Keluar dari Zona Nyaman, Vino G. Bastian Perankan Karakter Lintas Gender di Baby Blues

Buat kamu yang suka nonton film Indonesia, pastinya sudah enggak asing lagi dengan sosok Vino G Bastian, ‘kan? Yap, aktor kelahiran 1982 ini memang terkenal lewat perannya yang lekat dengan nuansa laki-laki “macho”, terutama pada era 2000-an. Coba lihat saja sejumlah film Vino; seperti Realita, Cinta dan Rock’n Roll (2006), Radit dan Jani (2008), dan Serigala Terakhir (2009).

Namun, lewat film Baby Blues yang rencananya tayang pada Maret 2022 ini, Vino G Bastian justru memerankan karakter yang “keibuan”. Baby Blues mengisahkan Dika (Vino) dan Dinda (Aurelie Moeremans), sepasang suami-istri yang baru saja memiliki anak bayi. Sulitnya merawat bayi serta Dika yang terkesan cuek kemudian membuat Dinda mengalami sindrom baby blues.

Setelah pertengkaran hebat, keduanya terlibat dalam sebuah fenomena misterius yang membuat jiwa mereka bertukar tubuh. Jadi, jiwa Dinda berada pada tubuh Dika, dan begitu juga sebaliknya. Hal ini membuat Vino G. Bastian jadi lintas gender karena memerankan sosok ibu baru yang terperangkap dalam tubuh pria.

Nah, belum lama ini KINCIR mendapatkan kesempatan spesial untuk berbincang dengan Vino G. Bastian terkait keterlibatannya dalam film Baby Blues. Tak cuma itu, Vino juga membeberkan tantangannya dalam memerankan karakter lintas gender. Yuk, simak obrolan kami berikut ini:

KINCIR: Vino terkenal sebagai bapak-bapak yang “rock n’ roll”. Bagaimana akhirnya bisa bermain dalam film Baby Blues?

Vino: Jadi, sebenarnya karena anak saya satu. Waktu baca skripnya, ini sebetulnya ceritanya menarik, nih. Karena biasanya waktu orang menikah lalu punya anak, dan mulai kehilangan masa-masa me time akan mulai terjadi cekcok. Kadang-kadang saking emosinya bisa sampai bilang, “coba rasain jadi istri!” ataupun sebaliknya. Nah, pas saya baca skrip filmnya, ini kok seru banget kayak benar-benar kejadian.

KINCIR: Awal Vino menikah merasakan itu juga atau enggak?

Vino: Pasti ada, walaupun enggak se-ekstrem itu. Karena pasti capek, harus kerja. Sementara istri setelah hamil yang kita kira sudah selesai ternyata masih ada (masalah) lagi kayak mengurus anak dan yang hormonnya enggak balance atau yang biasa kita kenal dengan baby blues. Itu kalau misalnya keterusan bisa jadi depresi. Misalnya enggak ada komunikasi yang bagus antara suami-istri bisa terjadi perang. Bagi saya, ini adalah hal yang dialami oleh hampir semua pasangan, tapi jarang terungkap.

Nah, hal kedua yang bikin saya tertarik adalah terdapat challenge pertukaran karakter lintas gender yang menurut saya jadi hal baru di Indonesia. Jadi, ini menjadi sesuatu yang menurut saya patut buat dicoba. Yang menariknya adalah ketika memerankan lintas gender, kita enggak boleh menjadi “banci”. Karena dia itu sebenarnya perempuan, yang tertukar itu jiwanya.

Buat saya, untuk melatih diri sendiri (sebagai aktor) itu harus mencoba yang berada di luar zona nyaman. Jadi, yaudah akhirnya saya coba ikut film ini.

KINCIR: Ada tantangan enggak memerankan karakter yang lintas gender?

Vino: Tantangannya adalah chemistry saya dengan Aurelie harus dekat banget. Soalnya, saya enggak boleh melakukan sesuatu yang enggak dilakukan Aurelie, begitu juga sebaliknya. Karena, jiwanya yang bertukar.

KINCIR: Bagaimana proses pembangunan chemistry dengan Aurelie?

Vino: Kita ada workshop yang berlangsung hampir sebulan. Agak lumayan panjang mencari cara untuk mencari cara agar penonton bisa percaya saya itu Aurelie dan Aurelie itu saya. Namun, memang enggak segampang itu. Akhirnya segala macam cara kita coba yang kemudian menjadi sebuah formula yang nanti ada di film ini. Mudah-mudahan itu bisa berhasil.

Namun, yang paling penting sebenarnya bukan pertukarannya. Tapi lebih ke sharing bahwa di setiap rumah tangga itu enggak ada yang ideal. Terus enggak usah minta yang macam-macam, yang penting dijalankan dulu.

Cerita Vino G Bastian Perankan Karakter Lintas Gender di Film Baby Blues
Cerita Vino G Bastian Perankan Karakter Lintas Gender di Film Baby Blues Via Istimewa.

KINCIR: Berarti Baby Blues ini hal yang relate banget buat keluarga baru, ya?

Vino: Iya. Dan bukan orang yang sudah menikah saja yang harus nonton. Soalnya, ada karakter kayak Rigen yang kasih point of view orang yang belum menikah, tapi menyaksikan kehidupan pernikahan temannya. Ada juga point of view mertua. Jadi, point of view-nya itu ada banyak.

KINCIR: Seandainya bisa ngobrol bareng sama karakter yang kamu perankan, apa yang bakal kamu sampaikan?

Vino: Dika, lo itu gue banget. Maksudnya, kami ini cowok, mau kami sudah menikah atau punya anak, tetap saja hobi kami enggak bisa hilang. Dan misalnya menikah, lalu hobinya hilang karena dilarang istri, bisa gila, sih.

KINCIR: Kalau begitu, berarti seberapa relate seorang Vino dengan sosok Dika dalam film ini?

Vino: Kalau secara keseluruhan mungkin enggak 100 persen. Soalnya, film ini ceritanya diambil dari pengalaman beberapa orang lalu digabung. Relate-nya kayak masalah sewaktu awal punya bayi itu perempuan agak sensitif karena baby blues-nya tadi itu. Jadi, mau bicara benar saja bisa salah, apalagi bicara yang salah.

Terus ketika mau keluar cari udara segar buat menghindari keributan malah ditelepon istri dan dimarahin lagi. Jadi, hal-hal kayak begitu yang sempat saya temui juga sebenarnya di dunia nyata.

KINCIR: Bagaimana rasanya waktu memerankan karakter Dinda?

Vino: Geli, sih. Jadi, ada karakter mertua saya, ibunya si Dinda, itu dia bakal merasa lebih geli lagi sebenarnya. Soalnya, dia harus berhubungan dekat dengan saya seperti dengan anak perempuannya, tapi yang dilihat mukanya saya. Dia bilang, “aduh, gimana ya, saya harus berakting kamu jadi anak perempuan saya.” Terus saya bilang, “yaudah, Mbak, cuek saja. Saya juga sudah terlanjur ‘basah’ begini.”

KINCIR: Ada perubahan atau enggak saat membintangi film ini setelah sebelumnya lebih sering memerankan laki-laki yang gentleman atau rock n roll?

Vino: Industri kita begitu, sih. Misalnya kita sudah sukses di satu genre, di satu karakter, kita akan terus ditawarkan peran kayak begitu terus. Misalnya kayak Catatan Akhir Sekolah (2005), Realita, Cinta dan Rock’n Roll (2006), lalu Radit dan Jani (2008). Pada saat itu memang hampir enggak ada film Indonesia dengan karakter anak muda yang berani speak up seperti dalam sejumlah film tersebut.

Namun, setelah mulai banyak (film yang seperti itu), saya juga ingin tantangan yang lain. Jadi, saya bukan ingin merusak karakter saya (sebagai aktor), tapi cuma ingin orang tak terjebak melihat saya sebagai karakter yang seperti itu-itu saja. Saya mulai mengambil karakter yang bertolak belakang, seperti jadi ustad, lalu jadi orang gay atau apapun. Aktor perlu melakukan hal itu, walaupun terkadang ada fans garis keras yang ingin kita cuma menjadi satu karakter saja.

Nah, pas dapat Baby Blues ini yang menarik adalah fisik saya enggak berubah sewaktu berperan. Soalnya, akan lebih mudah ketika saya bermain dengan kondisi fisik berubah, seperti didandanin, pakai rambut palsu, atau dipasang payudara palsu. Itu sebenarnya akan sangat membantu buat masuk ke karakter. Namun, ketika sewaktu bercermin wujud fisiknya tetap saya, tapi harus jadi perempuan, itu yang menarik buat saya.

Cerita Vino G Bastian Perankan Karakter Lintas Gender di Film Baby Blues
Cerita Vino G Bastian Perankan Karakter Lintas Gender di Film Baby Blues Via Istimewa.

KINCIR: Ada enggak momen lucu sewaktu syuting?

Vino: Ada. Tiba-tiba waktu selesai take si Ucup (Andibachtiar Yusuf/Sutradara) bilang, “lo kenapa jadi halus terus ngomongnya, ya? Udah biasa aja.” Terus saya bilang, “enggak, cup, habis inikan mau masuk karakter ini lagi (Dinda). Jadi, maksudnya biar cara ngomongnya sama.” Habis itu, Ucup malah bilang ini bisa bahaya, padahal dia yang mengajak main film.

***

Nah, apakah kamu jadi semakin penasaran dengan film Baby Blues setelah mendengar cerita Vino G. Bastian tersebut? Share pendapat kamu pada kolom komentar, ya!

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.