga 30 persen dari 2015—2018. Bahkan, pas Lala berkesempatan berbicara di CineAsia Hong Kong, banyak studio Hollywood yang mengalihkan mata ke Indonesia.

“Karena kita punya populasi yang sangat besar dan market yang sangat luas. Jumlah layar kita yang masih sedikit, pengembangannya untuk menjadi lebih banyak lagi sangat punya potensi dibandingkan dengan Tiongkok yang sudah stagnan sekarang,” ujar produser Tabula Rasa (2014) ini (29/3).

Faktanya, memang mereka melihat Indonesia sebagai market yang potensial. Bukan hanya sebagai lokasi untuk memasarkan film, tapi juga untuk bekerja sama dengan produser lokal. Terlebih, untuk masuk ke tiap-tiap negara, mereka butuh sentuhan lokal taste-nya. Terbukti udah mulai banyak filmmaker yang kerja sama dengan pihak asing, seperti Wiro Sableng 212 dengan 20th Century Fox, kemudian Joko Anwar dengan Ivanhoe Pictures asal Amerika.

 

2. Alasan Rumah Produksi Luar Negeri Lirik Pasar Indonesia

Ada dua hal. Pertama, rumah produksi luar negeri mau masuk ke pasar Indonesia karena butuh konten lokal. Lala mengungkapkan bahwa biasanya yang mereka cari adalah intellectual property (IP) yang kemungkinan disukai banyak orang. Contohnya, Wiro Sableng, IP yang sudah berbasis dari tahun ’60-an dan punya basis fan base yang besar.

Kedua, keunikan cerita. Lala mencontohkan IP Wiro Sableng dengan aksi-komedi dan fantasi merupakan salah satu cerita yang punya potensi. Bukan cuma satu film, tapi punya banyak sekuel dan bisa dimasukkan ke dalam medium apa pun.

“Tentunya, film-film yang punya kelebihan untuk bisa travel across boundaries, across territory, dan across culture yaitu film-film dengan genre fantasi, aksi, dan horor. Ini yang paling bisa travel ke mana-mana. Karena tanpa mengerti bahasanya pun orang bisa paham dengan cerita tersebut. Beda dengan drama dan komedi yang sangat lokal,”

3. Majunya Industri Film Indonesia Berhubungan dengan Maraknya Layanan Streaming Digital?

Via Istimewa

Lala optimis dengan perfilman Indonesia yang saat ini udah bisa bersaing di market global. Ditambah, karena sekarang sudah digital, udah pasti karyanya harus bisa worldwide. Apalagi, ada layanan streaming digital seperti Netflix, semua film dan serial bisa tayang worldwide selama apa pun.

Investor asing biasanya mencari konten lokal yang punya pangsa pasar besar di lokalnya sendiri. Melihat hal itu, Lala mengungkapkan bahwa untuk siapa pun yang ingin dapat investasi dari luar, film lokalnya harus kuat dan berkualitas terlebih dahulu. Ya, selaras dengan layanan digital seperti Netflix, Iflix, Hulu, Amazon, dan sebagainya. Walaupun mereka global, tapi mereka butuh konten lokal.

“Jadi ada dua strategi. Satu bisa ke mana-mana, satu lagi yang memang mau menguasai market Indonesia. Mereka cari yang laku di Indonesia, selebihnya bonus. Seperti Netflix yang banyak sekali bikin tayangan original Netflix. Misalnya, di India dan Indonesia. Walaupun mungkin tayangan India enggak diterima di Indonesia dan sebaliknya, enggak masalah, karena memang strategi mereka untuk masuk ke pasar-pasar ini,” jelas produser berzodiak Sagitarius ini.

Sebagai informasi, waktu Lala Timothy jadi Ketua Asosiasi Produser Film Indonesia (APROFI) 2015 bekerja sama dengan pemerintah untuk membuka daftar negatif investasi. Saat itu, udah saatnya perfilman Indonesia butuh persaingan dan butuh investasi luar. Ketika dibuka, akhirnya terjadi peningkatan, seperti jaringan XXI yang dapat investasi dari luar negeri dan membuatnya survive hingga kini.

 

4. Layanan Streaming Digital Sulit Menggeser Keberadaan Bioskop?

Via Istimewa

“Sudah menjadi perdebatan dari kemarin-kemarin sampai sekarang. Kayaknya perdebatannya sama ketika film terus muncul digital. Menurut saya, romantisme nonton di bioskop tetap akan ada. Dan tetap akan ada film-film yang punya kepuasan jika ditonton di layar lebar dan enggak ada kepuasan ketika ditonton di layar kecil. Apakah bioskop akan survive? Saya rasa bioskop akan tetap survive sampai kapan pun,” ujar kakak dari Marsha Timothy ini.

Bukan sebagai pesaing yang menjatuhkan, ketika makin banyak layanan streaming digital berarti bisa jadi pembelajaran bagi para filmmaker. Cara pembuatan film yang tayang di layar lebar dan layar kecil itu juga berbeda. Tentunya akan ada pengalaman yang berbeda ketika nonton di layar lebar dan layar kecil.

5. Pandangan Lala Timothy Terhadap Hari Film Nasional

Buat Lala, film baginya adalah medium untuk bisa menyampaikan cerita-cerita yang ingin dia sampaikan ke penonton. Lala optimis bahwa film Indonesia bisa bersaing di pasar global. Di Hari Film Nasional ini, Lala memaknainya sebagai pengingat untuk berkarya lebih dan saling dukung satu sama lain. Enggak hanya sebagai pengingat bagi para filmmaker, tapi juga para penonton dan media.

“Buat saya, hanya untuk mengingatkan kita para filmmaker, terutama filmmaker Indonesia bahwa kita punya industri dan kita sebagai stakeholder perfilman Indonesia harus sama-sama untuk bisa maju. Kita industri perfilman Indonesia masih punya banyak PR untuk bisa maju seperti negara-negara lain,” tutup Lala.

***

Itulah obrolan seru tentang industri perfilman Indonesia bersama Lala Timothy yang ditemui KINCIR di acara talk show kolaboratif Tokopedia dan Narasi.tv dalam Ngobrol Aja Dulu #2 “The Movie Agent”. Nah, bagaimana dengan kalian? Bagaimana cara kalian memahami film dalam Hari Film Nasional ini? Share pendapat kalian dan terus pantengin KINCIR, ya.

Selamat Hari Film Nasional, mari dukung perfilman Indonesia dengan nonton film di platform resmi.

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.