INFO
  • Tentang Kincir
  • Karier
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Follow Us :
Indera Keenam

Indera Keenam

By Aditya Santoz / 23 April 2016

Belum lama ini, aku pindah dari desa terpencil di Solo ke kota besar daerah Subang. Lingkungan baruku terbilang cukup menyeramkan karena dikelilingi pemakaman. Setelah beberapa hari tinggal di sana, tanpa dasar yang jelas, aku sering terbangun sekitar pukul 2 dini hari. Tak sekadar terbangun, aku pun sering berjalan sendiri ke luar rumah. Entah mengapa, tanpa kusadari, aku merasa ada sesuatu yang menarik perhatianku.

Suatu ketika, saat aku sedang berjalan-jalan di kegelapan, aku bertemu dengannya. Dia gadis yang masih seumuran denganku. Akhirnya, kami pun berkenalan. Persahabatan kami pun terjalin seiring kepercayaan yang semakin kuat di antara kami berdua. Dia selalu bahagia ketika aku menjadi pendengar setia keluh kesahnya. Jujur, mendengar ceritanya membuatku sangat bahagia. Aku merasa dipercaya. Aku merasakan kehidupan. Sesekali, aku pun mencoba menghiburnya. Senang rasanya mendengar tawa kecil yang keluar dari mulutnya. Tanpa kusadari, rasa ingin memiliki pun muncul. Hampir tiap malam aku menjadi pendengar setianya. Pertemuan selalu diakhiri oleh ucapan terima kasih yang disertai senyuman dari dirinya.

Tanpa terasa, enam bulan pun berlalu. Suka, duka, tawa, dan canda selalu mewarnai pertemuan kami. Namun, setelah enam bulan itu pula ayahku mulai curiga. Tanpa kuketahui, ayah berinisiatif membuntutiku ketika aku keluar di malam hari. Dia pun melihat apa yang kulakukan. Anehnya, ayah tetap membiarkanku berbicara dengan temanku tersebut dan memilih untuk menunda ribuan pertanyaan kepadaku.

Sampai di keesokan hari, akhirnya ayah tak kuasa juga memendam pertanyaan itu. Setelah aku mandi dan bersiap-siap ke sekolah, ayah menceritakan hal yang membuatku marah.

“Nak, bapak tau kenapa setiap malam kamu sering keluar dan baru pulang pas subuh. Bapak lihat, kamu berteman dengan seorang perempuan. Dia tidak seperti kita. Kau sudah berteman dengan seseorang yang bukan dari dunia kita. Bukannya bapak tak senang melihat kamu bahagia, bapak hanya takut kalau kamu merasa kehilangan ketika kamu mengetahui hal itu lebih lama lagi.”

Meski tak percaya apa yang diucapkan ayah dan merasa kalau gadis itu benar adanya, ucapan tersebut selalu menghantuiku. Sampai pada akhirnya, aku memupuk keyakinan untuk bertanya kepada teman baruku itu. Ya, bertanya tentang asal-usulnya. Gadis itu pun, dengan jujur, menceritakan yang sebenarnya. Saat itu, keyakinanku mulai pudar. Keyakinanku tentang keberadaannya sedikit demi sedikit makin menghilang. Seperti langit yang runtuh tak karuan, itulah yang kurasakan saat itu.

Namun, tangisan yang mengiringi cerita asal-usulnya membuatku iba juga. Aku berusaha untuk menghiburnya. Biar bagaimanapun, dia sudah jadi teman terbaikku selama enam bulan ini.

“Aku sangat berterima kasih karena kau mau menjadi temanku. Kau sudah jadi pendengar setia ketika aku bercerita. Kau pun rela menghiburku ketika aku sedih. Sekarang, aku sudah tenang dan bisa kembali ke tempatku seharusnya. Untuk terakhir kalinya, maukah kau mengantarku ke tempat aku beristirahat?”

Pernyataan yang keluar terbata-bata dari mulutnya itu jadi tanda perpisahanku dengannya untuk selama-lamanya. Sejak saat itu lah aku mengetahui bahwa aku memiliki indera keenam. Indera yang membuatku merasakan kehilangan dan kepedihan yang amat dalam.

Cerita Hantucerpen

Related Article

Voucher Game

Close Ads X
© 2019 PT Gajah Merah Terbang. All rights reserved.