Film Superhero, Genre Primadona yang Sempat Diremehkan

– Bagaimana perjalanan film superhero dari masa ke masa?
– Bagaimana kesuksesan di ajang penghargaan menjadi keseriusan inovasi di masa mendatang?

Siapa yang enggak pernah melewatkan film Marvel Cinematic Universe (MCU) atau film DC Extended Universe (DCEU) di setiap perilisannya? Sekitar 12 tahun belakangan, film superhero berhasil menarik perhatian sebagian besar penikmat film. Apalagi, Marvel Studios ataupun Warner Bros. kini selalu rutin merilis film superhero di setiap tahunnya.

Karakter superhero sebenarnya enggak hanya berasal dari Marvel dan DC. Namun, superhero dari dua perusahaan komik inilah yang berhasil merajai layar lebar hingga saat ini. Bahkan, orang yang enggak membaca komik pun mungkin enggak asing dengan Superman, Batman, atau Spider-Man karena melihat mereka dari layar lebar dan layar kaca.

via GIPHY

Film superhero kini memang digemari oleh berbagai kalangan, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Namun, sebelum MCU membangkitkan popularitas film superhero, genre ini sempat mengalami pasang-surut. Lalu, bagaimana perjalanan film superhero hingga kini mulai menjadi primadona di industri perfilman Holllywood? Yuk, simak ulasan KINCIR!

Genre Tua yang Telah Ada Sejak Film Hitam-Putih

Film superhero identik dengan cerita yang enggak masuk akal sehingga dibutuhkan efek visual untuk mendukung jalan ceritanya. Jika kalian pikir film superhero baru muncul di era perfilman modern, kalian salah besar, guys. Jauh sebelum adanya film berwarna, film superhero telah memeriahkan layar lebar dan televisi di era perfilman hitam-putih.

Apakah kalian bisa menebak siapa superhero pertama yang kisahnya diangkat ke sebuah film? Superman atau Batman? Jawabannya sama sekali bukan superhero DC ataupun Marvel. Enggak banyak dari kalian mungkin tahu bahwa Judex adalah film superhero pertama yang berasal dari Prancis. Lebih mengejutkan lagi, Judex dirilis pada 1916 yang berarti film superhero pertama di dunia telah berumur 104 tahun!

Via Istimewa

Judex diciptakan oleh dua sineas Prancis, yaitu Louis Feuillade dan Arthur Bernede, serta bukan karakter yang diadaptasi dari komik. Ternyata, alasan Feuillade menciptakan Judex karena dia dikritik selalu membuat film dengan protagonis yang jahat. Dari kritik tersebut, Feuillade memutuskan untuk membuat film dengan protagonis yang heroik.

Walau berasal dari Prancis, Judex ternyata berperan besar dalam perkembangan dunia superhero di Amerika Serikat. Penulis berkebangsaan Amerika Serikat, yaitu Walter B. Gibson, menciptakan superhero The Shadow yang terinspirasi dari Judex. Lalu, Bob Kane dan Bill Finger terinspirasi dari The Shadow dalam menciptakan Batman. Bisa dibilang, Judex merupakan cikal bakal lahirnya salah satu ikon DC Comics.

25 tahun setelah dirilisnya Judex, Hollywood akhirnya membuat film superhero pertama yang diadaptasi dari buku komik (enggak termasuk komik setrip). Menurut kalian, superhero dari komik mana, nih, yang pertama kali diadaptasi ke film? DC atau Marvel? Lagi-lagi, film superhero pertama adaptasi buku komik bukan diambil dari kedua perusahaan komik tersebut. Ternyata, Captain Marvel-lah yang mendapatkan kesempatan pertama untuk tampil di film live action.

Via Istimewa

Eits, jangan bingung, guys, Captain Marvel yang dimaksud bukanlah sang superhero cewek yang memiliki nama lain Carol Danvers. Nah, Captain Marvel yang dimaksud di sini adalah superhero yang kini lebih kalian kenal dengan nama Shazam. Loh, Shazam bukannya bagian dari DC Comics? Jadi, sebelum hak cipta Captain Marvel atau Shazam dipegang oleh DC Comics, karakter ini terlebih dulu dimiliki oleh Fawcett Comics.

Film superhero pertama yang diadaptasi dari buku komik ini diberi judul Adventures of Captain Marvel (1941). Film hitam-putih tersebut dikemas dalam bentuk serial film yang terdiri dari 12 bagian. Bedanya dengan Judex yang merupakan film bisu, Adventures of Captain Marvel telah menampilkan dialog antarkarakter.

Ada alasannya, loh, mengapa Republic Pictures lebih memilih membuat film tentang Captain Marvel daripada superhero lainnya. Awalnya, Republic Pictures berencana menggarap film live action Superman. Namun, National Comics (sekarang dikenal dengan DC Comics) enggak membebaskan Republic Pictures dalam proses kreatifnya.

Sulit untuk membuat cerita seperti yang mereka mau, Republic Pictures akhirnya batal mengambil lisensi Superman. National Comics pun memberikan lisensi tersebut kepada Paramount Pictures yang ingin membuat serial animasi Superman.

Di antara DC dan Marvel, siapakah karakter komiknya yang paling duluan dibuatkan film live action-nya? Jika menjawab DC, kalian benar, guys! Dua tahun setelah Adventures of Captain Marvel dirilis, Columbia Pictures menyusul dengan merilis film live action pertama Batman. Seperti Adventures of Captain Marvel, Batman (1943) dikemas dalam bentuk serial film hitam-putih yang terdiri dari 15 bagian.

Via Istimewa

Film pertama Batman ini ternyata punya dampak yang besar terhadap perkembangan cerita sang superhero. Elemen Batcave yang kini selalu ada di komik dan film ternyata berasal dari film ini. Selain Batcave, penggambaran Alfred ikut berubah karena film ini. Sebelum film Batman, Alfred digambarkan sebagai lelaki gemuk di komik. Setelah diperankan oleh William Austin di film ini, Alfred akhirnya selalu digambarkan sebagai lelaki ramping dengan kumis tipis.

Hanya setahun setelah Batman dirilis, superhero Marvel akhirnya debut juga di layar lebar. Studio yang memproduksi Adventures of Captain Marvel, yaitu Republic Pictures, kembali membuat film superhero yang diadaptasi dari Timely Comics (sekarang dikenal sebagai Marvel Comics). Republic Pictures pun memilih Captain America sebagai karakter Marvel pertama yang dibuatkan film live action.

Via Istimewa

Dibandingkan dengan Adventures of Captain Marvel, Republic Pictures melakukan perubahan cerita yang cukup ekstrem dari komiknya untuk film Captain America (1944). Alih-alih Steve Rogers, Republic Pictures mengubah nama asli Captain America menjadi Grant Gardner. Enggak hanya nama, mereka juga meniadakan berbagai elemen penting di komiknya, seperti Super-Soldier Serum, perisai, dan Bucky.

Superman yang awalnya direncanakan mendapat film superhero pertama malah hadir di layar lebar cukup terlambat. Studio yang memproduksi film Batman, yaitu Columbia Pictures, baru merilis film pertama Superman pada 1948. Sukses dengan film tersebut, Columbia Pictures pun membuat sekuelnya yang diberi judul Atom Man vs. Superman (1950).

Via Istimewa

Memasuki era 1950-an, produksi film superhero mengalami penurunan drastis. Hal ini disebabkan oleh terjadinya keributan di industri buku komik pada era tersebut. Pada 1953, pihak senat Amerika Serikat menduga bahwa buku komik merupakan salah satu penyebab kenakalan remaja di masa itu. Masalah tersebut akhirnya membuat studio film enggan untuk membuat film superhero.

Di sepanjang era 1950-an, hanya ada dua film superhero yang dirilis, yaitu Atom Man vs. Superman dan Superman and the Mole Man (1951). Film Superman yang dirilis pada 1951 merupakan film superhero pertama yang enggak menggunakan format serial film. Setelah Superman and the Mole Man, kisah Superman pun berlanjut ke serial TV yang tayang selama 1952—1958, berjudul Adventures of Superman.

Jatuh Bangun Film Superhero di Era Film Berwarna

Pada era 1960-an, hanya ada satu film superhero yang dirilis, yaitu Batman (1966). Namun, film superhero baru mengalami kebangkitan setelah Superman garapan Richard Donner dirilis pada 1978. Dengan bujet yang cukup besar pada masanya, yaitu 55 juta dolar (sekitar Rp818 miliar), Superman terbukti sukses besar dengan pemasukan 300 juta dolar (sekitar Rp4,5 triliun).

Selain ceritanya, salah satu hal yang mengagumkan dari Superman adalah kualitas efek visualnya yang cukup terdepan pada masanya. Enggak heran bahwa film ini mendapatkan penghargaan “Best Visual Effects” pada Oscar 1979. Kesuksesan Superman pun membuat kisah jagoan ini berkembang hingga film keempatnya.

Via Istimewa

Sayangnya, ketiga sekuel Superman versi Christopher Reeve enggak berhasil mengulang kesuksesan film pertamanya. Pendapatan yang diperoleh di setiap sekuelnya semakin menurun. Superman II (1980) mendapatkan 190 juta dolar, Superman III (1983) mendapatkan 80 juta dolar, dan Superman IV: The Quest for Peace (1987) mendapatkan 36 juta dolar.

Bahkan, proyek spin-off Supergirl (1984) pun gagal total. Akibat kegagalan besar film keempat Superman, Warner Bros. membatalkan proyek Superman V, hingga enggak membuat proyek film superhero ini selama bertahun-tahun.

Gagal “menguras” Superman, Warner Bros. pun beralih ke superhero ikonis DC lainnya, yaitu Batman. Tim Burton diberikan tugas untuk membangkitkan Batman di film yang dirilis pada 1989. Dengan bujet yang lebih rendah dari Superman, yaitu 48 juta dolar (sekitar Rp714 miliar), Batman juga sukses besar dengan pemasukan 411 juta dolar (sekitar Rp6,2 triliun).

Via Istimewa

Selain mendapatkan pendapatan yang cukup besar, Batman juga berhasil mendapatkan penghargaan “Best Art Direction” di Oscar 1990. Namun, nasib yang dialami Superman ternyata terulang kembali ke Batman. Dua film setelahnya, yaitu Batman Returns (1992) dan Batman Forever (1995), mendapatkan pemasukan yang lebih rendah walaupun masih terbilang sukses. Warner Bros. akhirnya kembali merasakan kegagalan ketika Batman & Robin (1997) dirilis.

Dibandingkan DC yang cukup agresif di era 1970-an hingga 1990-an, Marvel terbilang cukup lamban dalam bermain di layar lebar. 42 tahun setelah perilisan film pertama Captain America, film live action kedua Marvel, yaitu Howard the Duck (1986), akhirnya dirilis. Sayangnya, film tersebut gagal total bahkan mendapatkan penghargaan “Worst Picture” di Razzies 1987.

Via istimewa

Film Marvel setelah Howard the Duck, yaitu The Punisher (1989) dan Captain America (1990), juga enggak bernasib lebih baik. Film Marvel akhirnya mulai mendapatkan perhatian dari penonton ketika New Line Cinema merilis Blade (1998).

Sejak kesuksesan Blade, berbagai film Marvel mulai sering menghiasi layar lebar di era 2000-an. Sebut saja seri X-Men, seri Spider-Man, Daredevil (2003), Hulk (2003), seri The Punisher, Elektra (2005), seri Fantastic Four, dan seri Ghost Rider. Walau terlambat memeriahkan layar lebar, Marvel-lah yang berani mendobrak industri perfilman dengan menciptakan semesta film yang diberi nama Marvel Cinematic Universe (MCU).

Setelah bertahun-tahun beberapa lisensi film Marvel dipegang oleh studio film lain, Marvel Entertainment akhirnya memutuskan membentuk studio filmnya sendiri yang diberi nama Marvel Studios. Setelah membentuk studio film sendiri, mereka menggarap Iron Man (2008) sebagai pembuka MCU.

Via istimewa

Iron Man pun sukses besar dan konsep semesta di industri perfilman ternyata diterima dengan baik oleh penonton. Sejak 2010, Marvel Studios pun rutin merilis film MCU di setiap tahunnya. Film-film MCU selalu sukses besar serta diterima dengan baik oleh penonton maupun kritikus. Bahkan, Avengers: Endgame (2019) berhasil menjadi film terlaris sepanjang masa dengan pendapatan hampir 2,8 miliar dolar (sekitar Rp41,7 triliun)!

Film DC memang unggul di era 1970-an hingga 1990-an, namun mereka jelas-jelas disalip oleh Marvel di era 2010-an. Padahal pada 2007, Warner Bros. telah berniat menciptakan waralaba film DC baru yang saling terhubung lewat sekuel dan spin-off. Mereka juga telah menyiapkan proyek Justice League Mortal sebagai pembuka waralaba film DC baru ini.

Bujet yang terlalu besar dan kesulitan untuk mencari lokasi syuting membuat Warner Bros. akhirnya membatalkan proyek Justice League Mortal. Ditambah dengan kesuksesan besar The Dark Knight (2008), Warner Bros. akhirnya memilih fokus pada pengembangan film individual yang menampilkan superhero utama.

via GIPHY

Warner Bros. memang mendapatkan kesuksesan besar lewat trilogi The Dark Knight. Namun, performa Superman Returns (2006) dan Watchmen (2009) bisa dibilang biasa-biasa saja secara pendapatan. Ditambah lagi dengan Jonah Hex (2010) dan Green Lantern (2011) yang gagal total. Pada akhirnya, Warner Bros. mengikuti jejak Marvel Studios dengan merilis Man of Steel (2013) sebagai pembuka semesta film mereka, yaitu DC Extended Universe (DCEU).

Mulai Dipandang di Ajang Penghargaan Bergengsi

Superman yang dirilis pada 1978 menjadi film superhero pertama yang menerima Oscar di kategori “Best Visual Effects”. Setelah Superman, sebenarnya beberapa judul film superhero lain juga berhasil masuk nominasi hingga mendapatkan penghargaan di Oscar. Namun, kebanyakan film superhero hanya bisa bersaing di kategori efek visual, audio, atau tata rias.

Setelah sekian lama film superhero berkutat di tiga kategori tersebut, The Dark Knight akhirnya mencetak sejarah dengan mendapatkan penghargaan “Best Supporting Actor” karena penampilan Heath Ledger di film tersebut. Ledger pun menjadi aktor pertama yang mendapatkan Oscar berkat penampilannya di film superhero.

via GIPHY

Kemenangan Ledger membuktikan bahwa film superhero bukan menjadi penghalang seorang aktor untuk mendapatkan penghargaan atas kualitas aktingnya. Sejarah yang sama pun kembali terulang ketika Joaquin Phoenix mendapatkan penghargaan “Best Actor” Oscar 2020 lewat aktingnya di Joker (2019). Uniknya lagi, keduanya mendapatkan Oscar lewat peran sebagai Joker.

Setelah The Dark Knight, film superhero lainnya, yaitu Logan (2017), juga berhasil mencatat sejarah baru. Film yang disutradarai oleh James Mangold ini masuk dalam nominasi “Best Adapted Screenplay” Oscar 2018. Pencapaian ini membuat Logan menjadi film superhero pertama yang mendapatkan nominasi di kategori naskah.

Ketika Logan berhasil membuktikan bahwa naskah film superhero juga layak bersanding di ajang penghargaan sekelas Oscar, sejarah besar di dunia film superhero kembali terjadi di tahun selanjutnya. Black Panther (2018) berhasil menggegerkan dunia dengan masuk nominasi “Best Picture” Oscar 2019.

Via istin

Setelah sekian lama meramaikan layar lebar, akhirnya ada film superhero yang bisa masuk nominasi paling bergengsinya Oscar. Black Panther memang enggak keluar sebagai pemenang. Namun, peristiwa ini seakan “menaikkan derajat” film superhero di industri perfilman dan membuktikan bahwa film superhero memang mampu diperhitungkan sebagai film terbaik sebagaimana genre lainnya.

Tantangan Baru Mengembangkan Semesta Sinematik Superhero

Kesuksesan film superhero tampaknya membuat Marvel Studios dan Warner Bros. mulai berhati-hati dalam mengembangkan masa depan genre film ini ke depannya. Lihat saja MCU fase 4 yang sudah disusun sedemikian rupa oleh Marvel Studios. Mereka bahkan telah merencanakan film MCU apa saja yang bakal dirilis hingga 2022. Padahal, film MCU pertama di fase 4, yaitu Black Widow, belum dirilis karena pandemi Corona.

Belum lama ini juga, Warner Bros. membuat keputusan yang cukup mengejutkan sekaligus menggembirakan buat para penggemar DC. Bukan rahasia lagi bahwa Justice League (2017) gagal menyenangkan para penggemar. Saking kecewanya para penggemar dengan film tersebut, mereka beramai-ramai mendesak Warner Bros. untuk merilis Justice League versi Snyder Cut.

Via istimewa

Gerakan penggemar dalam meminta perilisan Justice League versi Snyder Cut enggak main-main. Mereka membombardir media sosial Warner Bros. selama dua tahun belakangan. Bahkan, mereka menyewa papan reklame untuk menuliskan pesan #ReleaseTheSnyderCut pada gelaran San Diego Comic Con 2019.

Terlambat terkadang lebih baik daripada enggak dilakukan sama sekali. Dua tahun usaha penggemar DC akhirnya terbayarkan. Warner Bros. dan Zack Snyder mengejutkan penggemar bahwa Zack Snyder’s Justice League (nama resmi Snyder Cut) resmi bakal dirilis pada 2021 di HBO Max.

Seperti yang bisa diduga, penggemar DC pun bersukacita atas pengumuman besar tersebut. Warner Bros. bisa dibilang melakukan hal yang tepat karena mereka bisa kembali mendapatkan kepercayaan penggemar DC yang kadung kecewa dengan hasil akhir Justice League. Padahal, enggak ada jaminan juga, ‘kan, bahwa versi Snyder bakal jauh lebih baik daripada versi Joss Whedon?

Via Istimewa

Di sisi lain, apa yang dilakukan Warner Bros. malah bisa jadi bumerang buat dunia film superhero ke depannya. Bukan enggak mungkin penggemar bakal melakukan hal serupa jika mereka enggak puas dengan hasil film lainnya. Pada akhirnya, studio film harus semakin berhati-hati dalam menggarap film superhero untuk menghindari kekecewaan penggemar.

Itulah sebabnya, inovasi perlu dilakukan dalam penggarapan film superhero. Walau belum semuanya, studio film mulai berani menggarap film superhero bertema “serius”, seperti trilogi The Dark Knight, Logan, dan Joker. Benar, Joker memang secara teknis bukan film superhero. Namun, film ini mengadaptasi kisah dari dunianya Batman.

Marvel Studios kini juga mulai bereksperimen dengan menambahkan sedikit elemen horor di sekuel Doctor Strange. Enggak hanya terpatok di film, mereka juga mulai mengembangkan MCU dengan berbagai serial yang bakal ditayangkan di Disney+. Uniknya lagi, Marvel Studios bakal mengemas serial WandaVision dalam bentuk sitcom.

Dengan keberagaman genre dan pengambilan tema “serius” lainnya, enggak menutup kemungkinan film superhero dapat kembali mengulang sejarah yang diukir Black Panther dan Joker. Ditambah dengan pemilihan aktor yang tepat, film superhero bisa saja menyaingi film bertema sejarah atau biopik yang kerap dipandang di ajang penghargaan.

***

Seiring berjalannya waktu, film superhero terbukti mengalami perkembangan yang pesat dan mulai dianggap sebagai genre yang serius. Enggak semata-mata mengandalkan aksi dan efek visual, film superhero juga bisa menampilkan kisah berkualitas dan kemampuan akting mumpuni para pemerannya.

Menurut kalian, apakah film superhero nantinya mampu memenangkan “Best Picture” di Oscar? Kasih tahu pendapat kalian di kolom komentar dan jangan lupa ikuti terus KINCIR biar enggak ketinggalan informasi seputar film lainnya, ya!

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.