Bagaimana Kejayaan Film Panas Indonesia di Masa Lalu?

– Mengenang film dewasa Indonesia jadi karya menggelegar zaman dulu.
– Menilik pula kontroversi yang dialami, termasuk nasib para artis film panas yang menjadi bom seks masa lalu.

Kontroversi tuntutan RCTI-iNews terhadap platform OTT otomatis membuat banyak orang teringat sama sistem sensor Indonesia. Dibandingkan dengan industri Hollywood, Bollywood, bahkan industri negara ASEAN lain kayak Thailand, sistem sensor tayangan televisi dan film di Indonesia tergolong ketat. Aturan-aturan sensor film dari LSF (Lembaga Sensor Film), berkaitan dengan narkotika, pornografi, SARA, harkat dan martabat manusia, serta perbuatan melanggar hukum.

Jadi, adegan seks intens dan bagian-bagian intim enggak akan terlihat di film-film Indonesia. Namun, bukan berarti Indonesia enggak pernah menayangkan film-film dengan adegan dewasa, lho. Pada masanya, pernah ada banyak film dengan ketelanjangan dan adegan vulgar yang kalau sekarang ini ditayangkan, bakal disensor habis-habisan sama LSF.

Lalu, bagaimana kejayaan film dewasa Indonesia di masa lalu? Bagaimana soal kontroversinya, dan kabar para aktornya saat ini? Yuk, simak ulasan KINCIR di bawah ini.

Film Dewasa di Indonesia Marak Akibat Pembukaan Keran Impor

Film panas Indonesia berjaya banget pada dekade 1970-an sampai dengan 1990-an alias pada masa orde baru. Bagi anak muda, terutama mereka yang merupakan kaum milenial, bicara soal orde baru selalu memunculkan stereotip tentang pengekangan dan hal-hal kaku lainnya. Namun, kenapa, kok, pada era itu, film dewasa justru sangat gencar diproduksi? Memangnya, enggak takut bakal “disemprit” sama pemerintah?

Via Istimewa

Film dewasa Indonesia pertama berjudul Bernafas dalam Lumpur (1970) dibintangi oleh Suzanna dan disutradarai oleh Rahmat Kartolo. Dia berkisah tentang Supinah, seorang wanita desa yang mencari suaminya ke Jakarta.

Sesampainya di Jakarta, dia diperkosa, ditipu, dan pada akhirnya dijerumuskan ke dalam prostitusi. Film ini memperlihatkan adegan-adegan perkosaan dan segala bentuk seksualitas dengan cara yang cukup vulgar.

Sebelumnya, pada 1966, Menteri Penerangan (Burhanuddin M. Diah) membuka keran impor film-film dari luar negeri. Sebelumnya, pada era pemerintahan Soekarno, negara kita dilarang mengimpor film dan juga terdapat aturan pemboikotan yang bikin industri perfilman lesu banget.

Via Istimewa

Nah, impor bertujuan buat meningkatkan perekonomian Indonesia. Masalahnya, film-film Hollywood banyak yang bermuatan seks dan ketelanjangan. Ini membuat pemerintah harus melonggarkan sensor film dan pada akhirnya, membuat penggunaan bumbu seks jadi marak pada dekade 1970-an.

Kesuksesan Bernafas dalam Lumpur kemudian diikuti sama berbagai film-film yang enggak kalah panas. Tiga tahun setelah kesuksesan film tersebut, dirilis film berjudul Bumi Makin Panas (1973) karya Ali Shahab.

Jauh dari kisah tentang pemanasan global, Bumi Makin Panas lagi-lagi pakai formula yang kurang lebih sama dengan film Bernafas dalam Lumpur, yakni seorang cewek dengan masa lalu pahit, menjadi pelacur, dan harus berhadapan dengan hidup yang merana. Maria, cewek yang menjadi narapidana karena membunuh ayahnya, memutuskan untuk masuk ke dunia hitam, menjajal profesi sebagai PSK setelah keluar dari penjara.

Via Istimewa

Makin lama, sineas Indonesia semakin “kreatif” dalam membuat karya dan bereksplorasi dengan naluri terendah manusia. Enggak sekadar baju-baju seksi dan ketelanjangan, adegan berdarah-darah bahkan tubuh manusia yang terpotong-potong pun dimasukkan.

Lahirlah film berjudul Primitif, horor slasher pertama Indonesia pada 1978. Film ini berkisah tentang para mahasiswa arkeologi dan pemandunya yang melakukan penelitian, masuk ke dalam hutan belantara, dan bertemu dengan suku kanibal.

Via Istimewa

Poster film Primitif jauh dari kesan estetis. Bahkan, di dalam poster, pembuat film sengaja menyebutkan berapa lama mereka melakukan syuting. Namun, film yang dibintangi sama Barry Prima ini menuai kesuksesan yang cukup besar. Buktinya, juga dirilis di luar negeri, seperti di Prancis dengan judul Cannibales.

Film Primitif bisa dibilang cukup bizarre, enggak bisa dinikmati oleh semua orang, bahkan mengeksploitasi hal-hal yang bikin manusia enggak nyaman. Itulah alasan kenapa film ini jadi masuk ke dalam golongan cult movies, alias film dengan kelompok penggemar tertentu yang biasanya punya tema ganjil atau menyimpang.

Separah Apa Eksploitasi Seksualitas dan Ketelanjangan Masa Itu?

Saat ini, ketelanjangan dan adegan seks intens enggak bakal kalian temui di bioskop maupun di televisi. Pemerintah semakin ketat melakukan sensor dan adegan-adegan dewasa bisa dengan mudahnya diprotes oleh banyak orang.

Pada awal Orde Baru hingga jelang runtuhnya zaman tersebut, eksploitasi ketelanjangan (terutama perempuan) dan juga adegan seks enggak tanggung-tanggung. Bahkan, eksploitasinya jauh lebih parah daripada film-film horor 'panas' Indonesia tahun 2010—2017.

Pada tahun 1983, Eva Arnaz membintangi film berjudul Midah Perawan Buronan dan Bumi Bulat Bundar. Jangan ditanya adegan seks di dalam kedua film tersebut. Ada adegan seks di dalam sungai, ada pula adegan semacam orgy yang cukup bikin 'panas dingin' banyak orang.

Via Istimewa

Eva Arnaz memang salah satu bom seks pada masa itu. Bahkan, tiap ngomongin film dewasa Indonesia, pasti enggak bisa, deh, lepas dari nama Eva Arnaz.

Kemudian, ada film berjudul Pembalasan Ratu Pantai Selatan (1988) berkisah tentang Wanda, yang memanipulasi jasad Wanda sehingga dia hidup kembali. Lelaki mana pun yang bersetubuh sama Wanda bakalan mati karena di dalam kemaluan Wanda, terdapat keris pusaka.

Via Istimewa

Yurike Prastika, pemeran Wanda, menggunakan kemben transparan yang memperlihatkan bagian-bagian intimnya dengan cukup jelas. Bahkan ada pula adegan di mana dia enggak pakai sehelai benang pun pada tubuh bagian atas.

Film ini di-remake dengan menggunakan beberapa aktor luar negeri dan dirilis kembali dengan judul Lady Terminator. Hasilnya, meski dicekal di Indonesia, film ini digemari sebagai film cult di luar negeri, seperti Amerika Serikat, Perancis, Italia, Jepang, dan Thailand.

Lalu, ada film Cewek-Cewek Pelaut (1998). Film ini enggak menggunakan tema mistis –bahkan terkesan mengangkat isu girl power tetapi sangat kental akan eksploitasi tubuh wanita. Ketelanjangan diperlihatkan secara eksplisit lewat adegan mandi, bertengkar hingga baju terbuka, sampai adegan seks.

Kontroversi Film Panas dan Sikap Pemerintah

Via Istimewa

Keberadaan film-film dewasa di Indonesia bukannya tanpa protes dari banyak orang, lho. Nyatanya, ada beberapa pihak yang merasa sangat keberatan dengan hadirnya film-film hot pada masa itu, seperti misalnya berbagai seniman dalam Festival Film Indonesia 1977. Mereka menganggap bahwa para sineas hanya mempertontonkan naluri terendah manusia aja.

Imam Tantowi, dalam artikel Ekky Imanjaya yang berjudul The Other Side of Indonesia: New Order’s Indonesian Exploitation Cinema as Cult Films menyebutkan bahwa pada era Orde Baru, film adalah cara para sineas buat menyampaikan keresahan mereka atas pemerintahan. Namun, mereka jelas enggak bisa frontal memberikan kritik di dalam film.

Pada akhirnya, mereka pun melampiaskannya dengan membuat film-film yang enggak nyaman, mengeksplorasi rasa jijik, dan kemarahan. Kejahatan di dalam film bisa saja merupakan representasi dari pemerintah, sehingga dia terlihat menakutkan, penuh teror, dan mengintimidasi.

Via Istimewa

Mungkin saja paksaan-paksaan terhadap para perempuan merupakan simbol dari pandangan tentang pemerintahan pada masa itu. Namun, yang jelas, film-film dengan bumbu seks dan kekerasan di masa itu mampu mengisi penuh kursi bioskop. Jadi, alasan paling jelasnya adalah masalah ekonomi.

Pemerintah pun merasa dilema dengan hal semacam ini, karena mau enggak mau, harus diakui bahwa adegan-adegan semacam itu meningkatkan geliat perekonomian. Lagipula, ketimbang melakukan tindakan protes atas pemerintah dan juga memberikan kritik politik di dalam film, bakal lebih baik kalau anak muda menikmati hal-hal lain.

Kondisi ini bikin film pada dekade 1980-an semakin enggak berseni, hanya mengeksploitasi tubuh perempuan, dan bikin para aktris makin kompetitif. Apalagi, sensor film juga semakin dilonggarkan sama Badan Sensor Film (BSF).

Mengenal Para Bom Seks dalam Film Panas Indonesia

Bicara soal film panas Indonesia enggak lengkap rasanya kalau enggak ngomongin soal bom seks. Bom seks sendiri merupakan istilah buat para artis cewek yang sering beradegan dewasa di dalam film, sehingga kesan sensual terlihat jelas di diri mereka.

Ngomongin bom seks, biasanya anak zaman now hanya berpikiran soal Eva Arnaz aja. Dekade demi dekade sudah berlalu tetapi sosok Eva Arnaz masih dianggap sebagai bom seks. Hal itu terjadi lantaran dia sering membintangi film-film hot, beradegan semi telanjang, dan berpakaian seksi. Dia lekat dengan bulu ketiak lebat –sebuah tren kecantikan yang banyak diaplikasikan oleh wanita pada era 1970—1980-an.

Via Istimewa

Padahal, bom seks pertama bukan Eva Arnaz, lho. Pada tahun 1954, jauh sebelum Orde Baru dan maraknya film-film dewasa Indonesia, sudah ada aktris yang menjadi bom seks melalui film berjudul Harimau Tjampa (1954). Saking lamanya film itu, sekarang berkasnya sendiri udah enggak utuh dan sulit untuk dipulihkan.

Pada tahun 1970-an, muncul bom seks baru. Mereka adalah Yati Octavia (Gadis Panggilan, Intan Perawan Kubu), Debby Chintya Dewi (Krakatau, Tiada Djalan Lain), Suzanna (Bernapas dalam Lumpur, Bumi Makin Panas), dan Doris Callebaute (Inem Pelayan Seksi, Akibat Pergaulan Bebas).

Via Istimewa

Nama-nama seperti Eva Arnaz, Meriam Bellina, Yurike Prastika, dan Enny Beatrice baru muncul pada dekade 1980-an. Pada masa ini, film-film panas memang semakin membanjiri bioskop dan lebih frontal menunjukkan ketelanjangan dan adegan seks. Seringkali, ceritanya "enggak ada" dan cuma menonjolkan sensasi.

Pada dekade 1980-an akhir sampai dengan 1990-an, nama-nama seperti Febby Lawrence, Sally Marcelina, Lela Anggraini, dan Inneke Koesherawati muncul dan menjadi simbol seks yang lebih modern.

Bagaimana Kabar Para Simbol Seks Film Indonesia Sekarang?

Para bom seks ini sebetulnya bukan cuma membintangi film-film panas aja. Namun, karena penampilan mereka yang dinilai seksi dan berani, julukan itu akhirnya disematkan kepada mereka.

Doris Callebaute, di sebuah wawancara pada 2019 menyebutkan bahwa bayaran film pada masa itu sangat besar sampai-sampai dia bisa membeli rumah. Terlebih dengan peran-peran yang berani, Doris menjadi tenar dan menjadi aktris yang diperhitungkan. Sekarang, Doris sudah berhijab dan tentu saja enggak lagi bermain di film-film dewasa semacam itu.

Via Istimewa

Hal serupa juga terjadi sama Eva Arnaz, yang kini juga mantap berhijab, bahkan menjual berbagai harta benda yang didapatkan saat masih berkarier sebagai aktris. Kisah 'bintang panas taubat' ini memang cukup banyak terjadi, bahkan, bisa dibilang hampir 70 persen bom seks di era Orde Baru betul-betul meninggalkan dunia lama dan kemudian memutuskan untuk mengenakan pakaian yang sesuai dengan syariat agama mereka.

Para bom seks ini merupakan bukti bahwa pada era film panas Indonesia, peran cewek itu penting banget. Meminjam pernyataan Doris Callebaute, zaman dulu enggak banyak “cewek cantik kayak sekarang'.

Media sosial memang belum ada, sehingga pilihan cewek cantik pun terbatas hanya di ibukota dan di sekitar lingkungan sineas pada masa itu aja. Namun, cewek memang cenderung menjadi daya tarik secara sensual aja.

***

Penampilan bintang-bintang panas pada masa itu, jika ditayangkan lagi di masa sekarang, seolah seperti sebuah 'aib' dan bakalan menimbulkan kontroversi besar. Namun, biar bagaimana pun, sejarah itu ada, dan film-film panas merepresentasikan budaya serta pemikiran orang-orang saat itu yang begitu getol bereksplorasi dengan naluri terendah manusia. Ini mengingatkan kita bahwa sebenarnya manusia masih menyimpan nafsu-nafsu primitif semacam itu.

Nah, bagaimana pendapat kalian setelah mengetahui kejayaan film dewasa Indonesia pada masanya, serta pada artis yang terlibat? Bagikan di kolom komentar, ya.

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.