(VIP 2019) Sabrina Rochelle, Sutradara Nyali Besar yang Berani Bermimpi

Di dunia perfilman yang semakin menunjukkan “taringnya” menandakan industrinya yang semakin berkembang. Mengingat kemudahan akses zaman sekarang, profesi sutradara pun seakan bukan hal yang sulit dicapai. Namun, tidak demikian bagi Sabrina Rochelle.

Menjadi sutradara perempuan muda yang karyanya banyak dilirik enggak membuat dirinya merasa puas begitu saja. Cewek yang punya banyak cita-cita ini enggak pernah menyangka dirinya bisa mengarahkan cerita.

Dalam program Very Influential Person (VIP) yang KINCIR hadirkan dalam rangka memperingati momentum Hari Sumpah Pemuda 2019, Sabrina akan membeberkan kisahnya dalam mewujudkan mimpi lewat passion. Langsung saja simak perjalanan hidup Sabrina Rochelle di bawah ini!


Membuka Diri terhadap Setiap Pilihan

Sejak kecil, Sabrina kerap diberikan kebebasan untuk memilih. Kedua orangtuanya selalu memberikan kepercayaan kepada Sabrina dan kakaknya untuk menentukan jalan hidup sendiri, seperti jurusan kuliah hingga jenjang karier. Apa pun boleh, asalkan tidak lupa ibadah dan berdoa.

Hal ini membuatnya berkembang menjadi seorang anak yang memiliki banyak cita-cita. Mulai dari arsitek, perancang busana, atlet bulu tangkis, hingga juru masak di hotel, semua pernah jadi impian cewek yang akrab dipanggil Bri ini.

Saat SMA, cita-cita masa kecilnya mulai terseleksi. Sabrina dihadapkan pada dua pilihan, yaitu mendalami desain grafis atau mengambil ilmu perhotelan untuk jenjang kuliah. Akhirnya, cewek yang doyan makan pizza ini lebih memilih untuk mengambil jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) setelah berkonsultasi dengan ibunya.

Via Dok. KINCIR

Setelah lulus dari Universitas Bina Nusantara pada 2014, Sabrina mulai bersinggungan dengan industri film. Melalui dosennya, dia dikenalkan dengan Handoko, salah satu creative director dari Visinema Pictures, yang tengah mencari creative designer untuk proyek Filosofi Kopi 2: Ben & Jodi (2017). Sabrina juga pernah menjadi kru di balik layar, seperti merias Julie Estelle untuk film Surat dari Praha (2016).

Terbuka dengan setiap hal baru membawa Sabrina masuk lebih dalam dunia produksi film. Bersama Angga Dwimas Sasongko—salah satu sosok yang berperan penting dalam pembelajaran Sabrina menjadi sutradara—dirinya berkontribusi dalam menggarap webseries berjudul Arah. Dari proyek ini, Sabrina diberikan tawaran oleh Angga untuk menjadi sutradara film dengan dua pilihan: Filosofi Kopi 3 atau Terlalu Tampan (2019).

“Awalnya, saya ragu. Lalu, Angga bilang bahwa dia yakin untuk mempercayakan proyek yang lebih besar kepada saya. Akhirnya, saya pilih Terlalu Tampan karena saya ingin membuat film yang bukan sekuel,” aku Sabrina.

Dari Kanvas ke Layar Lebar

Meski berangkat dari ketertarikannya mendalami dunia desain, ternyata memulai memulai pekerjaan sebagai creative designer membawa Sabrina kepada rasa jenuh. Segala karya yang dia rancang condong mengikuti kebutuhan, bukan murni dari apa yang dia ingin ekspresikan. Perempuan kelahiran Jakarta ini mengaku bahwa dia membutuhkan drama dalam hidupnya.

“Ternyata, perfilman itu penuh dengan drama. Maksudnya, lebih banyak unsur perasaan. Bagi saya, desain adalah seni terapan, bukan seni murni. Kreasinya lebih mengikuti permintaan. Ada juga unsur perasaannya, tapi lebih banyak kebutuhannya,” ungkap Sabrina.

Kesukaan Sabrina pada drama ternyata sudah ada sejak lama. Dia bahkan mengakui dirinya mencintai seni peran meski tidak berbakat. Proses untuk menghayati perasaan suatu karakter begitu dia nikmati sejak bangku sekolah. Namun, bagi Sabrina kecil, tak pernah terpikirkan bahwa dirinya kelak memasuki dunia perfilman.

“Saat itu, dunia film adalah sesuatu yang sangat jauh. Saya enggak punya koneksi, enggak punya bakat, enggak punya apa-apa. Beberapa kali ikut casting, selalu ditolak. Jadi, enggak pernah saya pikirkan itu (film) sebagai cita-cita,” tuturnya.

Tak disangka, perjalanan hidup membawa Sabrina kepada kesukaan lamanya. Kejenuhan menjalani pekerjaan sebagai creative designer menjadi salah satu alasan Sabrina berani mengambil keputusan untuk terjun ke dunia film. Kini, Sabrina merasa lebih bebas menuangkan perasaan dan menyampaikan pesan.

Via Dok. Visinema Pictures

Di rumah produksi Visinema, perempuan berambut pendek ini enggak hanya belajar mengarahkan sesuatu, tapi juga belajar bermain peran. Sabrina sempat bermain di film rilisan Visinema berjudul Love for Sale (2018) sebagai Mira. Namun, merasa enggak memiliki bakat yang memadai di dunia seni peran, Sabrina lebih memilih menjadi sutradara.

“Sebenarnya, ini (film) adalah sesuatu yang juga bisa saya lakukan, mengomunikasikan semua. Hanya saja, di media gerak, saya merasa lebih bisa berekspresi, menciptakan cerita yang pesannya langsung tersampaikan. Beda halnya jika kita melihat logo suatu brand, misalnya, yang sebenarnya banyak pesannya, enggak semua orang bisa langsung paham,” tutur Sabrina.

Tidak hanya menyampaikan pesan, Sabrina juga senang saat menyaksikan ekspresi setiap orang setelah menonton karyanya. Pengalaman ini tidak dia dapatkan ketika dia menjalani profesi sebagai creative designer yang terbatasi dengan kegiatan duduk di balik meja.

It’s not my cup of tea,” celetuknya sambil tersenyum puas.

Titik Balik saat Terjun di Dunia Film

Meski terbuka dengan setiap pilihan dan berani mencoba hal baru, tetap saja Sabrina memiliki kekurangan besar pada dirinya yang menghambat perjalanan hidupnya. Tantangan terberatnya adalah inferioritas. Tidak mudah baginya untuk membangun kepercayaan diri dan tekanan yang dia rasakan terhadap segala hal yang dilakukan terasa begitu besar.

Ketakutan ini kembali timbul saat dia menjadi sutradara. Sabrina merasa rendah diri karena dirinya adalah pendatang baru. Namun, cewek Virgo ini enggak membiarkan langkahnya terhambat begitu saja. Dia mencari jalan keluar untuk masalahnya ini untuk membangun kepercayaan diri, menjalin komunikasi yang baik, dan menyampaikan visinya.

“Dari zaman kuliah, saya sudah sering merasa stres ketika mengerjakan sesuatu. Apalagi, saya ini kompetitif dan perfeksionis. Meski orang lain bilang apa yang saya buat sudah bagus, saya selalu merasa kurang, ‘Seharusnya bisa lebih dari ini!’ Saya pun sadar bahwa itu semua menghambat saya. Lalu, saya coba percaya dengan semua pujian itu sehingga akhirnya lebih percaya diri dan yakin bahwa saya tahu betul apa yang saya lakukan,” jelas Sabrina.

Via Dok. KINCIR

Untuk membangun kepercayaan diri, Sabrina juga memberanikan diri membangun pengalaman. Dia pun coba mengamati sutradara-sutradara lain Visinema kala menggarap proyek film. Selain bekerja bareng Angga, Sabrina juga memperhatikan Andibachtiar Yusuf menyutradarai Love for Sale (2018) dan Yandy Laurens mengarahkan Keluarga Cemara (2019).

“Saya itu ‘learning by doing’ makanya coba ikutan produksi film lain. Saya ingin lihat mereka bagaimana, sih, kalau lagi nge-direct. Malahan, saya pengen coba jadi pemain biar tahu rasanya diarahkan oleh seseorang,” ungkap perempuan yang bermimpi bisa kerja bareng Jackie Chan ini.

Via Dok. Visinema Pictures

Lantas, seperti apa dampak pencapaian film Terlalu Tampan bagi seorang Sabrina Rochelle sebagai sutradara pendatang baru? Film yang diadaptasi dari komik Webtoon ini mendapat respons yang bagus dari penikmat dan pengamat film Indonesia.

“Sebenarnya, saya berharap mendapat kritikan dari banyak orang. Ada banyak hal yang kami enggak duga justru berkesan buat penonton. Kepercayaan diri saya memang meningkat setelah melihat ulasan-ulasan itu. Namun, kritik bisa bikin saya belajar terus,” ujar cewek yang gemar weightlifting ini.

Belum Mau Berhenti Berproses

Sabrina merasa posisi saat ini bukanlah pencapaian terbaiknya. Dia sebenarnya memiliki banyak keinginan. Namun, saat ini Sabrina memilih untuk memaksimalkan diri atas apa yang dia jalani. Apalagi, industri perfilman terus berkembang. Dia tidak mau diam di tempat dan akan selalu berproses.

Dalam membangun dirinya menjadi sutradara, Sabrina mesti melewati lima tahun untuk berproses dari nol. Sementara banyak orang mengharapkan cara yang mudah dan waktu yang singkat, Sabrina justru menekankan pentingnya proses dan usaha keras.

“Moto saya, ‘Follow the spark.’ Jika kita dapat kesempatan menjalani suatu hal, kita harus berikan kemampuan terbaik. Kalau hasil yang kita berikan baik, kita bakal mendapat kesempatan yang lebih besar setelahnya. Jadi, jangan mau kalah pada lelah,” tutur Sabrina.

Via Dok. KINCIR

Bagi cewek yang tergila-gila dengan Tom Hardy ini, memulai sesuatu dari hal kecil juga penting. Hal ini yang membuatnya selalu total dalam melakukan suatu hal yang baru. Maka, bukan tidak mungkin suatu saat Sabrina akan berkesempatan menggarap film dengan genre yang disukainya, yakni suspense thriller.

“Meski film yang saya bikin adalah Terlalu Tampan, saya sebenarnya lebih menikmati film-film seperti itu. Misalnya, Don’t Breathe (2016) atau serial Netflix The End of the F***ing World (2017). Mungkin karena hidup saya muram, ha-ha-ha!” ungkap Sabrina yang ternyata juga suka dengan film Bolllywood Kuch Kuch Hota Hai (1998).

Via Dok. KINCIR

Meski demikian, Sabrina juga punya impian lain di luar dunia perfilman. Kembali pada kesukaannya memasak, Sabrina mengaku ingin memiliki bisnis penginapan untuk menghidupkan hobinya tersebut.

“Waktu ke luar negeri, saya punya pengalaman menyenangkan saat berada di bed and breakfast (BnB). Rasanya menyenangkan bisa menyediakan tempat untuk orang lain, bikin mereka senang lewat jamuan saya. Kalau sudah enggak kayak begini lagi, mungkin ke Bali dan mewujudkan mimpi itu,” ujar Sabrina.

***

Kunci dari keberanian Sabrina menghadapi tantangan dan menciptakan mimpi baru adalah memaksimalkan apa yang tengah diberikan. Sebagai generasi muda yang hidup dalam buaian teknologi, Sabrina justru sadar hidup dan karier tidak bisa dibangun secara instan.

Bagaimana menurut kalian dengan kisah Sabrina yang #BeraniBermimpi dan menghadapi tantangan besar dalam hidupnya?

Pantau terus KINCIR untuk mengetahui kisah-kisah para pemuda dan pemudi Indonesia yang berbagi cerita dalam program VIP 2019 yang kami hadirkan untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda!

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.