Layar Tancap, Riwayatmu Kini

Bagaimana cara kalian menonton film di era modern ini? Jawabannya tentu di bioskop, televisi, ponsel, atau komputer. Zaman sekarang, proses menonton film memang makin canggih dan mudah dilakukan. Namun, enggak bisa dimungkiri kalau ada satu hal yang sulit dinikmati anak-anak modern: nonton film pakai layar tancap.

Di Indonesia, layar tancap muncul sekitar 1901 dan mulai dijadikan sebuah industri pada tahun 1942-an Pada masa itu, layar tancap dipakai oleh Jepang sebagai media untuk propaganda rakyat Nusantara.

Via Istimewa

Ya, mengingat layar tancap ukurannya besar dan juga ditonton banyak orang, tentunya hal ini sangat efektif sebagai media buat menanamkan ideologi-ideologi tertentu kepada banyak orang, termasuk bahwa Jepang adalah penyelamat bagi rakyat Nusantara.

Oh ya, layar tancap ini disebut sebagai bioskop keliling. Soalnya, bioskop ini diputar dari satu kota ke kota lain, dan enggak permanen kayak XXI, CGV, atau Cinemaxx yang kita kenal sekarang.

Buat orang zaman dulu, layar tancap udah kayak tur keliling dunianya Westlife atau John Mayer, alias ditunggu-tunggu banget.

Via Istimewa

Nah, Jawa Enhaii merupakan perusahaan bioskop keliling yang paling laris dan diminati banyak orang. Bahkan, cabangnya ada di lima kota, mulai dari Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Malang, sampai Surabaya.

Sebenernya, masih ada perusahaan lain yang juga mengoperasikan bioskop keliling itu. Soalnya, udah gratis, bioskop ini juga merupakan satu-satunya hiburan tercanggih.

Via Istimewa

Jangan bayangin film yang ditonton itu punya efek canggih kayak MCU, ya. Kebanyakan, bahkan merupakan semacam dokumenter, misal, pidato Bung Karno.

Meskipun filmnya mungkin kurang menarik di mata masyarakat modern, penontonnya bisa sampai sepuluh ribuan orang, lho.

Era Kejayaan Bioskop Keliling

Via Istimewa

Layar tancap dalam bioskop keliling ini jadi primadona banget pada dekade ’60-an sampai ’90-an awal. Bukan cuma Jepang, pemerintahan Orde Baru juga sempat menjadikan bioskop keliling sebagai media propaganda. Contohnya, film Pengkhianatan G30S/PKI (1984) yang mampu membangkitkan mimpi buruk di malam-malam kita.

Pada dekade ‘60-an akhir, sebenernya pemerintah udah getol membangun gedung-gedung bioskop di kota-kota besar. Gedung-gedung ini bahkan memutar film impor, lho.

Via Istimewa

Sayangnya, di desa-desa masih susah menjangkau hiburan ini. Apalagi, transportasi di masa lalu enggak secanggih zaman sekarang.

Makanya, layar tancap itu laris banget di desa-desa. Bahkan, di tahun 1970-an, laris banget. Lho. Sampai ada layar tancap yang ditonton dari dalam mobil, kayak dalam ending film Ant-Man and the Wasp (2018) 

Via Istimewa

Sisi positif dari bioskop keliling, masyarakat pedesaan bisa dapet hiburan dengan harga yang relatif murah. Oh ya, harga tiket bioskop keliling pada masa-masa itu dibanderol sekitar Rp100 sampai Rp150.

Sedangkan sisi negatifnya, bioskop ini enggak punya filter. Maksudnya, semua orang, mulai dari balita sampai orang dewasa, bebas buat nonton film di sana.

Via Istimewa

Akhirnya, pemerintah pun bikin peraturan Surat Edaran No. 10/SE/DPF-III/1986 lewat Departemen Penerangan. Dalam surat ini, ada persyaratan bahwa penonton bioskop keliling harus berusia minimal 13 tahun.

Bioskop keliling sukses memutarkan berbagai macam film, mulai dari film Indonesia sampai film-film Barat. Lewat layar tancap, kalian dapat melihat aksi-aksi Barry Prima sampai film-film Rambo.

Redupnya Bisnis Layar Tancap

Via Istimewa

Hariadi, salah satu pebisnis bioskop keliling yang aktif pada dekade ’70-an sampai dengan ’90-an mengaku bisa meraup untung hingga Rp4 juta sekali pemutaran pada masa kejayaan bioskop keliling, Menurutnya, angka segitu besar sekali. Emas aja, satu gram saat itu sekitar Rp20.000.

Bisa dibilang, Hariadi merupakan pengusaha bioskop layar tancap keliling yang tersohor di Jawa Timur. Dalam satu kali penayangan, penonton yang datang mencapai enam ribu orang.

Usahanya pun terkenal dengan nama Cinedex (Cinema Gedex), “Gedex” dari kata “gedek” alias tripleks. Hariadi bahkan punya bioskop layar tancap di Jalan Soekarno Hatta, Malang pada akhir ‘80-an.

Via Istimewa

Selain Hariadi, ada pula pengusaha layar tancap lain yang sempat mencicipi manisnya bisnis bioskop keliling. Jamaludin, pengusaha asal Bekasi ini telah merasakan keuntungan besar dari bisnis layar tancap ini di dekade ‘90an awal. Permintaan datang dari kampung-kampung untuk acara hajatan.

Sayang, redupnya bisnis layar tancap ini disebabkan oleh semakin mudahnya bagi masyarakat mendapatkan hiburan. Contohnya, lewat berbagai tayangan televisi yang semakin kaya channel dan gedung bioskop yang makin banyak.

Mempertahankan Kenangan Layar Tancap

Via Istimewa

Hariadi mengaku bisnis layar tancap di masa kini memang udah enggak menguntungkan. Namun, dirinya tetep pengin melestarikan bisnis ini supaya anak-anak muda zaman sekarang bisa mempelajari salah satu hal yang jadi bagian penting kehidupan masyarakat Indonesia.

Itulah yang kemudian mendorongnya untuk membuat Old Cinema Museum di bekas kantor Cinedex. Di museum itu, pengunjung bisa melihat layar, proyektor, sampai pita 35 mm yang dipakai buat memutar film-film di layar tancap.

Via Istimewa

Kamaluddin, seorang pebisnis layar tancap di Jakarta, masih setia sama hiburan lawas yang satu ini. Dia mengakui zaman sekarang, bisnis ini udah susah dijalankan.

Namun, hal itu enggak bisa menghilangkan kecintaannya pada film dengan pita 35 mm tersebut. Jadi, Kamaluddin masih tetap memutarkan film lewat layar tancap, dan masyarakat di kampung-kampung pinggiran yang jadi pelanggannya.

Kesimpulannya, segala hal pasti bakal berubah kecuali perubahan itu sendiri. Layar tancap tentu akan kalah dibandingkan sama bioskop yang makin canggih.

Via Istimewa

Bayangin aja, sekarang kita udah bisa menonton film di bioskop dengan format 3D sampai dengan efek 4D yang bikin kita berasa mengalami aksi-aksi di dalam layar. Nonton film di rumah pun juga bisa lewat platform penyedia video streaming kayak Netflix.

Sebenarnya, layar tancap masih bisa kok dipertahankan, setidaknya buat acara-acara khusus seperti festival, bazar, dan lain sebagainya. Memang fungsinya bakal berubah, tapi setidaknya, apa yang pernah jadi bagian sejarah di negara kita enggak hilang.

Via Istimewa

Nah, setujukah kalian dengan hal tersebut? Apakah kalian termasuk yang pernah nonton film di layar tancap? Bagikan pengalaman kalian di kolom komentar, ya.

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.