(REVIEW) Aladdin (2019)

Aladdin
Genre
  • keluarga
  • komedi
  • musikal
  • petualangan
Actors
  • Alan Tudyk
  • Marwan Kenzari
  • Mena Massoud
  • Naomi Scott
  • Will Smith
Director
  • Guy Ritchie
Release Date
  • 20 May 2019
Rating
4 / 5

*(SPOILER ALERT) Artikel ini mengandung sedikit bocoran film Aladdin yang semoga saja enggak mengganggu buat kalian, ya.

Harus diakui, film Aladdin versi 1992 menjadi salah satu film Disney yang dicintai. Buktinya, enggak ada yang bisa melupakan sosok Putri Jasmine, Aladdin, Genie, dan lagu “A Whole New World” hingga kini. Guy Ritchie patut berbangga hati sekaligus harus berani menghadapi tantangan bikin remake live action dari produk pop culture tersebut.

Mengikuti kisah Aladdin (Mena Massaoud), pencuri ulung yang hidup sebatang kara bersama monyetnya, Abu. Dia jatuh cinta kepada Putri Jasmine (Naomi Scott) dari Agrabah setelah bertemu secara kebetulan di pasar.

Karena ketahuan mencuri, Jafar, Perdana Menteri Agrabah, membawanya ke suatu gua yang berisi emas. Dia pun menemukan lampu ajaib berisi jin yang dapat mengabulkan tiga permintaan. Berhasilkah Aladdin membuat Putri Jasmine jatuh cinta?

 

Drama Musikal Segar Beri Nuansa Magical

Tanpa bermaksud melebihkan, film Aladdin menjadi salah satu live action terbaik Disney, setelah Beauty and the Beast (2017). Film ini menawarkan pertunjukkan meriah: petualangan fantasi dalam drama musikal dan lelucon yang renyah.

Bisa dibilang, film Aladdin enggak terlalu dipromosikan segencar film-film Marvel, meski satu rumah Mickey. Bahkan, enggak banyak yang berekspektasi besar soal film ini. Beruntungnya, film garapan Ritchie ini enggak mengecewakan.

Richie enggak hanya membuat penonton merasakan nostalgia untuk film versi 1992, tetapi juga menyadari bahwa ini adalah film Aladdin yang baru, modern, dan layak diapresiasi.

Sayangnya, penggambaran stereotip terhadap budaya Arab, salah satunya pada lagu “Arabian Nights”, memberikan konotasi kurang baik. Meski terasa segar, menjelang akhir cerita terasa seperti formula dan sedikit antiklimaks. Ya, itu jadi salah satu dampak ketika Ritchie mempertahankan materi asli.

Berbeda dengan film animasinya, Ritchie memilih mengangkat konflik masyarakat ketimbang penggambaran suatu suku atau ras. Sebaliknya, film Aladdin menyoroti soal seberapa tuluskah kita berperilaku terhadap sesama manusia?

Memaku Tiap Karakter dengan Pas

Saking mempertahankan materi asli yang dibuat modern, Ritchie cakap dalam memilih para bintangnya. Mena Massoud pas menggambarkan Aladdin yang mungkin aja perannya membuka jalannya ke Hollywood.

Putri Jasmine yang diperankan Naomi Scott menjadi bagian yang jauh lebih besar dari cerita. Seperti yang kita tahu, Putri Jasmine dikenal sebagai putri Disney yang paling feminis, karena dia menolak dinikahkan kepada sembarang pangeran. Inilah yang jadi fondasi karakternya yang dibuat lebih relevan untuk era modern.

Chemisty Massoud dan Scott berhasil membawa cerita menjadi emosional. Bahkan, nonmanusia seperti Abu dan karpet ajaib dibuat berkarakter. Dilengkapi oleh Will Smith sebagai Genie yang membawa energi menyenangkan sejak awal, meski CGI-nya kurang sempurna.

Bisa jadi karena fokus pada kisah Aladdin dan Jasmine, porsi karakter Jafar sebagai villain terasa kurang: kurang bengis dan kurang banyak. Ya, terlepas dari itu, semua karakter punya satu kesamaan, yaitu memiliki konflik agar terasa realistis.

 

Dongkrak Cerita Lewat Scoring dan Visual

Via Istimewa

Salah satu daya tarik film-film princess Disney yaitu lagu dan tarian. Ritchie pun enggak sia-siakan elemen tersebut. Demi memberi warna baru, Ritchie bersama Alan Menken, sang komposer lagu-lagu Disney, mengaransemennya agar bisa diterima penonton masa kini.

Sukses dongkrak cerita, lagu-lagu klasiknya juga berhasil dibangkitkan dan diprediksi kembali hit. Sayangnya, “A Whole New World” yang jadi diharapkan jadi klimaks, pamornya kurang dibandingkan lagu-lagu lainnya. Ya, kurang bikin merinding, karena sebelumnya udah disuguhkan lagu dan tarian meriah.

Via Istimewa

Salah satu hal di luar ekspektasi ketika beberapa adegan di cuplikan film Aladdin tampak seperti adegan di film Bollywood karena menampilkan tarian dengan kostum-kostum meriah. Hal itu akan ditepis pas kalian nonton filmnya.

Desain produksi dan kostum sangat mewah, baik di gua harta karun, di Istana Agarabah, atau di lingkungan penduduk. Setiap bingkai film penuh dengan detail visual yang berkilauan.

Dibuat Ketawa Terbahak, Dibuat Kagum Berbinar

Film Aladdin jelas enggak sempurna, tapi kekurangannya bisa dimaafkan karena bisa menghidupkan animasi klasik ini dengan indah. Kalian akan dibuat tertawa ngakak dan kagum tanpa jeda.

Ritchie enggak menyimpang terlalu jauh dari apa yang kita harapkan dari Disney. Dengan cara yang sama, Disney enggak ingin menyimpang terlalu jauh dari apa yang kita harapkan dari film Aladdin. Pas dan cukup memorable.

Bahkan dengan kekurangannya, aspek-aspek bagus dari Aladdin lebih besar dan menjadikannya sebagai blockbuster yang menyenangkan. Selama hal positif ini terus berlanjut, maka Disney akan sukses dengan live action berikutnya.

***

Buat kalian yang suka dengan Aladdin versi 1992, kalian akan suka dengan film ini. Namun, buat kalian yang mengharapkan cerita baru seperti yang dilakukan Disney dalam beberapa filmnya, siap-siap enggak memenuhi ekspektasi.

Mirip seperti Beauty and the Beast, buat yang enggak suka drama musikal ala princess Disney, akan biasa aja menontonnya. Ya, tontonlah tanpa ekspektasi tinggi.

Via Istimewa

Film Aladdin mulai tayang 22 Mei 2019 di bioskop. Kalian bisa ajak teman, keluarga, bahkan gebetan buat nonton dan membangkitkan nostalgia masa kecil. Kalau udah nonton, bagikan pendapat kalian di kolom review yang ada di awal artikel ini, ya.

Eits, film ini untuk 13 tahun ke atas, ya. Bukan berarti kalian suka, tapi kalian berhak ajak anak di bawah 13 tahun ikutan nonton, lho. Perilaku tersebut akan merugikan kalian di kemudian hari. Yuk, mulai jadi penonton cerdas.

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.