Bagaimana Film Horor Membangun Rasa Takut Penontonnya?

-Film horor menjadi genre yang menghibur dengan cara menakuti penontonnya.
-Terobosan formula membangun rasa takut diperlukan agar penonton tidak merasa bosan dengan film horor.

Film horor. Sebuah genre perfilman yang bisa dibilang memiliki banyak penggemar. Hal ini tentunya cukup mengherankan. Soalnya, film horor merupakan sebuah genre yang menghibur penontonnya dengan cara membangun rasa takut lewat adegannya.

Menurut Dr. Katherine Brownlowe (Psikiatri Universitas Ohio), sejumlah orang justru merasa senang ketika mengalami sensasi ngeri saat menonton film horor. Hal ini karena ketika nonton film horor, otak akan merasakan sensasi fisik dan emosional dari rasa takut yang dibangun di filmnya.

via GIPHY

Yap, membangun rasa takut. Hal tersebutlah yang menjadi ciri khas sekaligus daya tarik dari film horor. Orang awam mungkin hanya mengetahui segelintir cara yang dilakukan oleh sineas film horor untuk membangkitkan rasa takut; mulai dari formula jumpscare yang memberikan efek kejut hingga gore yang menghadirkan kengerian lewat adegan sadis. Namun, kedua cara tersebut hanyalah segelintir trik dari para sutradara untuk membangun rasa takut di film horor.

Lantas, apa sajakah cara yang digunakan oleh sutradara film horor untuk membangun rasa takut bagi penontonnya? Lalu, adakah terobosan formula baru dari sineas film horor dalam menghadirkan rasa kengerian agar penontonnya tidak bosan? Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai hal tersebut, KINCIR bakal membahasnya secara mendalam di bawah ini. Yuk, simak!

Visual Kelam dengan Angle Kamera Close-up

Via istimewa

Mungkin banyak yang pernah merasa ketakutan ketika hari sudah mulai gelap. Enggak cuma itu, saat sedang berada di rumah dan tiba-tiba mati listrik, kemungkinan besar orang-orang akan langsung mencari sumber cahaya lain. Menurut Susan Blackmore selaku psikolog sekaligus dosen di University of Plymouth, hal ini terjadi karena pikiran kita cenderung merasa ada kehadiran sosok lain ketika situasinya gelap.

Nah, hal inilah yang digunakan dalam film horor untuk menakuti kita ketika menonton. Maka, enggak mengherankan kalau mayoritas film horor menggunakan pewarnaan yang cenderung gelap atau mengambil latar waktu pada malam hari.

via GIPHY

Nuansa gelap tersebut terkadang juga dapat digabungkan dengan sejumlah warna lain untuk menghadirkan perasaan yang berbeda terhadap penonton. Salah satunya adalah warna biru yang dianggap memberikan kesan ‘dingin’ dalam tiap adegannya.

Konsep nuansa gelap dengan tambahan warna kebiruan ini pun sudah dilakukan pada beberapa film horor. Di The Ring (2002), nuansa biru gelap yang hadir saat hantu wanita keluar dari sumur digunakan untuk membuat tampilan sang setan yang serba putih jadi lebih menakutkan.

via GIPHY

Lalu, pada Saw (2004), warna kebiruan juga selalu muncul pada adegan yang berlatar tempat di ruang penyiksaan dari Adam Stanheight dan Lawrence Gordon. Hal ini dilakukan untuk menambah suasana yang lebih suram dan menegangkan kepada penonton.

Via istimewa

Meski demikian, ada juga sutradara yang justru menghadirkan nuansa gelap yang digabungkan dengan tiga warna primer sekaligus, seperti merah, biru, dan kuning. Hal ini dilakukan oleh sutradara asal Italia, Dario Argento, pada film horor Suspiria (1977) untuk ‘membawa’ penonton ke dalam filmnya sehingga kengeriannya lebih terasa.

“Untuk segera menjadikan Suspiria pemisahan total dari apa yang kita sebut ‘realitas sehari-hari’, saya menggunakan warna-warna primer dalam wujud yang paling murni, membuat mereka (warna primer) segera dan secara mengejutkan kasar serta provokatif. Ini (warna primer) membawa penonton ke dunia Suspiria,” terang Dario Argento.

Via istimewa

Selain pewarnaan visualnya, angle dari kamera pada suatu adegan juga berpengaruh terhadap pembangunan rasa takut penonton di film horor. Umumnya, hal ini terjadi ketika kamera menggunakan angle close up. Hal yang menjadi menarik adalah ada dua macam sensasi kengerian yang bakal dirasakan oleh penontonnya lewat angle tersebut.

Pertama, jika kamera melakukan close up pada protagonis dari film horornya, para penonton bakal ikut merasakan nuansa teror yang sedang dialami oleh sang tokoh. Sedangkan, saat kamera mendekat ke wajah hantu atau sosok menyeramkan di dalamnya, penonton akan merasa gelisah karena seolah ‘terjebak’ dengan si makhluk tersebut.

via GIPHY

Hal ini diterapkan dalam sejumlah film horor, seperti The Blair Witch Project (1999) yang didominasi oleh angle kamera close-up. Pasalnya, film garapan Daniel Myrick dan Eduardo Sánchez tersebut mengusung konsep found footage yang membuat filmnya seolah rekaman kejadian sungguhan yang dialami oleh pemeran utamanya. Makanya, The Blair Witch Project kerap menyorot ekspresi ketakutan dari karakter utamanya sehingga terasa personal bagi penonton.

Hasilnya, film tersebut mendapatkan nominasi sebagai “Film Horor Terbaik” di beberapa ajang, seperti pada Academy of Science Fiction, Fantasy & Horror Films, USA. Oh ya, akibat konsep kamera yang diusung dalam Blair Witch Project tersebut, banyak penonton yang keluar bioskop karena merasa mual saat menyaksikan film tersebut, loh.

Selanjutnya, angle close-up juga digunakan dalam film It (2017). Meskipun enggak terlalu banyak seperti di Blair Witch Project, momen close-up dalam It terbilang lebih ikonis serta menyeramkan karena berfokus pada sang monster badut, Pennywise. Yap, adegan tersebut adalah saat Pennywise menampakkan dirinya di lubang gorong-gorong dan membujuk anak kecil untuk masuk.

Momen tersebut memang sangat ikonis, baik dalam versi orisinal yang dirilis pada 1990 maupun remake yang digarap oleh Andrés Muschietti. Soalnya, adegan close-up tersebut menjadi kemunculan pertama dari Pennywise di filmnya dan meninggalkan kesan menyeramkan dari sang monster badut kepada penonton.

Suara yang Bikin Enggak Nyaman

Via istimewa

Unsur suara pada film horor memang menjadi salah satu aspek penting dalam film horor untuk membangun rasa takut penontonnya. Soalnya, selain kemunculan sosok yang tiba-tiba ada di layar ketika menonton, unsur suara dapat memberikan efek kejut tambahan pada sejumlah momen jumpscare.

Meskipun begitu, unsur suara bukan hanya menjadi aspek pendukung untuk jumpscare. Dalam praktiknya, ada beberapa sutradara film horor yang memasukkan suara-suara tertentu yang membuat orang menjadi tidak nyaman saat menonton. Salah satu suara yang dimaksud tersebut adalah infrasound.

Buat kalian yang belum tahu, infrasound merupakan sebuah suara yang memiliki frekuensi sekitar 19 Hertz atau di bawah itu. Sebenarnya, jenis suara ini enggak bisa didengar oleh telinga manusia. Namun, infrasound mampu memberikan efek terhadap tubuh pendengarnya sehingga menjadi panik, gelisah, dan juga jantungnya berdebar kencang.

Salah satu film horor yang menghadirkan infrasound di dalamnya adalah Irréversible (2002) garapan sutradara Gaspar Noé. Bahkan, Noé langsung menghadirkan infrasound dengan frekuensi 27 Hertz pada 30 menit pertama filmnya tersebut. Hasilnya, banyak peononton yang keluar dari bioskop karena merasa mual pada setengah jam pertama filmnya diputar.

Selanjutnya, film horor juga menghadirkan suara nonliner untuk membuat penonton takut. Jenis suara yang masuk pada golongan nonliner meliputi teriakan hewan-hewan dan jeritan bernada tinggi. Suara nonliner tersebut dianggap membuat penontonnya merasa tegang serta seolah sedang dalam bahaya.

The Exorcist (1973) and The Shining (1980) menjadi salah satu contoh film horor yang menghadirkan suara nonliner di dalamnya. Menariknya, suara tersebut enggak diperdengarkan secara tiba-tiba pada suatu adegan, melainkan disisipi pada soundtrack-nya. Maka, enggak mengherankan kalau kedua film tersebut sangat mengganggu ketenangan ketika ditonton.

Via istimewa

Berkaitan dengan soundtrack, sebenarnya ada nada-nada tertentu yang membuat scoring di film horor jadi terasa menyeramkan dan membuat penonton enggak nyaman. Di Abad Pertengahan, nada tersebut disebut sebagai “Devil’s interval” atau tritone. Para ahli musik menghindari penggunaan tritone sepanjang sejarah karena berkaitan dengan segala emosi yang negatif.

Meski demikian, hal ini justru dimanfaatkan oleh beberapa film horor untuk membangun rasa takut penonton lewat soundtrack mereka. Lagi-lagi, hal ini dilakukan oleh The Shining garapan Stanley Kubrick untuk membuat penontonnya merasa enggak nyaman selama menyaksikan filmnya.

Antisipasi terhadap Jumpscare

Via istimewa

Lewat jumpscare, para penonton film horor memang dibuat ketakutan dengan efek kejutan pada suatu adegan tertentu. Akan tetapi, sebenarnya ada faktor yang membuat jumpscare tersebut mampu bikin audiens ‘loncat’ dari bangku ketika menyaksikan film horor, yaitu rasa antisipasi.

Entah kalian sadar atau enggak, sebelum kita dikagetkan dengan jumpscare di film horor, kita justru akan dibuat menunggu untuk momen kejutan tersebut. Nah, inilah yang dinamakan antisipasi. Kita bakal dibuat tegang terlebih dahulu sebelum terkejut oleh jumpscare. Menurut psikolog bernama Ronald E Riggio Ph.D., momen antisipasi membuat penonton takut karena enggak mengetahui apa yang akan terjadi di adegan selanjutnya.

via GIPHY

Contohnya ada pada film Pengabdi Setan (2017) lewat karakter bernama Ian yang diperankan oleh aktor cilik Muhammad Adhiyat. Pada salah satu adegannya, Ian berjalan menyusuri lorong rumahnya saat tengah malam setelah melihat sesuatu. Nah, selama Ian menyusuri lorong tersebut, penonton dibuat tegang karena mengantisipasi kehadiran dari sesosok hantu yang ada di filmnya.

Jadi sebenarnya, sebelum ada jumpscare, rasa takut dari penonton sudah dibangun terlebih dahulu lewat momen antisipasi tersebut. Barulah kengerian penonton tersebut dibuat memuncak dengan jumpscare yang dihadirkan pada momen antisipasi secara tiba-tiba.

Yap, jumpscare memang menjadi formula paling sering digunakan dalam film horor untuk menghadirkan rasa takut di penontonnya. Ketika kalian merasa waspada akan suatu adegan di film horor, otak kalian mengaktifkan amigdala yang merupakan bagian terkait rasa takut dan gelisah. Nah, saat ada momen jumpscare, bagian saraf tersebut akan mengalami efek kejut dan membuat kita kaget.

via GIPHY

Makanya, jumpscare dianggap sangat penting oleh sejumlah sutradara film horor untuk membangun ketakutan penonton. Salah satu sineas film horor Indonesia yang menganggap jumpscare penting adalah Kimo Stamboel selaku sutradara dari Rumah Dara (2009) serta Ratu Ilmu Hitam (2019). Namun, menurutnya jumpscare harus digunakan pada momen yang tepat agar terasa seramnya.

“Film horror, kalau enggak ada jumpscre, takutnya enggak dibicarain orang-orang. Menurut saya, penggunaan jumpscare harus tepat. Banyak orang coba menggampangkan itu. Terakhir saya coba membuat orang mengingat adegan yang seram-seram lewat jumpscare . Namun, saya masih belum punya formula akhir dan masih belajar untuk membuat jumpscare efektif,” terang Kimo saat diwawancara KINCIR.

Via istimewa

Pembatasan Usia dalam Membangkitkan Rasa Takut

Via istimewa

Setelah berbagai macam teknik yang digunakan dalam film horor untuk membuat penontonnya takut tersebut, kini muncul pertanyaan; apakah ada batasan dalam menghadirkan rasa kengerian dari segi usia? Apakah akan ada aspek-aspek tertentu yang dihilangkan untuk membangun rasa takut dalam film horor tergantung dengan rating usianya?

Tentunya, hal ini penting untuk dibahas. Coba saja bayangkan apa yang bakal terjadi jika sebuah film horor yang berlabel usia penonton 13 tahun menampilkan sejumlah adegan yang gore dan sangat sadis? Kemungkinan besar, penonton dengan usia anak-anak bakal mengalami trauma setelah menonton film tersebut. Soalnya, mereka belum siap secara mental untuk menyaksikan adegan yang sadis tersebut.

via GIPHY

Makanya, sutradara harus bisa menyesuaikan adegan yang ada di film horor garapan mereka dengan klasifikasi usia penonton yang ingin diajukan. Hal serupa pun pernah dilakukan oleh Kimo dalam salah satu film garapannya.

Jika kalian pernah menonton film garapan Kimo, seperti Rumah Dara (2009) atau Killers (2014), mungkin sadar bahwa adegan sadis dan penuh darah menjadi ciri khas sang sutradara. Hal ini sebenarnya enggak terlalu mengherankan karena kedua film tersebut mengusung klasifikasi usia penonton untuk 21 tahun ke atas.

Menariknya, untuk proyek film Dreadout (2019), Kimo nyatanya harus ‘mengerem’ ciri khasnya tersebut untuk mendapatkan rating usia penonton 13 tahun. Apalagi, sebelum Dreadout, Kimo memang belum memiliki film dengan klasifikasi usia di bawah 21 tahun sama sekali. “Akhirnya saya coba, saya kejar ke (rating) 13 tahun bisa enggak di film ini (Dreadout). Jadi, memang sedikit ada ngeremnya,” jelas Kimo.

Meskipun sempat mengejar rating usia 13 tahun, pada akhirnya film adaptasi game tersebut hanya mentok di klasifikasi penonton 17 tahun. Menurut Wida Handoyo, selaku produser eksekutif Dreadout, faktor yang menyebabkan film tersebut batal menggunakan klasifikasi 13 tahun adalah mereka enggak mau mengubah cerita yang dianggap tidak cocok untuk usia tersebut.

“Kami sepakat di klasifikasi 17 tahun maksimal, enggak mau lebih sampai 21 tahun. Adegan-adegan khas Kimo itu harus ada. Itu yang bikin beda dengan film horor lain. Yang darah-darahnya dikurangin, itu yang kami coba,” pungkas Wida.

Hal serupa ternyata juga pernah dialami oleh produser Manoj Punjabi terhadap film horornya yang berjudul Silam (2018). Pada awalnya, Manoj mengaku bahwa dia mengajukan filmnya tersebut ke Lembaga Sensor Film (LSF) untuk klasifikasi usia 13 tahun. Akan tetapi, LSF beranggapan bahwa Silam lebih cocok untuk usia 17 tahun karena konten di dalamnya enggak layak untuk penonton 13 tahun.

“Pada dasarnya film yang masuk usia 13 tahun ke atas adalah film yang mengandung edukasi. Film horor yang menebar ketakutan saja dianggap enggak ada edukasinya. Misalnya, ada pembunuhan, tapi si pembunuh dihukum, itu, ‘kan, edukasi juga. Kalau hanya cerita pembunuhan kemudian (korban) jadi hantu, itu enggak ada edukasinya karena dari awal sampai akhir hanya menebar horor,” pungkas Ahmad Yani selaku ketua dari Lembaga Sensor Film Indonesia.

Lalu, apakah ada film horor dengan klasifikasi usia 13 tahun? Ada, dong. Salah satunya adalah Insidious (2010) yang memiliki rating usia PG-13 atau bisa diartikan penonton usia remaja dengan pendampingan orangtua. Adegan yang disajikan di dalamnya pun enggak sesadis dan penuh darah seperti film horor dengan rating 17 tahun ke atas. Insidious hanya membangkitkan rasa takut lewat visual gelap, tampilan makhluk yang mengerikan, serta tentunya jumpscare.

Hasilnya? Film ini berhasil meraup keuntungan sebesar 99,5 juta dolar (sekitar Rp1,4 triliun) dari modal produksi yang hanya 1,5 juta dolar (sekitar Rp21,2 miliar). Oleh karena itu, sutradara film horor harus bisa memberikan batasan cara membangkitkan rasa takut berdasarkan klasifikasi usia. Hal ini agar film horor dapat dinikmati oleh segala usia dan tentunya akan menghadirkan lebih banyak penonton lagi.

via GIPHY

Gempuran Film Horor, Akankah Membosankan?

Jika melihat perkembangan dalam beberapa tahun terakhir, film dengan genre horor bisa dibilang selalu mampu memikat jumlah penonton yang banyak di bioskop. Buktinya, pada 2019 lalu terdapat empat judul film bergenre horor yang masuk daftar 15 besar film Indonesia dengan jumlah penonton terbanyak.

Lantas, apakah ke depannya film horor akan selalu kebanjiran penonton? Apakah para sutradara menghadirkan sejumlah formula baru untuk membangun rasa takut sehingga penontonnya tidak merasa bosan dengan deretan trik yang disebutkan di atas?

via GIPHY

Well, pertama-tama, untuk penikmat film yang pada dasarnya telah jatuh cinta dengan genre horor, kemungkinan besar mereka akan tetap menontonnya, terlepas ada formula baru atau tidak. Sebab, menurut Dr. Mathias Clasen dari Universitas Aarhus yang memfokuskan penelitiannya pada efek psikis dari film horor, genre tersebut seolah bisa menjadi ‘terapi’ bagi penontonnya.

“Genre ini memungkinkan kita untuk secara sukarela dan dalam keadaan yang terkendali untuk mendapatkan pengalaman dengan emosi negatif,” terang Dr. Clasen. Dampaknya, kita jadi enggak terlalu takut lagi dengan hal mengerikan lainnya di kehidupan nyata setelah menonton film horor.

Jadi, dengan menantang diri sendiri buat menyaksikan film horor, kita justru membuang rasa kegelisahan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Via istimewa

Jika kalian enggak terpengaruh dengan efek psikis dari film horor dan masih takut bakal bosan dengan formula klise yang dihadirkan di dalamnya, tenang saja. Soalnya, beberapa tahun ke belakang ini sejumlah sineas film horor melakukan eksperimen-eksperimen untuk mencari formula baru dalam membangkitkan rasa takut.

Pertama ada sutradara Ari Aster yang menggarap film horor, Midsommar (2019). Film yang digarapnya ini berani tampil beda dengan visual yang cerah serta penuh warna terang yang tentunya sangat berbeda formula film horor yang dikenal bernuansa kelam.

Meski demikian, Midsommar masih mampu membuat takut penontonnya dengan visual cerah tersebut. Hal ini bisa dilihat dari sejumlah penghargaan yang diraih oleh film ini, termasuk predikat “Film Horor Terbaik” pada Las Vegas Film Critics Society Awards 2019.

Via istimewa

Lalu, buat kalian yang jenuh ditakuti oleh kehadiran sosok hantu atau monster di film horor, ada juga formula baru terkait hal tersebut. Pada film Bird Box (2018) yang dibintangi Sandra Bullock, penontonnya dibuat ngeri dengan menyajikan konsep yang mana wujud sang monster enggak diperlihatkan sama sekali.

Alasan penonton dibuat takut lewat konsep tersebut berkaitan dengan penelitian yang dilakukan di Universitas Turku perihal aktivitas sistem saraf menanggapi film horor. Menurut penelitian tersebut, orang-orang menemukan kengerian bersifat psikologis dan jauh lebih takut dengan hal-hal yang tidak terlihat atau tersirat daripada apa yang sebenarnya mereka lihat.

Selanjutnya, film horor kini juga enggak cuma menjual jumpscare untuk membuat penontonnya ketakutan. Banyak film horor yang menggabungkan genre jagal ataupun gore yang membangun rasa takut lewat sejumlah adegan sadis penuh darah yang juga bikin ngilu.

Pada 2019 lalu, hal tersebut dilakukan oleh film Perempuan Tanah Jahanam garapan Joko Anwar. Adegan di dalamnya sangat minim dan jumpscare dan lebih menebar kengerian lewat momen pembunuhan yang sadis dan bikin meringis. Mulai dari digorok, ditembak kepalanya, sampai dikuliti. Hal itu bisa langsung bikin penonton enggak nyaman melihatnya.

Perempuan Tanah Jahanam pun mendapatkan sambutan yang baik dari pencinta film horor. Bagaimana enggak, film tersebut masuk dalam layanan streaming asal Amerika Serikat khusus film-film bergenre horor, yaitu Shudder. Enggak cuma itu, Perempuan Tanah Jahanam juga melaksanakan penayangannya di salah satu ajang bergengsi ranah persinemaan di dunia, yakni Festival Film Sundance.

Oleh karena itu, kemungkinan besar film horor akan tetap kebanjiran penonton di masa mendatang. Selain efek psikis yang bikin penontonnya ketagihan dengan genre tersebut, sineas film horor juga meracik sejumlah formula baru agar penikmatnya enggak bosan.

***

Film horor memang bisa menjadi candu bagi mereka yang suka memacu adrenalin. Terobosan formula baru dalam membangkitkan rasa takut pun diperlukan agar para penontonnya enggak merasa jenuh. Ke depannya, semoga saja para sineas film horor dapat menemukan formula-formula lainnya untuk membangkitkan rasa takut penonton dari berbagai macam usia.

Nah, bagi kalian, film horor mana yang paling menakutkan dan faktor apa yang membuatnya jadi impresif? Share pendapat kalian di kolom komentar dan ikuti terus KINCIR untuk kabar terbaru seputar film lainnya, ya!

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.