(REVIEW) Maze Runner: The Death Cure, Penutup yang Antiklimaks

*Spoiler Alert: Artikel ini mengandung sedikit bocoran film yang bisa aja mengganggu buat lo yang belum nonton.

Cerita: 7 | Penokohan: 7 | Efek Suara/Scoring: 7 | Visual: 7 |Penyutradaraan: 7| Nilai Akhir: 7/10

Bikin film yang diadaptasi dari novel fantasi memang gampang-gampang susah. Pasalnya, sang sutradara harus nyamain ilustrasi novel ke dalam film. Meski ini enggak mudah, penggemar bakal lebih puas kalau ilustrasinya enggak beda jauh. Nah, itulah yang seharusnya dilakukan oleh Wes Ball, sutradara Trilogi Maze Runner.

Saat pertama kali The Maze Runner (2014) rilis, film ini jadi pelopor film genre dystopian yang seketika itu jadi tren dalam dunia perfilman. Genre ini menggambarkan kekacauan dan kegelapan dunia di masa depan, kayak waralaba Hunger Games dan Divergent.

Maze Runner hadir dengan warna berbeda. Waralaba ini lebih menonjolkan kekuatan hubungan antarkarakter di dalamnya, enggak sekadar kekacauan dunia. Film ini pun seketika jadi favorit. Sayangnya, hype genre dystopian yang hanya sebentar itu bikin nama film ketiganya agak pudar.

Via Istimewa

Memasuki cerita ketiga ini, Maze Runner: The Death Cure kabarnya bakal jadi penutup petualangan dramatis sekelompok orang terpilih yang dijadikan bahan percobaan. Namun, namanya juga film adaptasi novel, Ball harus konsisten ngasih keseruan dan kepuasan penonton lewat waralaba Maze Runner.

Sinopsis: Berlatar waktu enam bulan setelah kejadian di film sebelumnya, film ini ngelanjutin kisah Thomas yang memimpin para Glader dalam upaya melarikan diri. Mereka berjuang menuju misi terakhir yang paling berbahaya, yaitu menyelamatkan teman-teman mereka. Thomas dan kelompoknya pun harus masuk secara paksa ke dalam Last City, sebuah labirin legendaris yang dikendalikan oleh WCKD.

Via Istimewa

Film ini dibuka dengan adegan penyelamatan heroik. Tentunya penuh ide brilian para Glader menyelamatkan Minho. Ditambah, adu tembak dengan para tentara WCKD. Adegan aksi yang intens, seperti dalam cuplikan filmnya.

Cerita yang ditampilkan berupa perjalanan panjang yang misterius dan penuh risiko. Kalau lo nonton film pertama dan kedua, film ketiga ini bisa ngejawab pertanyaan lo meski enggak sepenuhnya. Soalnya, film ini hanya ngasih kelanjutan misi yang berakhir dramatis, bukan sebab-sebab awal segala petualangan terjadi.

Via Istimewa

Plot yang intens berhasil bikin penasaran bagaimana akhir dari perjalanan film ini. Apalagi di awal film, Ball seolah enggak mau nurunin adrenalin penonton. Beberapa menit setelah film ini diputar, adegan langsung penuh ketegangan dan ngasih kesan kuat setelah film sebelumnya.

Pada film pertama, lo dihadapkan dengan misteri di balik labirin. Lalu, film keduanya menyuguhkan atmosfer horor dan menegangkan yang didominasi Crank. Nah, film ketiganya ini bakal nyuguhin konflik yang berbagai macam dan bikin lo geregetan dengan akhir cerita. Bisa dibilang, semua masalah di film kedua dan ketiga diselesaikan pada film ini. Meski bisa ketebak, Ball menyuguhkan dengan penuh adegan pelik.

Film ini diwarnai dengan adegan laga yang intens, dramatis, dan emosional. Ball terlihat ingin nyeimbangin unsur-unsur tersebut. Jadi, lo bakal disuguhkan laga yang meledak-ledak, dikasih jeda buat napas dengan adegan dramatis, lalu dibawa kembali ke adegan lain yang menegangkan. Hal itu bikin rasa haru yang sempat lo rasain jadi hilang karena langsung terbawa ke aksi yang bikin adrenalin terpacu.

Yap, satu sisi, Ball sukses ngasih konflik yang sederhana yang rumit. Sisi lain, Ball berusaha memadatkan cerita yang sukses bikin penasaran sejak film pertamanya dirilis. Sayangnya, akhir cerita enggak terlalu ngasih kesan kuat yang bikin lo sedih atau berkaca-kaca. Ball yang berusaha bikin akhir yang dramatis, justru jadi antiklimaks.

Via Istimewa

Film berdurasi 143 menit ini bisa dibilang lebih berwarna dibanding film pertama dan kedua walaupun sama-sama punya atmosfer misterius. Pengembangan karakternya pun lebih kuat dibanding film sebelumnya yang lebih banyak ngomongin strategi. Lo bisa ngerasain karakter-karakter Thomas, Newt, Teresa, Gally, Fry, dan lainnya semakin matang diperankan.

Lagi-lagi penyakit waralaba film, Maze Runner: The Death Cure ini enggak sefantastis film pertama. Bisa jadi ini karena durasi yang kelamaan buat menceritakan semua hal penting. Nah, buat lo yang baca novelnya, lo bisa berpendapat apakah film ini sesuai dengan ekspektasi lo atau enggak. Namun, ada baiknya, ketika memutuskan buat nonton film ini, lo turunin sedikit ekspektasi lo buat bisa nikmatin alur film ini.

Via Istimewa

Secara keseluruhan, bisa dibilang, film ini enggak begitu istimewa. Masih ada formula film petualangan misteri: ada yang dikorbankan, yang jahat akan binasa, pahlawan akan selamat, dan rasa kekeluargaan dari orang-orang yang saling kehilangan. Enggak ada juga twist yang nendang.

Kabar baiknya, buat lo yang belum pernah menikmati cerita Maze Runner dari novel atau pun filmnya, lo masih bisa menikmati film ini, kok. Cerita sederhananya enggak bikin lo bingung saat nonton karena bakal dibahas sedikit tentang cerita sebelumnya lewat dialog antarkarakter. Namun, yang masih jadi pertanyaan adalah bagaimana dunia bisa hancur dan dibentuknya The Glade. Bisa aja, nanti ada film lainnya yang jadi prekuel trilogi Maze Runner.

Film ini ngasih cerita yang kompleks dan aksi menegangkan yang bikin geregetan sehingga bisa dibilang sukses jadi penutup trilogi dengan akhiran yang nyaris sempurna. Kabar baiknya, lo udah bisa nikmatin film ini mulai 24 Januari 2018 di bioskop seluruh Indonesia. Jangan lupa, ajak teman-teman lo yang sama-sama suka waralaba ini lalu rasakan suasana nostalgia bersama para pemeran filmnya.

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.