13 Alasan Kenapa 13 Reasons Why Sebaiknya Berakhir di Season 1

Dalam dunia film, ada “mitos” soal kutukan sekuel yang bikin sebuah film yang awalnya sukses bakal berakhir buruk di sekuelnya. Ternyata, kutukan ini berlaku juga buat serial.

Sudah jadi rahasia umum bahwa serial yang sukses musim pertamanya bisa dipastikan bakal dibuatkan musim lanjutannya. Hal ini juga yang dialami 13 Reasons Why yang baru saja memasuki musim ketiganya pertengahan Agustus 2019.

Sayangnya, entah karena terkena kutukan atau bukan, musim ketiga 13 Reasons Why jauh dari kata memuaskan. Makanya, ada baiknya serial ini diakhiri di musim pertama yang memang masih punya warna tersendiri.

Mau tahu kenapa? KINCIR ungkapkan alasan-alasannya di bawah ini!

 

1. Sejalan dengan Novelnya

Via Istimewa

Kesuksesan serial 13 Reasons Why tentu enggak lepas dari kesuksesan novelnya yang diterbitkan pada 2007. Meski ada beberapa perubahan dan penyesuaian dalam serialnya, bisa dibilang serialnya cukup jujur terhadap novelnya.

Mulai dari nama karakter, urutan nama yang disebutkan dalam kaset, seksualitas Courtney dan Tony, pekerjaan orangtua Hannah, hingga cara bunuh diri Hannah, semuanya adalah perubahan yang kita temukan sepanjang serial ini berjalan. Sisanya, perkembangan karakter dan perjalanan hidup Hannah sampai dia memilih bunuh diri masih terasa sama dan jujur.

2. Latar Belakang Karakter yang Bikin Simpati

Via Istimewa

Dalam 13 Reasons Why, Hannah Baker bukanlah remaja penyendiri. Sebaliknya, dia malah punya banyak teman dan “terkenal” meski dengan reputasi buruk yang dibuat oleh teman-temannya.

Bisa dibilang, Hannah yang ceria berubah menjadi penyendiri karena dirisak oleh teman-temannya di sekolah. Sistem sekolah pun masih menyepelekan kecenderungan bunuh dirinya. Hal inilah yang bikin Hannah Baker mengundang simpati banyak orang, bahkan simpati dari orang-orang yang depresi.

 

3. Mengundang Kontroversi

Via Istimewa

Ada kalanya, kontroversi menjadi unsur pendorong pemasaran. Musim pertama 13 Reasons Why menjadi kontroversi karena disebut-sebut menginspirasi beberapa remaja di Amerika Serikat untuk bunuh diri.

Memang, belum terbukti sejauh mana serial ini memberi dampak pada para remaja yang memilih bunuh diri. Namun, tetap saja musim pertamanya menjadi kontroversi. Kontroversi memang terkesan negatif, tapi hal itu menyisakan kenangan mendalam untuk serialnya yang sekarang semakin memudar karena kisah tambahannya.

 

4. Murni tentang Karakter Hannah

Via Istimewa

Dalam musim pertamanya, kalian bisa fokus menyaksikan bagaimana Hannah Baker akhirnya bunuh diri. Kalian pun merasa simpati pada Hannah dan cuma ke Hannah.

Sayangnya, dalam musim kedua dan ketiga, kalian malah jadi diajak bersimpati ke karakter lain. Hal ini malah bikin 13 Reasons Why jadi seperti serial kenakalan remaja biasa dengan masa lalu kematian Hannah.

5. Sosok “Penjahat” yang Jelas

Via Istimewa

Memang, sih, ada 13 alasan Hannah bunuh diri. Setiap karakter yang disebutkan namanya dalam kaset pun ada yang akhirnya menyalahkan diri sendiri, ada pula yang malah enggak terima.

Meski demikian, dalam musim pertama, jelas banget kalian diajak menjatuhkan segala beban kesalahan kepada Bryce Walker yang memang perisak dari sananya. Memperkosa Hannah adalah alasan terkuat yang bikin Hannah enggak bisa dijangkau lagi dan bunuh diri.

 

6. Masih Ada “Orang Baik”

Via Istimewa

Selain ada “penjahat”, musim pertama 13 Reasons Why juga masih punya “orang baik”, yaitu Clay Jensen. Clay memang awalnya terlihat sebagai orang baik, geek yang dekat dengan Hannah, dan bisa bikin Hannah enggak lagi merasa kesepian.

Sayangnya, musim-musim selanjutnya malah menempatkan Clay sebagai cowok kepo yang fishy. Dia jadi kayak pahlawan kesiangan yang segala tindakannya dilakukan bukan karena simpati, melainkan karena enggak mau jadi pihak yang disalahkan.

 

7. Masih Ngehit

Via Istimewa

Terlepas dari kontroversi yang muncul sejak perilisan musim pertamanya, enggak bisa dimungkiri bahwa 13 Reasons Why menciptakan hype di berbagai kalangan, enggak cuma remaja. Nah, ada baiknya serial ini diselesaikan saat hype-nya masih tinggi supaya jadi serial yang dikenang karena kualitasnya.

Sayangnya, penyakit menular buat serial yang laris sejak perilisan pertamanya adalah dibuatkan sekuel yang sebetulnya enggak perlu. Akhirnya, hype yang tadinya tinggi malah jadi meredup. Musim lanjutannya enggak bisa melampaui kualitas musim pertamanya.

8. Enggak Ditunggangi Banyak Isu

Via Istimewa

Musim pertama 13 Reasons Why murni tentang bagaimana seorang remaja bisa depresi karena perisakan. Musim selanjutnya, kalian bakal dikasih banyak isu, baik tentang gangguan mental lainnya, perundungan yang lebih ekstrem, maupun isu #MeToo yang malah jadi terlihat kacangan.

 

9. Kadarnya Pas, Enggak Dipanjang-panjangin

Via Istimewa

Ngomongin soal konflik, musim pertama punya konflik yang pas, yaitu kematian Hannah dan alasan kenapa dia bunuh diri. Dalam setiap episode, kalian juga diajak menyelami rasa kesepian yang dialami Hannah melalui pengakuan dalam kasetnya.

Sayangnya, keberadaan musim kedua bikin konflik yang ada jadi melebar. Makanya, kalian jadi bisa lihat “hantu” Hannah yang bisa bicara. Ada juga kenyataan bahwa Hannah pernah “kencan” dan jatuh cinta dengan cowok lain selain Clay. Hal itu malah bikin fokus melebar dan merusak citra Hannah sebagai korban perisakan di musim pertama.

 

10. 13 Episode yang Simbolis

Via Istimewa

Musim pertama punya 13 episode berdasarkan 13 alasan Hannah Baker bunuh diri. Hal itu bikin musim pertamanya simbolis banget sekaligus menonjol di antara serial lain.

Sayangnya, setelah serial ini berlanjut ke musim kedua, bahkan sampai musim ketiga kini, enggak ada lagi simbol yang ditampilkan. Akhirnya, kehadiran 13 Reasons Why enggak lagi terasa istimewa.

11. Korban Masih Tetap Korban

Via Istimewa

Menonton musim pertamanya, kalian bakal susah untuk enggak simpati dengan Hannah. Dia memang bukan tipe cewek lemah yang bakal minta belas kasihan orang-orang buat memperhatikan dia. Namun, dari situlah kalian justru bakal belajar mengerti ciri-ciri penderita depresi yang merasa kesepian dan enggak terbantu meski dikelilingi banyak orang dalam hidupnya.

Sayangnya, hal ini cuma ada di musim pertama. Musim kedua malah bikin Hannah terlihat bersalah. Hannah jadi terkesan baperan dan lebay yang bikin munculnya anggapan bahwa semua ini adalah kesalahan sang korban.

 

12. Karakterisasi Natural

Via Istimewa

Musim pertama 13 Reasons Why bisa sukses barangkali karena karakterisasi yang natural ini. Hannah dan teman-temannya bersikap selayaknya remaja, menyebalkan, dan penuh drama. Hannah pun termasuk drama queen yang sayangnya merasa lebih kesepian—pada akhirnya bisa dimengerti melalui kaset diarinya. Kalian mungkin memang bisa melihat karakter lain sebagai “musuh” Hannah, tapi semua itu enggak lebih dari penggambaran apa adanya.

Musim kedua sengaja dibuat untuk membentuk anggapan bahwa mereka yang disebut Hannah bersalah sebetulnya enggak salah-salah banget. Sebaliknya, Hanna jadi drama queen yang bisa disalahkan. Musim ketiga, kalian bahkan dipaksa simpati terhadap Bryce yang malah bikin serial ini semakin enggak jelas mau dibawa ke mana. Mungkin memang seharusnya judul serial ini diganti dengan “Kenakalan Remaja” saja.

 

13. Konflik yang Jelas dan Fokus

Via Istimewa

Jujur saja, 13 Reasons Why enggak bakal terjadi kalau itu bukan tentang Hannah. Buktinya, saat kisahnya melebar ke mana-mana, serial ini malah jadi kehilangan haluan.

Konfliknya terasa bertele-tele, termasuk adanya penambahan karakter (yang sebetulnya enggak perlu). Serial ini harusnya tahu kapan harus berakhir dan itu adalah saat musim pertamanya selesai.

***

Nah, apakah kalian setuju bila 13 Reasons Why seharusnya memang diakhiri saja pada musim pertamanya? Atau, kalian justru senang saat tahu serial ini berlanjut sampai musim ketiga? Bagikan pendapat kalian di kolom komentar, ya!

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.