Shyamalan, Antara Karier sebagai Sutradara dan Penolakan sang Ayah

Night Shyamalan adalah sutradara terkenal berdarah India-Amerika. Pemilik nama lengkap Manoj Nelliyatu Shyamalan ini ternyata sempat mendapat penolakan dari ayahnya, ketika ia mulai memasuki dunia film. Ia sempat ditolak oleh sang ayah karena menginginkan anaknya untuk meneruskan tradisi keluarga di bidang farmasi. Namun, pria kelahiran Mahe, India, 6 Agustus 1970 ini, tetap bersikukuh untuk mempertahankan profesinya di dunia film. Sementara itu, atas dukungan dan doa dari sang ibu, kini dirinya menjadi salah satu sutradara film Hollywood terkenal.

Sebelum menjadi sutradara, Shyamalan tumbuh besar seperti anak pada umumnya. Masa kanak-kanaknya dilalui di Penn Valley, Pennsylvania, Amerika Serikat. Setelah lulus dari Roman Catholic Grammar School Waldron Mercy Academy dan Episcopal Academy, ia melanjutkan pendidikan di Tisch School of The Arts, New York university dan lulus pada 1992. Saat masih menjadi mahasiswa di New York University, ia pernah bikin film berjudul Praying with Anger (1992) yang dimodalin sama temannya.  

Via Istimewa

Praying With Anger (1992) jadi bukti kalau usahanya itu enggak sia-sia. Film tersebut diputar di Toronto International Film Festival pada 12 September 1992. Enggak cuma itu, film itu pun diputar secara komersial di teater selama satu minggu dan ditayangkan di TV Canada yang mendapat respon positif dari para penonton. Sama seperti kisah hidupnya, film ini menceritakan seorang pemuda India-Amerika yang kembali ke India atas permintaan ibunya.

Via Istimewa

Pada 1995, ia memutuskan untuk menulis dan menyutradarai film keduanya yang berjudul Wide Awake (1998). Akan tetapi, film tersebut baru dapat dirilis tiga tahun setelah selesai produksi. Film yang digarap di sekolah tempat Shyamalan kecil ini diperankan oleh beberapa nama yang cukup terkenal, seperti Dana Delany, Denis Leary, Julia Stiles, dan Camryn Manheim.  Film ini meraih sejumlah penghargaan dari Young Artist Award 1999 untuk kategori Best Drama dan Best Performance.

Setelah berjaya melalui film drama, Shyamalan merambah genre horor lewat The Sixth Sense (1999). Sayangnya, ia harus harus menelan pil pahit karena film garapannya itu enggak mampu memikat pasar pencinta film. Meskipun gagal, Shyamalan enggak patah semangat dan kembali menyutradarai film bertajuk Unbreakable (2000). Lagi-lagi, film terbarunya tersebut enggak berhasil menembus ajang penghargaan film apapun. Bukan Shyamalan kalau menyerah begitu aja. Buktinya, dia tetap produktif di industri perfilman. Namanya tercatat sebagai sutradara di beberapa film seperti Signs (2002), The Village (2004), Lady in the Water (2006), The Happening (2008), Avatar The Last Air bender (2010), Devil (2011), dan After Earth (2013).

Semua film tersebut enggak terlalu ngasih dampak positif. Oleh karena itu, ia pun sempat vakum selama beberapa tahun. Enggak lama berselang, tepatnya pada 2016, Shyamalan mendobrak Hollywood lewat Split yang diperankan James McAvoy. Enggak cuma karena cerita dan sinematografi yang ditampilkan sang sutradara, Split cukup menarik perhatian pencinta film karena diproduksi dengan biaya rendah. Film tersebut cuma ngabisin dana sebesar US$9 juta atau setara dengan Rp120 miliar.

Meskipun digarap dengan dana yang minim, bukan berarti film tersebut enggak sukses. Buktinya,  film besutan Shyamalan ini mampu meraup keuntungan 100 kali lipat dari biaya produksinya, loh. Keuntungan film tersebut jika dirupiahkan bisa mencapai Rp1,3 triliun yang didapat dari penayangan Split di seluruh Dunia. Selain itu, ia pun sukses bikin film thriller itu berada di urutan pertama pascarilis Januari 2017 di Box Office Amerika Utara.

Pencapaian Shyamalan sebagai sutradara sekaligus ngejawab keraguan dari sang ayah. Shyamalan buktiin kalau “niat” adalah sesuatu yang enggak bisa dipaksakan. Mimpi itu bisa jadi kenyataan kalau kita terus berusaha meraihnya.

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.