(REVIEW) The Kid Who Would Be King (2019)

The Kid Who Would Be King
Genre
  • fantasi
  • keluarga
  • petualangan
Actors
  • Dean Chaumoo
  • Louis Ashbourne Serkis
  • Patrick Stewart
  • Rhianna Dorris
  • Tom Taylor
Director
  • Joe Cornish
Release Date
  • 23 January 2019
Rating
3.5 / 5

*(SPOILER ALERT) Artikel ini mengandung sedikit bocoran yang semoga saja enggak mengganggu buat kalian, ya.

Film keluarga yang pesannya dikhususkan untuk anak-anak kembali hadir menyapa di bioskop. Film The Kid Who Would Be King hadir sebagai tayangan menghibur dan penuh petualangan. Lalu, apa yang membedakan film petualangan anak ini dengan film lainnya?

 

Menceritakan Alex, bocah yang jatuh di alam sebuah bangunan yang sedang direkonstruksi dan menemukan sebilah pedang yang tertancap di batu. Penasaran, Alex kemudian berusaha mencari tahu pedang tersebut. Bersama sahabatnya, Bedders, mereka berusaha mencari makna dari kata-kata yang terukir pada bagian-bagian pedang tersebut. Keduanya enggak percaya bahwa pedang tersebut milik mendiang King Arthur, Raja yang pernah menyatukan kerajaan-kerajaan dari Inggris.

Apalagi, Alex dan Bedders harus bertemu dengan Merlin, sang penyihir legendaris. Mereka harus menghadapi Morgana yang bangkit dari neraka dan mengancam kehancuran dunia. Bisakah Alex menyelesaikan semua permasalahan ini?

 

Petualangan Klise yang Cukup Menyenangkan

Digarap oleh Joe Cornish, film ini paling enggak seperti sebuah keseimbangan antara horor, komedi, dan komentar sosial anak-anak untuk bertahan hidup di kerasnya dunia anak-anak. Bagaimana pergulatan anak-anak dengan lingkungan sosialnya, memengaruhi cara mereka bertindak.

Film The Kid Who Would Be King memiliki cerita petualangan yang mirip dengan film lainnya. Mulai dari misi, konflik, dan imajinasi yang enggak masuk akal harus dilewati. Jika film ini udah habis stok layar lebarnya di bioskop seluruh dunia, film ini cocok tayang di televisi tiap liburan untuk anak-anak.

Dunia fantasi yang dibangun Cornish cukup menyenangkan. Sayangnya, plot cerita makin lama makin serius dan terasa membosankan. Penonton udah nungguin aksi yang ditonjolkan heroik dalam cuplikannya. Namun, aksi tersebut hadir di sepertiga film terakhir.

Untungnya, aksi tersebut bisa mengembalikan mood penonton yang udah bosan di awal. Bukan cerita yang buruk, hanya saja, ada beberapa plot yang terlalu lama diceritakan. Sampai-sampai, film The Kid Who Would Be King isinya penuh drama.

Fokus Pada Kekuatan Karakter

Kekuatan cerita yang udah dibangun sukses disampaikan oleh para pemain. Meski masih anak-anak, para pemain bisa memberikan makna dari karakternya. Penonton bisa merepresentasikan karakter tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Seperti Alex yang diperankan oleh Louis Ashbourne Serkis, menyiratkan manusia yang bijak, selalu beruntung, mau berkorban, dan memprioritaskan hubungan. Bedders yang diperankan Dean Chaumoo sebagai representasi karakter pengikut, mau belajar, tapi mudah terpengaruh. Kemudian, Lance yang diperankan Tom Taylor, sosok ambisius tapi penakut. Serta, Rhianna Dorris sebagai Kaye, sosok cerdas, tapi mudah terpengaruh.

Kehadiran bintang senior seperti Patrick Stewart sebagai Merlin tua dan Rebecca Ferguson sebagai villain bernama Morgana, bikin film terlihat kaya. Keduanya bukan nama baru di Hollywood. Hebatnya, kehadiran para bintang senior dan anak-anak pendatang baru saling melengkapi film The Kid Who Would Be King.

 

Visual dan Suara yang Ramah

Nonton film The Kid Who Would Be King berasa lagi nonton Harry Potter Saga. Soalnya, isinya “British” abis. Mulai dari sutradara, cerita, hingga pemerannya dari Inggris. Tentunya aksen “British” yang kalian dengan sepanjang film terkesan elegan.

Soal visual, film ini tetap ada CGI, mengingat, plot fantasinya terasa kental meski berlatar kehidupan nyata. Penggambaran latar Inggris dan panoramanya benar-benar nyata, sehingga kalian kadang berpikir, “ini Inggris di masa kini atau imajinasi?” Sedangkan, efek suara yang ditampilkan masih ramah untuk diperdengarkan anak-anak.

 

Ketika Sejarah Dikemas Gaya Masa Kini

Seperti dalam film Attack the Block (2011) yang juga garapan Cornish, sama-sama menemukan keistimewaan legenda Arthurian. Seperti ketika adegan waktu berhenti dan semua orang hilang, Lalu, monster muncul dan ada sihir dari Merlin.  Sayangnya, momen seru seperti itu mudah ditebak. Apalagi buat kalian yang nonton karena nemenin adik atau anak nonton, dijamin bakal bosan.

Nilai lebihnya, ketika cerita yang ditampilkan terlalu detail, film The Kid Who Would Be King justru punya makna yang banyak dan dalam. Seperti tentang persahabatan: musuh bukan untuk dilawan, tapi jadi kawan. Lalu, tentang kejujuran yang penting diterapkan dari sedini mungkin.

Film ini cocok buat ditonton bareng keluarga. Kalian enggak perlu berikan ekspektasi tinggi terhadap film The Kid Who Would Be King. Soalnya, ceritanya mirip dengan petualangan seperti Zathura: A Space Adventure (2005), Hugo (2011), atau Jumanji (1995). Namun, plot film ini lebih kuat dan cocoknya ada di televisi, diselingi iklan, untuk mengatasi kebosanan.

***

Film ini udah tayang mulai 23 Januari 2019 di bioskop seluruh Indonesia. Kalau udah nonton, balik lagi ke artikel ini untuk kasih pendapat kalian soal film The Kid Who Would Be King, ya!

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.