Tak Ada yang Gila di Kota Ini, Merenungkan Kenyataan

*Spoiler Alert: Artikel ini mengandung sedikit bocoran Tak Ada yang Gila di Kota Ini yang bisa aja mengganggu buat kalian yang belum nonton.

Geliat industri perfilman Indonesia memang mulai bangkit, baik untuk film fitur komersial maupun film pendek. Sutradara muda Wregas Bhanuteja adalah salah satu sosok yang patut diberi sorotan dalam hal ini.

Tahun ini, Wregas melangsungkan premier film Tak Ada yang Gila di Kota Ini (No One is Carzy in This Town) untuk wilayah Amerika Utara di Sundance Film Festival 2020. Film produksi Rekata Studio ini juga turut berkompetisi dalam ajang yang sama untuk program Short Film yang menyaring 10.397 film dari seluruh dunia.

Dibintangi oleh Oka Antara, Sekar Sari, Pritt Timothy, dan Kedung Darma Romansha, film ini menyoroti kehidupan di Pantai Selatan Pulau Jawa ketika pemilik resor menginginkan kotanya bersih dari orang gila pada musim liburan. Marwan bersama dua rekan kerjanya menjaring orang-orang gila dan membuang mereka di hutan agar mati perlahan. Namun, Marwan justru punya rencana lain untuk mereka.

Tak Ada yang Gila di Kota Ini dapat kalian saksikan secara online dan gratis di mulai 9–15 Agustus 2020 di Locarno International Film Festival. Berdurasi 20 menit, ada banyak banget hal yang bisa direnungkan. Yuk, merenung bareng KINCIR di artikel ini!

Tak Ada yang Peduli

Via Rekata Studio

Dalam durasi singkat ini, Wregas dengan cerdik menonjolkan satu tema besar: orang-orang yang dibuang. Keberadaan “orang gila” yang dianggap meresahkan dan mengganggu pemandangan memang kelihatannya wajar-wajar aja.

Namun, kalau kalian renungkan lagi, sebetulnya salah apa, sih, mereka? Bukannya seharusnya negara memberikan fasilitas yang layak buat mereka? Bukannya seharusnya mereka diurus sampai sehat lagi mentalnya?

Ditambah lagi, sudah nasibnya enggak jelas, dimanfaatkan pula sama Marwan yang menghasilkan uang dari mereka. Bukannya menolong, para “orang gila” ini malah dijadikan objek. Namun, mereka juga enggak bisa memilih mana yang lebih baik: dibiarkan mati di hutan atau dimanfaatkan oleh Marwan?

Mereka enggak bisa berpikir ke arah sana juga karena mentalnya sakit. Seharusnya, yang waras membantu mereka biar sehat lagi. Sayang, kenyataan memang sekejam itu.

Tak Ada yang Gila

Via Rekata Studio

Kalau dipikir-pikir, apa yang lebih gila daripada memanfaatkan “orang gila”? Kok bisa-bisanya kepikiran? Ya, itulah warna-warni kehidupan. Pada saat terdesak atau saat melihat peluang sekecil apa pun, enggak peduli dampak atau konsekuensi, jalan itu diambil meski harus mengorbankan orang lain.

Marwan memang tidak bisa dibilang berkecukupan atau mapan. Namun, rumahnya yang sederhana dengan penerangan seadanya minimal masih dapat menjadi tempat berlindung dari hujan dan panas. Namun, manusiawi kalau Marwan menginginkan lebih, ‘kan?

Makanya, daripada membiarkan para “orang gila” itu mati di hutan, lebih baik mengeksploitasi mereka dan mendapatkan keuntungan yang lebih menjanjikan daripada pekerjaan utamanya sebagai pegawai hotel.

Via Rekata Studio

Soalnya, ada orang-orang “gila” lainnya yang senang atas “pertunjukan” para “orang gila” tangkapan Marwan. Di sini, batas gila dan waras jadi enggak bisa dibedakan. Apakah menonton “orang gila” wajar dilakukan orang normal? Apakah itu enggak menjadikan mereka gila?

Lalu, kenapa mereka ini diterima masyarakat, sedangkan “orang gila” yang jadi objek pertunjukan mesti dianggap hina? Apakah karena mereka berkuasa dan memiliki uang, makanya bisa tetap dianggap sehat?

Makanya, film ini bilang bahwa enggak ada yang gila di kota ini. Mungkin, cara menilai kalian aja yang perlu dilihat ulang, kegilaan yang bagaimana yang diterima buat kalian?

Tak Ada Aturan

Via Rekata Studio

Lebih jauh lagi, Tak Ada yang Gila di Kota Ini mempertanyakan aturan di tengah kegilaan yang ada. Adakah aturan ketika menyangkut soal uang? Aturan apa yang berlaku ketika ras superior bisa bertindak dengan uang mereka?

Sebagai pegawai rendahan dari negara berkembang, Marwan dan pacarnya pada dasarnya cuma memanfaatkan kesempatan. Mereka enggak peduli apakah bisnis yang mereka jalankan legal atau enggak, apakah beradab menjadikan manusia sebagai objek yang dijual, yang mereka pedulikan adalah uang.

Via Rekata Studio

Terlebih pacarnya Marwan, dia melihat peluang hidup enak dari bisnis yang diusulkannya. Berpura-pura gila dan membodohi orang-orang yang menyebut diri mereka waras dan mengambil keuntungan dari kebodohan tersebut, entah kalian menyebutnya cerdas atau ironis. Namun, kalau itu jalan yang tercepat dan mudah, buat mereka enggak ada yang salah; enggak ada aturan.

Pada akhirnya, Tak Ada yang Gila di Kota Ini memberikan tanda tanya besar, apakah seburuk itu hidup tanpa aturan? Soalnya, pada akhirnya, enggak ada aturan yang bisa menjangkau semuanya.

Yap, tetap ada yang enggak terurus, enggak teradili, enggak tersentuh oleh keadilan dan peraturan. Bukan berarti kalian boleh meniru apa yang dilakukan Marwan dan pacarnya, ya. Namun, kalian bisa berpikir lebih dalam tentang eksploitasi, kegilaan, dan peraturan.

Via Rekata Studio

***

Tak Ada yang Gila di Kota Ini diadaptasi dari cerpen berjudul sama karya Eka Kurniawan. Meski begitu, film ini enggak mengadaptasi semua bagian dalam cerpennya. Buat merenungkan realitas yang “ganggu”, film ini wajib kalian tonton. Buruan nonton gratis film ini sampai 15 Agustus 2020 nanti!

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.