5 Waralaba Film Terburuk Sepanjang Masa (Bagian 2)

Ada kalanya sebuah judul film, saking lakunya, dibikinin seri-seri lanjutannya. Apalagi kalau seri-seri film ini mendapat sambutan hangat dari movie goers. Nyatanya, penilaian movie goers bisa jadi berbeda dari para kritikus. Meski laku, bukan berarti film tersebut menawarkan kualitas yang baik untuk dikatakan sebagai sebuah tontonan bermutu.

Beberapa waralaba film memang cuma berhasil menghasilkan uang dari para penonton yang telanjur penasaran untuk ngikutin seri-seri selanjutnya dalam dari sebuah film. Namun, balik lagi, meski laku di pasaran, ada aja waralaba film yang enggak lulus di mata para kritikus. Lo bisa lihat beberapa waralaba yang dimaksud di daftar pertama.

Nah, melanjutkan artikel sebelumnya, masih ada lima lagi waralaba film yang dinilai sebagai yang terburuk sepanjang masa. Lagi-lagi, bisa jadi film favorit lo ada dalam daftar ini, loh. Jadi, kuatin mental dulu, ya, kalau mau lanjutin baca.

 

1. Underworld (2003—2016)

Via Istimewa

Sejak awal rilis pada 2003, Underworld enggak pernah mendapat sambutan baik dari para kritikus film. Meski begitu, film tentang perang “dunia bawah” antara lycan melawan vampir ini enggak bisa dibilang enggak populer. Buktinya, film pertamanya aja berhasil ngeraih keuntungan total 95 juta dolar Amerika di seluruh dunia. Bahkan, sampai film terakhir, keuntungan total untuk kelima film dalam waralaba ini telah mencapai 539 juta dolar Amerika, melawan bujet 212 juta dolar Amerika.

Sebetulnya, bisa dibilang Underworld cukup jadi favorit penggemar film-film dark. Soalnya, rata-rata skor di CinemaScore mencapai B+, loh. Namun, rata-rata skor dari kritikus di Rotten Tomatoes buat lima film dalam waralaba ini cuma 24%. Seburuk itukah?

Yah, kritikan pedas paling banyak ditujukan buat kisah yang gelap, tapi kayak minim konflik. Jalan ceritanya juga mudah ditebak buat sebuah konflik yang harusnya masif. Akhirnya, seluruh filmnya mendulang kritikan negatif, dengan film keduanya, Underworld: Evolution, meraih skor paling rendah (16%). Bahkan, seri terakhirnya yang dibintangi oleh si ganteng Theo James aja cuma dinilai bagus oleh 18 kritikus dari 87 kritikus yang menyumbang suara di situs itu.

 

2. The Divergent Series (2014—2016)

Via Istimewa

Beneran, deh, ini bukan salah Theo James kalau dua waralaba film yang dibintanginya dinilai jadi yang terburuk. Yap, waralaba yang diadaptasi dari novel fantasi young adults karya Veronica Roth ini juga senasib dengan waralaba yang udah dibahas sebelumnya. Skor rata-rata tiga film dalam waralaba ini di Rotten Tomatoes cuma 27,3%. Meski begitu, ketiganya berhasil meraih total pendapatan mencapai 765 juta dolar Amerika di seluruh dunia. Bujetnya juga lumayan besar, sih, sampai 305 juta dolar.

Bisa dibilang, kesuksesan ketiga filmnya di pasaran adalah karena chemistry Shailene Woodley dan Theo James yang klop abis. Bahkan, setelah film pertamanya rilis, James dan Woodley menangin penghargaan “Choice Movie Actor” dan “Choice Movie Actress” di Teen Choice Awards. Sayangnya, para kritikus punya pendapat lain buat film terakhirnya, The Divergent Series: Allegiant (2016). Kisah yang cheesy dan konflik yang sengaja dipanjang-panjangin tanpa makna bikin film ini jadi bulan-bulanan. Waralaba ini dianggap seharusnya berakhir aja di film pertama karena konflik setelahnya sekadar pengulangan dengan skala yang lebih besar.

Ada juga, loh, Film-film Superjelek tapi Wajib Lo Tonton Sekali Seumur Hidup.

 

3. Paranormal Activity (2007—2015)

Via Istimewa

Penggemar film horor era 2000-an pasti sempat nonton film ini. Film ini cukup menggemparkan saat dirilis pertama kali pada 2007. Film pertamanya laris banget karena (katanya) berdasarkan kisah nyata. Ditambah dengan pengambilan gambar bergaya found footage dari kamera keamanan dan nama pemeran yang mirip dengan nama tokohnya. Kesan “nyata”-nya jadi dapet banget! Makanya, wajar kalau film pertama yang disutradarai oleh Oren Peli ini berhasil mencetak total pendapatan 193 juta dolar Amerika di seluruh dunia. Padahal, bujetnya cuma 15 ribu dolar Amerika!

Film pertamanya pun meraih banyak komentar positif, mengingat ini pertama kalinya metode found footage dibikin beda dan serealistis itu dalam film. Skor 83% dari 192 ulasan pun diraih film pertamanya. Sayangnya, saat film keduanya rilis pada 2010, komentar negatif lebih banyak didapatkan. Sebetulnya, ini penyakit yang biasa didapatkan sekuel yang sutradaranya beda dengan film pertamanya. Makanya, enggak mengherankan, sih, kalau film kedua ini cuma dapat skor 58% di Rotten Tomatoes dan skor 53 di Metacritic. Meski begitu, film kedua ini masih mencetak Box Office, loh, yang bahkan semakin meningkat di film ketiganya yang melewati angka 200 juta dolar Amerika.

Memasuki film keempat, agaknya para kritikus menilai waralaba ini udah enggak jelas arah ceritanya. Kebanyakan mengkritik alur dan ending-nya yang dianggap sebagai kesalahan editing semata. Selain itu, metode found footage yang diusung sejak awal film jadi semacam tempelan aja di film-film selanjutnya. Soalnya, saat film pertama ngeyakinin lo bahwa memang harus ada kamera di sini dan di sana, film-film keempat sampai keenam cuma masukin unsur found footage melalui kamera laptop dan semacamnya yang sebetulnya enggak penting. Jadi, yah, dari enam film, waralaba Paranormal Activity cuma berhasil mencatatkan skor rata-rata 47,5% di Rotten Tomatoes dan 48,6 di Metacritic.

 

4. Jaws (1975—1897)

Via Istimewa

Jaws ini kena penyakit yang sama kayak film-film dalam sebuah waralaba lainnya. Film pertama, Jaws (1975), disutradarai oleh Steven Spielberg, sukses besar sebagai film thriller-horor pertama yang memacu adrenalin dengan cerita yang berbeda. Yap, teror ikan hiu bukan hal yang biasa lo temuin dalam film pada masa itu. Film ini merupakan adaptasi dari novel berjudul sama karya Peter Benchley yang diterbitkan setahun sebelumnya. Benchley pun turut serta dalam produksi film ini sebagai penulis naskah. Makanya, bisa dibilang Jaws dalah karya orisinal yang benar-benar sesuai dengan novelnya.

Sebagaimana sekuel gagal lainnya, film keduanya udah ditinggal oleh Spielberg dan Benchley. Alhasil, banyak kritikus menilai sekuelnya yang rilis pada 1978 udah kehilangan orisinalitasnya. Bahkan, dua sekuel yang mengikuti setelahnya dinilai sebagai film yang enggak perlu dibuat karena jalan ceritanya sendiri udah maksa, cuma bertabur kekerasan, enggak bisa disebut sebagai thriller-horor yang cerdas lagi. Puncaknya, film keempatnya, Jaws: The Revenge (1987), bahkan dapat skor 0% dari 34 kritikus yang mengulas film ini di Rotten Tomatoes. Dengan kata lain, semuanya ngasih komentar negatif dan sebagian besar mengkritik cerita yang enggak masuk akal, konflik yang membodohi penonton, dan alur yang membosankan.

Bisa jadi, orang-orang juga udah capek dibohongin sama film yang berisi hiu menyerang manusia, apalagi sampai masuk ke wilayah pantai. Cukuplah dengan pembodohan itu (tapi, sebentar lagi bakal ada The Meg, yang dibintangin sama Jason Statham dan ceritanya juga enggak jauh-jauh dari hiu yang menyerang manusia). Meski begitu, keempat film dalam waralaba ini tetap mencetak sukses di pasaran dengan total pendapatan keseluruhan mencapai 798 juta dolar Amerika.

Baca juga, deh, 5 Film Hollywood Mahal yang Enggak Laku.

 

5. Transformers (2007—2017)

Via Istimewa

Lo boleh aja yakin bahwa Transformers adalah film favorit banyak orang. Soalnya, skor rata-rata di CinemaScore aja sampai A-. Itu berarti, jutaan, bahkan mungkin miliaran, penonton di seluruh dunia suka banget sama film ini. Makanya, jangan kaget kalau total pendapatan lima film dalam waralaba ini mencapai 4,38 miliar dolar Amerika. Ditambah lagi, beda sama waralaba lainnya, semua filmnya disutradarai oleh Michael Bay, loh. Tinggi banget dedikasi Bay buat Transformers, ya!

Sayangnya, dedikasi tinggi enggak membuat film-film dalam waralaba Transformers dinilai baik oleh kritikus. Buktinya, skor rata-rata buat lima filmnya di Rotten Tomatoes aja cuma dapat 29%. Skor terendah didapat film kelima, Transformers: The Last Knight (2017) dengan 16% dari 209 ulasan. Sebagian besar mengkritik editing dan perkembangan ceritanya yang semakin enggak penting dan dianggap cuma ditambah-tambahin. Hmm, lo setuju?

Ada juga, kok, kritikus yang berpendapat bahwa film terakhirnya adalah film yang “Bay banget”. Yah, Bay ini bisa dibilang ahli banget bikin film musim panas yang laris. Sebelum Transformers, Bay udah beberapa kali mencetak film musim panas laris, kayak Pearl Harbour (2001) dan Armageddon (1998). Namun, selaris apa pun film Bay, tetap aja bisa dinilai jelek oleh para kritikus.

Nah, menanggapi ini, Bay pernah ngaku bahwa dia memang bikin film buat cowok remaja dan makanya wajar aja di mata kritikus hal itu jadi terlihat sebagai “kejahatan”. Seakan-akan, kritikus bilang, “buat apa lo bikin film jelek?” Lalu, dijawab oleh Bay, “Gua bikin film buat remaja cowok, kok!” Jadi, wajar juga kalau lo enggak sependapat dengan para kritikus soal Transformers karena Bay memang bikin film itu buat nyenengin fans, termasuk lo.

***

Persaingan dalam industri film Hollywood memang keras banget. Film yang laris di pasaran belum tentu jadi favorit para kritikus. Kritik yang dilayangkan pun bisa pedas banget sampai bikin sakit hati! Namun, keberadaan kritik ini penting buat menjaga kualitas film mereka. Hal ini juga berlaku buat waralaba film. Meski film pertamanya sukses, kalau film keduanya enggak diikuti dengan kualitas yang sama, siap-siap aja dapat nilai jelek.

Nah, kalau menurut lo, dari waralaba film yang udah disebutin dalam dua daftar ini, manakah yang paling jelek? Apakah ada lagi waralaba film lainnya yang sebetulnya layak masuk daftar ini? Silakan tulis pendapat lo di kolom komentar, ya!

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.