(REVIEW) Lady Bird: Romansa Remaja Sempurna yang Enggak Drama

*Spoiler Alert: Artikel ini mengandung sedikit bocoran film yang bisa aja mengganggu buat lo yang belum nonton.

Cerita: 9 | Penokohan: 8 | Efek Suara/Scoring: 8 | Visual: 9 | Penyutradaraan: 8 | Nilai Akhir: 8,4/10

Film yang ngasih realita kehidupan remaja memang ada banyak. Namun, enggak banyak film yang benar-benar ngena di hati penonton. Bahkan, film Lady Bird seakan adalah satu dibanding 10 film remaja yang ngasih suatu keunikan dan bikin film ini layak tonton buat siapa pun yang pernah ngalamin masa remaja.

Sinopsis: Seorang remaja bernama Christine (Saoirse Ronan) yang dipanggil “Lady Bird” tengah mencari jati dirinya. Dia punya niat segera angkat kaki dari kampung halamannnya, Sacramento, demi mencari tujuannya itu. Dia ingin berkuliah di luar kota dan menjalani hidup di kota besar. Berbagai konflik keluarga, pertemanan, dan asmara ngebawa sang Lady Bird pada pelajaran untuk memaknai kehidupannya.

Film ini ngewakilin potret remaja cewek zaman pada umumnya. Meski nampilin cerita romansa, fokus cerita bukanlah tentang pacaran, melainkan hubungan ibu dengan anak ceweknya. Berbeda juga dari kebanyakan film, konflik terjadi bukan karena jarang komunikasi kayak film Susah Sinyal (2017), namun tentang kasih sayang dengan cara penyampaian berbeda.

Lady Bird menggambarkan masa remaja Christine yang pemberontak dan berkepala batu sekaligus rapuh dan butuh perhatian. Sekilas, hubungan ibu-anak yang ditampilin dalam Lady Bird merupakan peristiwa kebencian. Sebenarnya enggak. Keduanya hanya adu ego. Remaja yang impulsif punya nyokap yang overprotektif. Yap, mereka saling mencintai, namun juga kerap kesal satu sama lain. Menariknya, konflik tersebut enggak berakhir dengan resolusi klise.

Via Istimewa

Menariknya, dialog dalam film ini kayak enggak pakai naskah alias terlihat spontan. Bahkan, dari interaksinya, lo bakal pengen ikutan nimbrung. Hal ini jadi poin luar biasa dari Greta Gerwig selaku sutradara ketika bikin narasi yang bisa bikin lo hanyut dalam cerita.

Apalagi, cerdasnya Gerwig saat bikin permulaan adegan yang enggak bertele-tele. Kalau biasanya film-film lain berisi adegan yang tertib dan runut, film ini bakal langsung ngelempar lo ke adegan yang bahkan sebagian besar enggak punya permulaan. Makanya, itulah yang bikin Lady Bird terasa nyata.

Via Istimewa

Cerita didukung penuh para pemain. Peran Ronan sebagai Lady Bird benar-benar alami. Remaja yang bertingkah bebas pada umumnya dengan perilaku perlawanan namun bisa rapuh, haru, dan sedih. Ronan sukses meranin Lady Bird dengan ekspresif. Apalagi, wajah naifnya ke nyokap dan gurunya benar-benar terlihat seperti anak remaja dengan emosi pubertas. Lo pasti pernah ngalamin masa-masa bandel-bandel pas masih sekolah, ngerasa paling benar dan paling tahu apa yang dimau. Yap, kayak begitulah.

Lawan main Ronan, Laurie Metcalf sebagai sang nyokap juga bisa ngimbangin kualitas aktingnya. Makanya, Lady Bird dan nyokapnya berhasil ngebangun cerita yang bikin lo puas. Dialog-dialog dan humor yang penuh satire bikin film ini nyaman diikuti.

Via Istimewa

Ada pula karakter Jules (Beanie Feldstein) sebagai sahabat Lady Bird dengan komedi dan kepolosannya bikin film jadi lebih berwarna. Karakter Danny (Kucas Hedges), Jenna (Lois Smith), Kyle (Timothee Chalamet), Miguel (Jordan Rodriguez), Pendeta Leviatch (Stephen Henderson), dan bokap Lady Bird (Tracy Letts) masing-masing punya peran yang alami. Keberadaan mereka bukan sekadar penggembira, melainkan sebagai pelengkap yang ngebangun keutuhan cerita.

Via Istimewa

Selayaknya dalam film drama, efek suara yang ditampilkan dalam film ini enggak ada yang istimewa. Namun, berbagai melodi dan efek suara yang dihadirkan bisa banget menghidupkan cerita.  Sinematografinya yang manis dan lembut dengan latar belakang awal 2000-an juga tergambar memukau. Enggak mengherankan kalau film Lady Bird layak ngeraih penghargaan “Best Pictures” dalam ajang Golden Globe 2018. Ronan pun menang sebagai “Best Actress” dan film ini masuk lima nominasi dalam ajang Oscar.

Grewig sebagai sutradara sekaligus penulis skenario bisa dibilang sukses menciptakan cerita remaja putri yang identik dengan kehidupan remaja pada umumnya. Dia seolah menginovasi genre ini dengan menciptakan karakter remaja umumnya sekaligus menciptakan individu yang unik. Hasilnya, Lady Bird terasa ringan, namun menawarkan suara yang segar dan tajam.

Via Istimewa

FYI, Lady Bird merupakan semiautobiografi Gerwig dan debutnya sebagai sutradara. Grewig bikin film ini sederhana, apa adanya, dan enggak penuh drama. Malah kalau boleh usul, film drama Indonesia harus belajar dari Lady Bird untuk bikin cerita yang sederhana aja. Enggak perlu pakai twist plot tentang rahasia besar yang berusaha bikin penonton tercengang. Yap, Lady Bird ngebuktiin bahwa film bagus enggak harus pake twist plot demi nguatin konflik.

Film ini ngegambarin semua hal yang mungkin lo alami saat beranjak dewasa dengan nyata. Bukan cuma kegembiraan yang diperlihatkan, tapi juga perjalanan menuju kedewasaan bikin film terasa personal. Ending-nya enggak klise, tapi sukses bikin sesenggukan. Lady Bird bikin lo teringat masa remaja dan saat-saat beradu argumen sama orangtua.

Via Istimewa

Nah, film ini bisa lo jadikan rekomendasi buat nostalgia masa remaja. Layaknya Dilan 1990 yang bikin lo ingat masa pacaran saat masih sekolah. Film ini ngasih sisi lain kehidupan remaja secara lengkap. Namun, kalau film ini dibuat versi Indonesia bakalan jadi aneh karena beberapa aspek kenakalan remajanya enggak cocok untuk budaya Timur. Film yang udah ditayangin pada 2017 ini bakal ditayangin di Indonesia mulai 28 Februari 2018.

Kehidupan lo memang milik lo. Namun, lo juga harus bijak menjalani kehidupan dengan mau mendengar apa yang baik dari orangtua dan juga sahabat lo.

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.