Bagaimana Sulitnya Merekam Film Dokumenter Hewan Liar?

– Menjelaskan seluk-beluk tantangan menjadi kameramen film dokumenter hewan liar.
– Seberapa nyata kehidupan liar yang ditampilkan?

Beberapa film dokumenter hewan, seperti Night on Earth misalnya, kerap menyajikan kehidupan nyata hewan-hewan liar secara fantastis. Singa yang berburu di savana Afrika, biota-biota laut yang menari di bawah temaram Bulan purnama, sampai gajah yang bermigrasi. Semua adegan terlihat enggak dibuat-buat, Maklum, enggak ada kru film yang bisa berbahasa hewan dan mengarahkan mereka.

Mungkin, banyak penonton menganggap kalau mengambil gambar kehidupan hewan adalah sebuah aktivitas yang agak gabut. Barangkali kameramen tinggal menaruh kamera di dekat populasi rusa, menunggu di dalam mobil safari, membiarkan kamera merekam kehidupan mereka dari pagi sampai malam secara alamiah. Enggak perlu ada yang namanya penulis skenario atau make-up artist karena hewan enggak butuh itu semua.

Nyatanya, semua pernyataan di atas merupakan asumsi yang salah besar. Mengambil gambar hewan-hewan liar adalah sebuah proyek yang membutuhkan passion, ketekunan, dan keberanian. Kalau kalian menginginkan hidup sempurna di mana kalian bisa bertemu keluarga setiap hari, hangout di kafe sama teman, dan menonton konten OTT sambil minum cokelat, menjadi kru film dokumenter hewan bukanlah pilihan karier yang baik.

Hewan Enggak Perlu Diatur, karena Mereka Enggak Bisa Diatur

Via istimewa

Pernahkah kalian menonton serial dokumenter seperti Dirty Money, misalnya? Dokumenter ini berkisah tentang kisah-kisah korupsi dan permainan uang kotor di seluruh dunia. Banyak narasumber buat diwawancara, tetapi, semudah itu mengarahkan mereka untuk duduk, berbincang tentang pengalaman di perusahaan korup, dan meminta kesimpulan dari mereka.

Bagaimana dengan hewan? Tentu enggak ada satu pun orang yang bisa mengatur hewan liar. Enggak ada kursus Parseltongue yang mengizinkan para kru berbicara dengan hewan melata, dan enggak ada singa filosofis seperti Aslan. Mentok-mentok, mereka cuma bisa membawa pawang hewan atau jagawana.

Via istimewa

Beberapa hewan memang merupakan mamalia dan bertulang belakang,seperti manusia. Mereka juga memiliki otak. Namun, ini kunci yang membedakan mereka: manusia bisa berimajinasi. Judith Horstman dalam buku berjudul The Scientific American Book of Love, Sex, and the Brain (2011), mencatat bahwa manusia mampu melakukan konstruksi naratif terhadap berbagai macam kejadian acak, sehingga kita bisa berusaha untuk menyimpulkan berbagai hal yang terjadi di dekat kita. Manusia juga bisa berimajinasi tentang pikiran dan perasaan, termasuk soal cinta.

Jadi, itulah alasan kenapa merekam hewan dalam dokumenter jauh lebih sulit daripada manusia. Hewan tidak bisa diajak bekerja sama karena mereka tak bisa mengonstruksi fakta dan berimajinasi.

Merekam Film Dokumenter Menunggu Momen yang Tepat

Via istimewa

Our Planet adalah salah satu serial dokumenter yang menampilkan berbagai tingkah laku hewan di alam liar. Diproduksi oleh Silverbacks Film di Inggris, Our Planet terdiri atas delapan episode. Setiap episodenya berdurasi sekitar 50 menit. Untuk menonton seluruh episode Our Planet, kalian bisa melakukannya hanya dalam waktu satu hari atau dua hari saja.

Apa yang kalian lihat di Our Planet adalah sesuatu yang begitu alamiah, tanpa efek-efek CGI, menampilkan kehidupan hewan apa adanya. Namun, pembuatan film ini membutuhkan waktu empat tahun lamanya, menghabiskan 400.000 jam waktu rekam di jaringan rekaman kamera, dan berlatar di 65 negara. Hal tersebut disebutkan dalam pembuka dokumenter behind the scene serial Our Planet.

Pada dokumenter di balik layar tersebut, diperlihatkan betapa susahnya mengambil adegan-adegan yang cuma berlangsung sebentar di layar kaca. Seperti pada saat di Rusia Utara, misalnya. Di wilayah tersebut, para kru akan mengambil gambar beberapa hewan liar yang cukup buas, seperti harimau siberia dan beruang kutub.

Para kru tinggal di sana selama dua musim dingin dan harus membangun tempat-tempat tinggal sementara berupa bilik berbentuk balok. Jangan bayangin bilik-bilik ini seperti gua Eskimo yang lapang. Bilik ini cuma cukup buat tidur dan penuh sama barang-barang. Setiap bilik hanya seukuran kamar di hotel kapsul, dan tentu saja fasilitasnya betul-betul seadanya.

Kieran O’Donovan, salah satu kru, membangun jaringan kamera di sekitar wilayah yang sering dilewati oleh harimau Siberia, berdasarkan informasi dari penduduk setempat. “Ini adalah hal yang paling enggak menyenangkan”, begitu ungkapnya sembari menempatkan kamera di batang-batang dan dahan pohon. Kamera harus dalam kondisi stabil, dan pergerakan sedikit saja bakalan memicu kamera ini untuk mengambil gambar. Itulah alasan kenapa O’Donovan terus menerus memeriksa jaringan tersebut secara rutin untuk melihat apakah dia sudah berhasil mengambil gambar harimau.

Cara yang ribet ini wajib mereka lakukan. Mereka enggak bisa membangun bilik di dekat sarang, dan para kameramen juga enggak bisa mengambil gambar saat harimau lewat. Harimau bakal terganggu sama manusia dan akibatnya, mereka bisa menyerang para kru.

Di hari ke-15, O’Donovan mengecek apakah kamera sudah berhasil mengambil gambar harimau Siberia. Saat mengecek hasilnya, hanya ada satu kata yang keluar dari mulutnya, “Sial”. Belum ada satu gambar harimau pun yang berhasil ditangkap.

Para kru baru bisa mendapatkan gambar-gambar unik di hari ke-75. Namun, bukan harimau Siberia, melainkan kucing hutan, dan beberapa hewan yang menjadi makanan harimau. Para kru depresi, mereka menceritakan dengan getir bagaimana sulitnya hidup di bilik. Buang air kecil di ember, dan enggak bisa seenaknya keluar dari bilik untuk sekadar buang air karena harimau bisa datang sewaktu-waktu saat malam hari.

Kieran menangis saat mendapati bahwa kameranya berhasil menangkap harimau, yang lewat hanya selama beberapa menit! Penonton tentu enggak ada yang menyangka bahwa dibutuhkan penantian lama untuk gambar hewan yang hanya lewat sekilas saja.

Via istimewa

Ada cerita lain lagi dari tim di Arktik Kanada. Mereka menerima informasi bahwa di beberapa titik sepanjang pantai, hanya beberapa minggu dalam setahun, beruang kutub akan keluar dan mempelajari beberapa hal. Misalnya, karena daratan sedang terlalu panas, mereka belajar buat menangkap ikan di sungai, sebuah hal yang sebetulnya enggak alamiah buat mereka.

Namun masalahnya, enggak semua sungai dangkal dan bisa dijadikan tempat buaya buat menangkap ikan. Sungai dangkal tersebut berada 100 kilometer ke arah Utara dan cuma bisa diakses oleh kapal apung yang kecil. Jadi, enggak semua kru bisa pergi ke sana.

Via istimewa

Selain kameramen dan peneliti, dalam kru ini juga terdapat penyelam yang bertugas buat memasang kamera di dalam sungai. Pemasangan jaringan kamera harus stabil, enggak boleh miring. Proyek ini lagi-lagi berjalan enggak sesuai rencana. Pasalnya, di hari kelima, cuaca betul-betul buruk. “Cuaca mengatur apa yang bisa kita lakukan”, ujar Alain, seorang pemandu di sana.

Di Polinesia Prancis, hewan “buruan” para kru, yakni hiu, lebih mudah buat muncul. Namun, tantangannya beda lagi. Para kameramen harus menggunakan baju rantai besi untuk mengambil gambar sekelompok hiu di bawah laut. Tanpa baju itu, mereka bisa digigit oleh hiu.

Tugas mereka pada saat itu adalah mengambil gambar sekelompok hiu dalam jumlah besar yang lagi makan. Lebih dari sekadar menegangkan, proses ini tentu sangat berisiko. Mereka enggak boleh berdarah, enggak boleh mengganggu para hiu, dan tentu saja harus memastikan bahwa baju besi itu benar-benar melindungi mereka.

Cerita yang dirangkum oleh Wocomo Wildlife kurang lebih sama. Secara spesifik, dokumenter ini bercerita tentang betapa sulitnya mengambil gambar hewan-hewan di Brazil. Negara di Amerika Selatan ini terkenal sama hewan-hewan liar yang eksotis dan tentu saja buas.

Pihak kru harus menyeberangi sungai-sungai yang dikelilingi oleh dahan pohon rendah serta semak-semak. Kerap kali semak-semak dan dahan menghalangi mereka, membuat mereka harus selalu sigap setiap waktu serta mempersiapkan golok buat membabati semak-semak itu, supaya perahu bisa lewat.

Saat mengambil gambar ular di dalam sungai, para kameramen harus masuk ke dalamnya, berada di jarak yang enggak terlalu jauh, tetapi enggak boleh mengganggu ular! Tentu ini bukan hal yang mudah, apalagi, sungai tersebut kumuh dan ular di dalamnya berukuran besar.

Hewan lain yang menunggu mereka di sana adalah jaguar. Pada saat mereka menaiki perahu, jaguar seolah menunggu di tepian, dan mereka harus berhati-hati supaya enggak mengganggu jaguar dan membuat mereka jadi target lezat. Ketika kameramen harus menangkap gambar jaguar saat berburu, mereka melakukannya dari seberang sungai, dengan kamera yang mampu menangkap gambar dari jarak jauh. Mereka harus berhati-hati, karena jaguar, yang notabene memiliki kecepatan lari 80 km/jam, bisa dengan cepat menangkap mereka.

Tantangan enggak cuma ditemui saat harus mengambil gambar hewan-hewan buas. Dalam Hostile Planet National Geographic misalnya, pengalaman unik sekaligus menantang ditemui sama para kru ketika harus mengambil gambar burung kolibri di Ecuadorian Andes. Burung ini kecil, enggak menggigit, dan enggak berbahaya, tetapi pergerakannya cepet banget.

Butuh empat minggu di lokasi, dua belas jam per hari, dan frame per second tinggi supaya bisa menangkap sekuens pergerakan burung kolibri. Kamera yang digunakan adalah kamera Phantom, sebuah kamera yang bisa menangkap gambar secepat gerakan kolibri. Mereka menggunakan kamera kayak gini supaya nantinya, gambar burung kolibri bisa diperlambat dan penonton bisa mengamati proses terbangnya dengan jelas.

Kamera enggak hanya diletakkan di lokasi aja. Setelah melakukan pengaturan lokasi yang benar-benar bikin kolibri nyaman, mereka juga harus bersiap siap menggoyangkan kamera. Hal tersebut dilakukan supaya pergerakan burung kolibri terlihat natural. Hasilnya, tentu saja enggak sampai satu jam tayangan.

Siap Mengabaikan Hati Nurani

Via istimewa

Mengingat bahwa mereka memfilmkan perilaku hewan secara alamiah, para kru film dokumenter hewan ini tentu sering melihat hewan-hewan yang dimangsa oleh predator, atau mati karena kondisi alam.

Pernahkah kalian merasa gemas saat melihat ibu rusa dimangsa oleh singa? Hyena yang secara sadis mengoyak-ngoyak daging mangsanya? Atau, hewan yang enggak sanggup bertahan hidup di alam liar? Sebagai penonton, kalian pasti ingin menonton hewan-hewan yang sekarat itu.

Namun, hal tersebut enggak (atau enggak bisa) dilakukan oleh para kru. David Attenborough, sejarawan alam dan penyiar BBC mengatakan bahwa intervensi para kru sangatlah jarang. Dilansir The Conversation, hal tersebut tentu saja terjadi, karena tujuan pembuatan film dokumenter hewan adalah menangkap momen kehidupan hewan-hewan liar sealamiah mungkin.

Ketika hewan-hewan tersebut mati karena proses alamiah (dibunuh oleh hewan lain, atau karena seleksi alam), para kru enggak diperkenankan membantu karena dengan cara itulah alam menyeimbangkan kehidupan. Namun, dalam kondisi tertentu, kru pada akhirnya membantu hewan untuk keluar dari jerat kematian. Kasus tersebut terjadi ketika kru Dynasties in Antarctica menyelamatkan penguin dari selokan saat badai.

Namun, hal yang sama enggak terjadi saat kru Our Planet di Rusia menemukan fakta bahwa ratusan singa laut sengaja lompat dari tebing dan mati dengan cara mengenaskan. Para kru hanya bisa menangis melihat singa-singa laut itu mati perlahan setelah jatuh dari tebing. Usut punya usut, singa laut berusaha buat menggapai sumber makanan, dan sumber makanan itu hanya ada di laut pada bagian bawah tebing.

Para kru Dynasties in Antarctica dapat menyelamatkan penguin itu karena proses penyelamatan enggak membahayakan nyawa mereka dan enggak mengganggu dinamika kehidupan di alam liar. Itulah alasan kenapa dalam konteks hewan yang dibunuh oleh predator atau hewan yang mati dalam jumlah besar, enggak diperbolehkan adanya intervensi dari kru.

Apakah yang Kalian Lihat Benar-benar Alamiah?

Terlepas dari fakta mengenai betapa sulitnya mengambil gambar-gambar hewan, beberapa pertanyaan mulai bermunculan: apakah yang kalian lihat benar-benar nyata? Apakah enggak ada intervensi dari produser dan kru untuk membuat dokumenter hewan menjadi lebih menarik untuk ditonton? Yap, Intervensi itu tetap ada.

Produser dokumenter The Hunt, Huw Cordey, yang khusus bercerita tentang para predator di alam liar, mengiyakan bahwa The Hunt membuat framing tertentu. The Hunt memang menyiarkan cara hewan-hewan buas berburu, tetapi mereka enggak memakai semua gambar. Mereka menghilangkan adegan-adegan yang bakalan bikin penonton enggak berempati terhadap para hewan buas, seperti hewan yang memangsa bayi rusa. Padahal, para predator memang cenderung lebih suka memangsa bayi hewan, karena lebih mudah untuk ditangkap.

“Kita cuma pengin penonton buat berempati sama predator, dan menurutku mereka enggak bakal melakukan hal itu kalau melihatnya memangsa “Bambi” (rusa) kecil yang imut,” ujar Cordey.

Via istimewa

Intervensi lain yang melanggar kode etik penyiaran juga pernah dilakukan, bahkan oleh channel sekelas BBC. Pada 2011, terdapat skandal yang membuat BBC terpaksa harus mengakui bahwa beruang kutub dan anak-anaknya di Frozen Planet difilmkan di kebun binatang Belanda, bukannya di Artik.

Chris Palmer, penulis buku Shooting in the WIld, menyebutkan bahwa ada beberapa umpan yang dipakai buat menjebak subjek di alam bebas, menggunakan bangkai buat menarik predator, bahkan merekam gambar close-up di habitat buatan seperti pusat penangkaran hewan.

Dilansir Independent, seorang kameramen (yang enggak disebutkan namanya) berkata, “setelah dua hari dan kamu hanya punya satu hari tersisa (buat merekam film), dan bujet syuting semakin menipis, kamu bakalan stress berat.”

Via istimewa

Masih di tahun yang sama, Human Planet terpaksa mengakui bahwa adegan unta yang dibunuh oleh serigala enggak memakai serigala liar di lokasi. Mereka membawa serigala semi-domestik ke sana, karena mereka sama sekali enggak menemukan serigala liar.

Skandal-skandal itu membuat banyak orang jadi enggak yakin kalau pengambilan gambar dokumenter hewan itu sulit, padahal, tantangannya banyak banget. Meskipun beberapa dokumenter melakukan pengambilan gambar palsu, tetapi dilihat dari latar belakang ceritanya, hal-hal itu mereka lakukan karena sulit banget buat merekam gambar hewan liar betulan.

***

Dibutuhkan beberapa hal untuk menjadi kru dokumenter hewan. Pertama, pengetahuan atau kemampuan yang tinggi di bidang tersebut. Kedua, waktu. Ketiga, kerelaan buat mendedikasikan hidup kalian untuk proyek-proyek di alam liar. Keempat, ketangkasan dan inisiatif tinggi. Dan yang kelima, keberanian.

Kalau kalian punya cita-cita buat menjadi kru dokumenter, tentunya kalian harus bertanya kepada diri kalian: apakah itu benar-benar passion-mu? Karena, tanpa passion, pekerjaan tersebut seolah seperti ‘membunuh kalian’ secara perlahan, mengingat hewan-hewan enggak bisa ditebak dan diajak bekerja sama.

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.