(REVIEW) The Lion King (2019)

The Lion King
Genre
  • drama
  • petualangan
Actors
  • Beyonce
  • Billy Eichner
  • Chiwetel Ejiofor
  • James Earl Jones
Director
  • Jon Favreau
Release Date
  • 17 July 2019
Rating
3.5 / 5

*(SPOILER ALERT) Artikel ini mengandung sedikit bocoran film yang semoga saja enggak mengganggu buat kalian, ya.

Sutradara Jon Favreau dan timnya telah memberikan “darah dan air mata” untuk meramu keajaiban visual dari live-action film The Lion King. Apalagi, lebih dari 180 animator menghidupkan sekitar 86 spesies hewan untuk menciptakan kembali penghuni Pride Lands dan sekitarnya.

Menceritakan kisah di padang rumput Afrika, ketika calon raja dilahirkan, Simba. Dia mengagumi sosok ayahnya, Mufasa, dan siap memenuhi takdirnya sebagai pewaris takhta kerajaan.

Sayangnya, enggak semua orang menyambut kehadiran Simba dengan baik, salah satunya Scar, paman Simba. Scar memiliki rencana licik untuk menguasai Pride Lands, hingga Simba akhirnya diasingkan. Berhasilkah Simba merebut kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya?

 

Bukan Dokumenter Alam

Harus diakui, remake film The Lion King menjadi bukti bahwa enggak semua film bisa lebih memuaskan dibandingkan versi aslinya.

Soal cerita, enggak berbeda dari versi aslinya. Masih mengisahkan Pride Lands dengan polemik kekuasaan di dalamnya. Bahkan, buat penonton dewasa yang udah tahu ceritanya, rasanya enggak perlu berharap ada twist mengejutkan.

Sementara, bisa jadi punya pesan yang kuat jika film ini bertujuan untuk dikenalkan kepada anak-anak tentang rasa tanggung jawab, dan keberanian.

Konflik yang digambarkan juga sederhana, begitu juga dengan komedi yang disuguhkan karakter Pumba dan Timon. Enggak ada yang istimewa, pun enggak ada yang memorable, kecuali “Hakuna Matata”.

Sekilas kita akan dibuat kagum, meski butuh beberapa waktu untuk meyakinkan otak bahwa kita sebenarnya enggak melihat singa, jerapah, zebra, dan burung enggang sungguhan. Sedikit kesulitan membuat kita bernostalgia untuk menyeret ingatan ke versi animasi.

Realisme yang Mengorbankan Perasaan

Salah satu daya tarik film Disney ini terletak pada animasi komputer yang mengesankan sejak cuplikannya dirilis. Mulai dari kerutan di kulit gajah, retakan tanah gersang, hingga rumput dengan ketepatan detailnya.

Kalian juga bisa melihat otot-otot bergerak ketika singa berlari dan melihat bagaimana cahaya matahari menyinari tanah dan pepohonan. Semua berkat karya sinematografer terkenal, Caleb Deschanel yang juga terlibat dalam The Passion of the Christ (2004).

Sayang, saking nyatanya, menghilangkan karisma dan jiwa para karakternya. Sulit untuk membedakan antarhewan dari spesies yang sama. Seperti, hampir mustahil untuk membedakan Nala, Sarabi, dengan singa betina lainnya, kecuali mereka berbicara.

Ekspresi yang ditampilkan para hewan juga enggak ngena. Lagi-lagi sulit membedakan emosi para karakter lewat mimik dan ekspresi, kecuali mereka mengaum atau menggeram. Sehingga, dialog haru, enggak berasa pilunya.

Untungnya, musik dari Hans Zimmer bisa menetralkan patah hati, meski enggak signifikan. Begitu juga dengan efek suara auman yang bakal bikin kaget berkali-kali. Namun yang pasti, keseluruhan narasi enggak bisa menyamai keagungan musik Zimmer, sekalipun dengan visual yang dianggap megah tersebut.

Pengisi Suara Bertabur Bintang

Selain visual, daya tarik film The Lion King—yang hasilnya biasa aja—ada pada deretan pengisi suaranya. Para pengisi suara bertabur bintang ini seperti ditarik ke sebuah dokumenter National Geographic. Sayang, mereka muncul dengan minim karisma ketika dibandingkan dengan versi animasinya.

Di balik kekurangan visual dan rasa, para bintang telah memberikan yang terbaik. Seperti JD McCrary sebagai Simba kecil dan Shahad Wright Joseph sebagai Nala kecil. Lalu, diteruskan oleh Donald Glover sebagai Simba dewasa dan Beyoncé Knowles-Carter sebagai Nala dewasa.

Film The Lion King yang kehilangan magisnya ini untungnya masih bisa bikin ketawa dengan aksi Pumbaa dan Timon yang disuarakan oleh Seth Rogen dan Billy Eichner. DItambah, Zazu (John Oliver), ketiganya menghibur enggak hanya dari dialog, tapi juga perilaku dasar hewani.

Penampilan Scar (Chiwetel Ejiofor) dengan Shenzi (Florence Kasumba), serta para hiena berhasil memberikan perbedaan mana kejahatan dan kebaikan. Bahkan, untuk ukuran film “Semua Umur”, penampilan mereka gelap, suram, dan jahat.

Lalu, untuk Siapakah Film The Lion King?

Agak bias jawabannya. Jika film The Lion King untuk memperkenalkan ke generasi baru alias anak-anak, itu bagus, meski cukup suram. Akan tetapi, jika film ini untuk merebut kembali hati dan nostalgia penonton dewasa yang tumbuh dengan The Lion King, bisa jadi meleset dari sasaran.

Meskipun sama sekali bukan “bencana” atau film yang buruk, The Lion King akan lebih baik mencoba menjadi diri sendiri. Enggak perlu muluk-muluk menjadikan realistis, cukup bentuknya animasi, dengan melakukan sesuatu yang berbeda dalam hal cerita dan karakter, seperti Disney kepada Frozen 2 (2019).

Harus diakui, meski enggak memuaskan rasa nostalgia penggemar, film The Lion King pasti menduduki takhta Box Office akhir pekan.

***

Film ini bisa kalian jadikan alasan family time di bioskop, atau nge-date bareng gebetan. Enggak ada batasan usia karena klasifikasinya “Semua Umur”, tapi bukan berarti kalian bebas bawa bayi, ya, mengingat suara auman singa bisa bikin trauma.

Kalau udah nonton, bagikan pendapat kalian di kolom review yang ada di awal artikel ini, ya. Tunggu ulasan film lainnya hanya di KINCIR.

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.