(REVIEW) Scary Stories to Tell in the Dark (2019)

Scary Stories to Tell in the Dark
Genre
  • horor
Actors
  • Austin Abrams
  • Austin Zajur
  • Gabriel Rush
  • Kathleen Pollard
  • Michael Garza
  • Zoe Margaret Colletti
Director
  • Andre Ovredal
Release Date
  • 07 August 2019
Rating
3.5 / 5

*(SPOILER ALERT) Artikel ini mengandung sedikit bocoran film yang semoga saja enggak mengganggu buat kalian, ya.

Guillermo del Toro kembali pamerkan karya horornya lewat film Scary Stories to Tell in the Dark. Meski bukan sebagai sutradara, cerita yang dibuat del Toro ini tetap membangunkan monster-monster rekaannya. Digarap oleh André Øvredal, film horor ini siap sajikan kengerian mulai 7 Agustus 2019.

Berawal dari sekumpulan anak-anak yang bermain-main dengan buku misteri dari sebuah rumah tua. Buku yang berisi kisah seram dari Sarah Bellows ini ditulis dengan darah anak-anak yang “menghilang”.

Celakanya, buku tersebut malah membaca nasib anak-anak tersebut dan merenggut nyawa mereka satu per satu. Berhasilkah Stella Nicholls (Zoe Margaret Colletti), Auggie Hilderbrandt (Gabriel Rush), Chuck (Austin Zajur), dan Ramón Morales (Michael Garza) menghentikan misteri tersebut?

 

Ceritanya Enggak Seseram Judulnya

Rasanya, film horor kini makin banyak melibatkan anak-anak, seperti Annabelle: Comes Home (2019), It (2017), atau Kuntilanak 2 (2019). Untungnya, film Scary Stories to Tell in the Dark memiliki rating 17 tahun ke atas, meski menampilkan petualangan horor anak-anak.

Entah karena pengaruh del Toro atau memang Øvredal jago bikin film horor, nuansa seramnya benar-benar ditempatkan pada posisinya. Padahal, penuh dengan formula klise film horor.

Film garapan sutradara The Autopsy of Jane Doe (2016) ini kadang bikin tutup mata karena atmosfer horornya, bikin jijik karena gore-nya, dan bikin geleng-geleng kepala karena kelakuan anak-anaknya.  

Film yang berdasarkan novel karya Alvin Schwartz ini bukan horor yang murahan. Terbukti, dari desain produksinya yang detail dan terasa “hati-hati”, meski formula jump scare-nya terasa standar. Bisa dirasakan ketika para makhluk yang ingin memangsa dan perilaku sang korban.

Untungnya, del Toro dan Øvredal bisa menutupinya dengan “rasa” horor yang intens, sehingga bikin penonton terus fokus pada film Scary Stories to Tell in the Dark. Walaupun, cerita film ini enggak lebih seram dari judulnya.

Karakter Dibangun Seiring Berjalannya Cerita

Salah satu kelebihan film Scary Stories to Tell in the Dark terletak pada karakter yang dibangun. Kalau biasanya film horor hanya tentang asal-usul si hantu, film ini justru tentang semua karakter utama.

Hebatnya, bangkitnya para karakter bisa kalian lihat dari cara del Toro menuliskannya, dan Øvredal yang mengubah cerita anak-anak jadi kengerian. Namun, buat kalian yang mengharapkan adanya hantu atau iblis kayak Valak, bakal ngerasa makhluk-makhluk di film ini hanya lelucon.

Premis soal anak-anak yang kepo masuk ke rumah tua dan akhirnya mereka harus menanggung resiko kemarahan sang pemilik, memang klise, tapi nyatanya masih diminati.

Karakter-karakternya enggak jauh beda dengan film horor lainnya. Seperti Zoe Margaret Colletti sebagai Stella yang kepo dan main ambil barang tanpa izin, Austin Zajur sebagai Chuck yang penakut, atau Gabriel Rush sebagai Auggie yang enggak percaya hantu. Oh ya, Javier Botet juga kembali hadir sebagai makhluk seram.

Penonton akan diberitahu soal backstory atau nasib karakter seiring berjalannya cerita lewat buku harian Sarah Bellows. Konsep ini lebih menarik, karena semua karakter punya porsi yang sesuai.

Atmosfer Horor yang Kuat

Film Scary Stories to Tell in the Dark dibuka dan diakhiri dengan soundtrack yang ear catching. Lagu “Season of the Witch” yang dinyanyikan Lana Del Rey, benar-benar pas melengkapi cerita. Jika dibandingkan dengan hantunya, scoring-nya lebih ngena dan bikin merinding.

Begitu juga dengan visual yang ditampilkan, di awal dan akhir cerita menampilkan mood bahagia. Sedangkan di pertengahan, udah pasti dipenuhi adegan yang bikin menduga-duga di mana hantunya bakal muncul.

Visual kota kecil dengan rumah hantu, rumah sakit jiwa, ladang jagung, orang-orangan sawah, dan kisah SMA, pas tergambarkan sesuai era 1960-an. Begitu juga dengan penggambaran dongeng anak-anak yang bikin film horor ini memang bukan untuk anak-anak.

Secara keseluruhan, film ini punya cerita yang bagus untuk dinikmati, tapi enggak menakutkan untuk ditonton. Meski enggak seram, lagi-lagi, dianjurkan enggak membawa anak-anak di bawah usia 17 tahun, ya. Soalnya, dengan penggambaran para monster disertai scoring yang menggelegar, bisa jadi bikin trauma.

***

Film Scary Stories to Tell in the Dark udah tayang mulai 7 Agustus 2019 di bioskop. Kalian bisa jadikan film ini alteratif nonton di akhir pekan bersama gebetan. Kalau udah nonton, tulis review kalian tentang film yang bakal ada lanjutannya ini di kolom review KINCIR yang ada di awal artikel ini, ya.

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.