(REVIEW) Breathe: Optimisme Atas Dasar Cinta

*Spoiler Alert: Artikel ini mengandung bocoran film yang bisa aja mengganggu buat lo yang belum nonton.

Cerita: 9 | Penokohan: 9 | Efek Suara/Scoring: 8 | Visual: 8 | Nilai Akhir: 8,5/10

Tahu, enggak, guys, siapa aktor di balik karakter Gollum di trilogi The Lord of the Rings, Caesar di trilogi Planet of the Apes, dan Supreme Leader Snoke di Star Wars: The Force Awakens (2015)? Yap, dia adalah Andy Serkis! Udah banyak banget judul film atau pun serial TV yang telah dan akan dibintangin Serkis. Serkis juga enggak pernah ragu meranin berbagai karakter yang berbeda. Intinya, bakat Serkis di dunia seni peran enggak perlu diraguin lagi, deh.

Enggak puas hanya sebagai aktor, Serkis kemudian mengembangkan talentanya di dunia seni peran sebagai seorang sutradara. Akhirnya, tepat pada 11 September lalu, film debut Serkis sebagai sutradara dirilis. Film pertama Serkis sebagai sutradara ini diberi judul Breathe dan pertama kali ditayangkan pada Toronto International Film Festival.

Via Istimewa

Breathe berkisah tentang seorang cowok bernama Robin Cavendish (Andrew Garfield) yang bertemu dengan seorang cewek bernama Diana Blacker (Claire Foy) di sebuah acara minum teh. Robin pun jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Diana hingga akhirnya mereka menikah. Setelah menikah, Robin membawa istrinya ke Kenya untuk menemaninya bekerja sebagai seorang makelar teh. Kebahagiaan mereka semakin lengkap saat Diana memberi tahu Robin bahwa dirinya sedang hamil.

Di tengah kebahagiaan mereka menanti anak pertama, cinta Robin dan Diana mulai diuji. Robin mendadak sakit dan didiagnosis mengidap penyakit polio. Akibat polio, seluruh badan Robin jadi lumpuh dan harus bergantung pada respirator untuk bisa bernapas. Walau enggak bisa berbuat apa-apa karena penyakit polionya, Robin enggak mau menjalani sisa hidupnya di rumah sakit.

Dokter “mengancam” bahwa Robin enggak akan bisa bertahan hidup lama kalau dia enggak dirawat di rumah sakit. Diana pun berusaha membantu mewujudkan keinginan suaminya. Walau banyak yang meragukan keputusan nekatnya, Robin membuktikan bahwa dia bisa bertahan hidup tanpa harus terkurung di rumah sakit.

Ada fakta menarik, nih, guys! Ternyata, Breathe diadaptasi dari kisah nyata, loh. Yang lebih mengejutkan lagi, Breathe menceritakan kisah nyata yang dialami orang tua produser film ini, yaitu Jonathan Cavendish.

Via Istimewa

Jujur aja, sebelum nonton, Viki mengira bahwa film ini bakal menye-menye kayak film drama romantis pada umumnya. Ternyata, Viki salah besar, guys! Yap, film ini memang menceritakan kisah dan perjuangan cinta Robin dan Diana. Namun, lo enggak bakal nemuin adegan romantis berlebihan yang terlalu mengada-ada dan bisa bikin lo risih. Soalnya, film ini berfokus pada perjuangan Diana untuk terus mendukung suaminya yang ingin menikmati kehidupan bebas walau mengalami kelumpuhan.

Viki benar-benar salut dengan karakter Diana. Di film ini, Diana ditampilkan sebagai wanita kuat yang tetap tegar walau tahu suaminya mengidap penyakit parah. Diana enggak pernah nunjukin kelemahannya di depan Robin. Bahkan, dia “memaksa” Robin buat terus hidup dan menyaksikan anak mereka tumbuh.

Hebatnya lagi, Diana enggak pernah menyerah dan mengeluh dengan keadaan suaminya. Diana rela ngelakuin segala cara buat ngewujudin keinginan suaminya agar bisa hidup bebas. Lewat karakter Diana, kita diajarin buat enggak mudah menyerah memperjuangkan cinta sejati dan tetap setia mendampingi pasangan apa pun kondisinya.

Karakter Diana yang kuat ini dibawain dengan begitu apik oleh Foy. Yap, menurut Viki, keputusan Serkis milih Foy sebagai Diana adalah hal yang tepat. Foy berhasil ngebawain karakter Diana yang tangguh tanpa terlihat berlebihan. Akting Foy juga terlihat sangat natural di film ini.

Enggak cuma Foy, akting Garfield di Breathe juga keren banget, guys! Perannya sebagai penderita polio mengharuskan Garfield buat melakoni sebagian besar perannya di atas kasur. Tentunya, bukan hal mudah untuk berakting tanpa bisa menggerakkan anggota tubuh.

Meski gerak tubuhnya terbatas, Garfield berhasil menjalani tantangan tersebut dengan memaksimalkan mimik wajahnya. Lo juga bakal terpukau, deh, saat Garfield meranin sosok Robin yang jadi tua! Bisa dibilang, permainan ekspresinya adalah poin menarik dalam film ini.

Chemistry antara Garfield dengan Foy pun begitu terasa. Sama sekali enggak terlihat kecanggungan di antara keduanya sebagai pasangan suami istri. Penampilan mereka sebagai suami istri yang saling mencintai dan mendukung bakal bikin lo ngerasa baper.

Romantika keduanya pun ditunjukin secara sederhana dan normatif. Lo memang enggak bakal ngelihat adegan intim yang menggebu-gebu meski keduanya terlibat dalam percintaan yang kuat. Soalnya, film ini sendiri nampilin latar waktu dalam tiga dekade, yaitu dari 1950-an hingga 1980-an. Pemilihan kostum dan latar tempat pun ditampilin dengan sangat tepat sesuai dengan latar waktunya. Suasana film yang cerah juga sangat mendukung jalan cerita film yang berfokus pada harapan dan perjuangan.

Lewat film pertamanya sebagai sutradara, Serkis berhasil nunjukin bahwa dia memang memiliki bakat yang besar dalam dunia seni peran. Dengan jam terbangnya yang udah banyak sebagai aktor, dia ternyata memiliki potensi menggarap sebuah film dengan baik. Makanya, Viki enggak akan kaget kalau nantinya Breathe masuk salah satu nominasi Academy Award tahun depan.

Nah, kalau lo mau nonton Breathe, jangan lupa ajak cewek lo, ya. Kalau lo jomblo, nonton bareng teman juga asyik, kok. Sebelum nonton filmnya, simak dulu, deh, cuplikannya!

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.