(REVIEW) Shawn Mendes: In Wonder (2020)

Shawn Mendes In Wonder
Genre
  • Dokumenter
Actors
  • Camila Cabello
  • Shawn Mendes
Director
  • Grant Singer
Release Date
  • 23 November 2020
Rating
3 / 5

*Spoiler Alert: Artikel ini mengandung bocoran film Shawn Mendes In Wonder yang bisa saja mengganggu buat kalian yang belum menonton.

Menjadi Shawn Mendes, atau setidaknya pasangan Shawn Mendes, adalah keinginan banyak orang. Dia adalah sesosok pria yang kelihatannya sempurna: tampan, kaya, punya bakat musik, dan tenar di usia muda. Dengan menghidupi renjana musiknya, Shawn Mendes seolah hidup dalam kesempurnaan.

Hal itu seolah dibenarkan sekaligus dimentahkan sama dokumenter terbaru Netflix berjudul Shawn Mendes: In Wonder. Pembuka dari dokumenter ini memberikan kita mixed feelings alias perasaan campur aduk.

Di satu sisi, kita merasa bahagia melihat vibe konser yang digawangi oleh Shawn Mendes. Pria kelahiran 1998 ini bener-bener kelihatan menguasai panggung dan bikin penonton terhipnotis. Dia enggak cuma memiliki suara khas, kemampuan bermain gitar yang cakap, dan lagu yang bagus. Dia mahir dalam membangun hubungan dengan penonton. Dia mampu menghidupkan suasana.

Namun, di sisi lain, kegelisahan Shawn Mendes pun dimunculkan. Hal yang unik adalah ketika film ini memutuskan buat menyinggung soal kerendahan diri dan kecemasan Shawn Mendes lewat fitur Google Voice. Penyanyi lagu “Treat You Better” ini terlihat mengetikkan perkenalan diri sekaligus yang dia rasakan di ponsel, dan dengan suara robot yang khas, Google Voice menyuarakannya.

Adegan yang satu ini seolah seperti menggambarkan bahwa di balik pribadi yang terlihat hidup di atas panggung, Mendes seolah ragu buat menyuarakan dirinya yang sebenarnya. Dia hanya berani menuliskannya, untuk kemudian disuarakan oleh pihak lain.

Yuk, simak lebih lanjut keseruan film Shawn Mendes In Wonder versi KINCIR di bawah ini.

Mengejar Mimpi Sejak Kecil

Shawn Mendes terkenal di usia muda berkat video-video menyanyinya di Vine. Suatu hari, Andrew Gertler dari Maybach Music Group mencari sebuah lagu di Internet dan dia begitu tertarik dengan cover dari Shawn Mendes.

Sekilas, ketenarannya instan banget, tanpa usaha sama sekali. Namun, Shawn Mendes bahkan sudah konsisten bernyanyi sejak kecil. Ditambah lagi, lingkungannya mendukung.

"Waktu kecil, kamu mungkin bakal menyebutkan apa mimpimu, dan orang lain bilang bahwa ini mimpi yang bodoh. Dulu, aku selalu bilang bahwa cita-citaku adalah menjadi penyanyi. Aku mengatakan hal itu kepada guru vokalku. Dia mendukungku. Orangtuaku mendukungku," kata Shawn Mendes.

Mimpi menjadi selebritas memang seringkali dianggap sebagai mimpi yang kosong. Enggak semua orang bisa menjadi selebritas walaupun dia berbakat. Namun, membunuh mimpi anak-anak, seabsurd apapun itu, akan membunuh kreativitasnya.

Shawn Mendes beruntung karena sejak kecil, pria asal Ontario ini didukung oleh semua pihak. Bahkan, dia membuat video Vine sederhananya di kamar yang biasa banget dan enggak luas.

Berkat dukungan dari semua pihak, terutama orangtua, dia jadi bisa menghidupi cita-citanya. Dia berkreasi lewat Vine dan dari sanalah dia menjadi viral. Enggak sembarang viral, karena selain suaranya khas, Mendes juga jago bermain gitar.

Menampilkan Sisi Shawn Mendes Sebagai Manusia Biasa

Orang awam seringkali bermimpi betapa indahnya menjadi superstar. Dipuja-puja, mendapatkan banyak uang, banyak fans, mudah memilih pacar, dan dilayani di mana-mana.

Coba, deh, pernah enggak kalian rebahan di kamar kemudian merasa bahwa hidup kalian payah banget setelah melihat performa seorang selebritas muda di televisi? Begitulah yang mungkin kalian rasakan saat menonton film dokumenter yang satu ini. Namun, di pertengahan cerita, kalian akan sedikit merasa beruntung.

Pada suatu titik, Mendes benar benar merasa muak dengan kehidupannya. Semuanya berjalan begitu cepat dan di sela-sela penampilannya, kilasan ingatan tentang kampung halamannya, teman-temannya, dan keluarganya pun muncul.

Dia sempat merasa sangat muak dengan ketenarannya, dengan segala hal yang ada di panggung. Terkadang, dia ingin pulang kampung, melakukan hal-hal seperti yang dilakukan anak muda, melihat bintang bersama teman-teman, melakukan sedikit kejahilan bagi remaja seusianya.

Sifat perfeksionisnya membuat dia seringkali merasa kalau penampilannya di panggung enggak maksimal. Dia selalu bertanya kepada krunya tentang apa yang kurang darinya, apakah penampilan barusan terlalu buruk? Dan bum, kemudian film ditutup dengan megahnya panggung dan bagaimana Shawn Mendes pada akhirnya menyadari bahwa panggung adalah tempatnya berkreasi, tempatnya bermusik, tempatnya seharusnya merasakan kebahagiaan karena melakukan sesuatu yang disukai.

Dokumenter yang Cukup Padat, tetapi Kurang Dalam

Sinematografi dari dokumenter ini cukup baik, perpaduan antara musik dan adegan yang berlangsung pun begitu pas. Ada satu elemen yang cukup humanis dan manis dalam film ini: rekaman gambar dengan handycam dengan kualitas seadanya berpadu sempurna dengan alunan piano dan suara Shawn Mendes.

Film ini berusaha buat menampilkan sisi humanis Shawn Mendes. Namun, entah kenapa, pada akhirnya film ini enggak terlalu berhasil buat mengupas sisi selebritas Shawn Mendes dan membuatnya menjadi terlihat humanis.

Footage tentang Shawn Mendes dan perjalanan kariernya kurang ditonjolkan. Mungkin, karena rintangan yang harus dilewati oleh Shawn Mendes memang enggak banyak: suaranya bagus, keluarganya suportif, dan dia tampan sejak kecil. Namun, seharusnya film ini bisa bikin Shawn Mendes terlihat bener-bener manusia, bukan sekadar tempelan atau pernyataan dari Shawn Mendes sendiri. Seharusnya dia bisa mengeksplorasi sisi kurang mengenakkan dalam hidup Mendes, karena enggak akan pernah ada kehidupan yang sempurna.

Kehadiran Camila Cabello selaku pacar Shawn Mendes pun enggak berhasil membuat kita merasa relate dengan apa yang dijalani oleh Shawn Mendes. Hubungan mereka, layaknya hubungan asmara para selebritas yang lagi sama-sama tenar. Entah apa yang mendasari hubungan itu selain karena mereka sama-sama good-looking dan sama-sama penyanyi terkenal.

Dokumenter Blackpink, yang notabene punya tema serupa dengan film Shawn Mendes In Wonder, masih jauh lebih membumi dan hangat. Para personil yang kelihatan sempurna, yang lebih cocok disebut dewi khayangan, bisa terlihat sisi humanisnya di dokumenter itu. Kita bisa merasakan bahwa Jennie, Roséanne, Lisa, dan Jisoo sama kayak kita, bedanya, mereka terkenal dan bertalenta.

Jadi, ada hal yang sepertinya hilang dalam film Shawn Mendes ini, dan hal itu adalah kedekatan antara Shawn dan penonton. Menonton film ini enggak bikin kita kayak “temenan beneran” sama Shawn, enggak!

Dia masih terlihat seperti bintang di langit dan kita hanyalah kaum biasa. Mungkin jika ketakutan dan masalah psikologis Shawn Mendes digali lebih dalam, kita bakal bisa lebih berempati sama dia. Mungkin juga, kalau masalah-masalahnya di masa kecil dan remaja lebih ditonjolkan, dokumenter ini bakalan lebih meresap ke hati kita.

Film ini dibuka dengan sempurna. Sayangnya, di tengah jalan justru penonton bakal merasa agak bosan dan berpikir bahwa film ini mungkin dibuat dengan tujuan promosi.

***

Overall, ini bukan dokumenter yang buruk. Penggemar Shawn Mendes akan merasa terhibur dengan film ini, beberapa pernyataan Shawn Mendes bisa menyemangati para pemimpi, dan sudut pengambilan gambar saat wawancaranya pun keren. Namun, tentu saja yang bukan penggemar Shawn Mendes akan merasa kepayahan mengikuti dokumenter ini.

Buat kalian yang sudah nonton film Shawn Mendes In Wonder, bagikan di kolom review yang ada di atas artikel ini, ya. Tunggu review film terbaru lainnya hanya di KINCIR.

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.