7 Film Indonesia yang Dirilis Tepat Setelah Kemerdekaan

– Film Indonesia telah ada sejak masa lampau, bahkan sebelum kemerdekaan Indonesia.
– Sempat terhenti, sineas Indonesia kembali merilis film setelah kemerdekaan.

Industri perfilman Indonesia telah ada dan berkembang sejak masa lampau, bahkan jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Buat kalian yang belum tahu, Indonesia pertama kali membuat film yang berjudul Loetoeng Kasaroeng (1926). Walau judulnya terlihat sangat Indonesia, film Indonesia pertama ternyata disutradarai oleh dua sineas Belanda, yaitu G. Kruger dan L. Heuveldorp.

Setelah Loetoeung Kasaroeng, sineas Belanda, Tiongkok, hingga sineas asli Indonesia pun cukup aktif membuat film di setiap tahunnya. Namun pada 1945—1947, produksi film Indonesia sempat terhenti karena proses kemerdekaan Indonesia. Pada 1948, sineas Indonesia akhirnya mulai aktif lagi membuat film.

Nah, film Indonesia apa saja yang dirilis tepat setelah kemerdekaan Indonesia? Yuk, simak daftarnya!

1. Djaoeh Dimata (1948)

Via Istimewa

Film Indonesia pertama yang dirilis setelah kemerdekaan Indonesia adalah film garapan Andjar Asmara yang berjudul Djaoeh Dimata. Film yang dibintangi oleh Ratna Asmara dan Ali Yugo ini berkisah tentang seorang wanita bernama Soelastri yang merantau ke ibukota untuk mencari pekerjaan. Soelastri terpaksa merantau karena suaminya menjadi buta setelah mengalami kecelakaan.

Andjar membuat naskah Djaoeh Dimata berdasarkan drama berjudul serupa yang pernah dia tulis. Sebagai film pertama yang diproduksi oleh South Pacific Film Corporation (SPFC), proses produksi Djaoeh Dimata berlangsung selama dua hingga tiga bulan dan memakan biaya produksi hingga 130.000 gulden atau setara dengan 50.000 dolar (sekitar Rp746 juta pada saat ini).

2. Anggrek Bulan (1948)

Via Istimewa

Djaoeh Dimata bukan satu-satunya film garapan Andjar Asmara yang dirilis pada 1948. Di tahun yang sama, SPFC juga merilis film lain yang disutradarai Andjar, berjudul Anggrek Bulan. Film yang dibintangi oleh Iskandar Sucarno dan Nila Djuwita ini berkisah tentang gadis cantik yang bernama Kati yang diperebutkan oleh Atma dan Subrata.

Ternyata, Atma punya maksud lain untuk mencari tahu penyebab kematian ayahnya sekaligus melindungi adik laki-lakinya. Walau disutradarai dan dibintangi oleh orang asli Indonesia, Anggrek Bulan juga masih mendapatkan campur tangan dari sineas Belanda, termasuk di bagian sinematografi yang dipegang oleh AA Denninghoff-Stelling.

3. Air Mata Mengalir di Tjitarum (1948)

Via Istimewa

Selain SPFC, ada perusahaan produksi film lain, yaitu Tan & Wong Bros., yang juga merilis film di 1948 yang berjudul Air Mata Mengalir di Tjitarum. Film ini ditulis dan disutradarai oleh Roestam Sutan Palindih, seorang jurnalis sekaligus penulis yang menyutradarai dua film pendek pada masa pendudukan Jepang.

Air Mata di Tjitarum dibintangi oleh Sofia W. D. beserta suaminya, yaitu S. Waldy, dan Rd Endang. Fakta menariknya, Air Mata di Tjitarum menjadi film debutnya Sofia dan Rd Endang sebagai aktor. Walau dirilis enggak lama setelah Djaoeh Dimata, Air Mata di Tjitarum ternyata lebih banyak menarik minat penonton Indonesia saat ditayangkan di bioskop.

4. Bengawan Solo (1949)

Via Istimewa

Penggemar film lawas mungkin pernah mendengar film berjudul Bengawan Solo yang dirilis pada 1971. Namun, apakah kalian tahu bahwa film tersebut merupakan film remake dari Bengawan Solo yang dirilis pada 1949? Yap, setelah merilis Air Mata Mengalir di Tjitarum, Tan & Wong Bros. kemudian merilis film yang disutradarai Jo An Djan yang berjudul Bengawan Solo.

Seperti Air Mata Mengalir di Tjitarum, Bengawan Solo versi 1949 juga dibintangi oleh Sofia W. D. dan suaminya. Film ini berkisah tentang Wenangsih yang bunuh diri setelah jadi korban rayuan gombal seorang bangsawan yang bernama RM Suprapto. Skandal antara Wenangsih dan Suprapto nantinya bakal berdampak pada kehidupan salah satu anak Wenangsih yang bernama Sriwulan.

Selain Sofia dan suaminya, Bengawan Solo juga dibintangi oleh Rd Mochtar, Ratna Ruthinah, dan Rd Dadang Ismail. Sayangnya, keberadaan film ini diduga telah lenyap, sehingga cukup sulit menemukan potongan foto atau adegan dari Bengawan Solo versi 1949.

5. Gadis Desa (1949)

Via Istimewa

SPFC tentunya enggak ketinggalan merilis film di 1949. Di tahun tersebut, SPFC merilis film hasil garapan Andjar Asmara lainnya yang berjudul Gadis Desa. Dibintangi oleh Basuki Djaelani, Ratna Ruthinah, Ali Yugo, dan Djauhari Effendi, Gadis Desa berkisah tentang seorang gadis bernama Aisah yang diculik untuk menjadi istri kedua seorang hartawan.

Gadis Desa ternyata diadaptasi dari drama panggung yang Andjar tulis untuk grup teater Dardanella pada awal 1930-an. Fakta menariknya, Gadis Desa merupakan film terakhir Andjar sebagai sutradara. Setelah film ini, Andjar lebih fokus dalam penulisan naskah. Selain itu, Gadis Desa merupakan film pertama yang melibatkan Bapak Perfilman Indonesia, yaitu Usmar Ismail. Di film ini, Usmar berperan sebagai asisten sutradaranya Andjar.

6. Harta Karun (1949)

Via Istimewa

Setelah membantu Andjar Asmara di Gadis Desa, Usmar Ismail pun debut sebagai sutradara di film yang berjudul Harta Karun. Film ini ternyata diadaptasi dari sebuah karya sastrawan Prancis, Moliere, yang berjudul L’Avare ou L’École du mensonge. Harta Karun dibintangi oleh Rd Ismail, Rd Sukarno, Djuariah Karno, Djauhari Effendi, dan A. Hamid Arief.

Harta Karun berkisah tentang Abdulkadir, seorang yang kaya tetapi kikir. Ditambah lagi, Abdulkadir ternyata bekerja sebagai rentenir. Anak perempuannya Abdulkadir, yaitu Suliati, diceritakan berpacaran dengan Ahmad. Sayangnya, hubungan tersebut enggak disetujui oleh Abdulkadir, karena Ahmad adalah pemuda yang miskin.

7. Tjitra (1949)

Via Istimewa

Debut sebagai sutradara di Harta Karun, Usmar Ismail juga menggarap film lainnya di 1949 yang diberi judul Tjitra dan dirilis oleh SPFC. Film yang dibintangi oleh Rd Sukarno, Rd Ismail, dan Nila Djuwita ini berkisah tentang seorang pemuda congkak bernama Harsono. Lelaki tersebut mengambil keperawanan Suryani di perkebunan milik keluarganya.

Bukannya bertanggung jawab, Harsono malah lari ke kota. Abangnya Harsono yang bernama Sutopo yang akhirnya mengambil alih tanggung jawab tersebut dan menikahi Suryani. Walau Harta Karun dan Tjitra merupakan karya pertama Usmar, dia lebih mengakui bahwa film pertamanya adalah Darah dan Doa (1950). Soalnya, Usmar merasa bahwa proses kreatifnya dibatasi di Harta Karun dan Tjitra.

***

Itulah deretan film Indonesia yang dirilis setelah kemerdekaan Indonesia. Selain membebaskan Indonesia dari penjajahan, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia juga membuat pada sineas asli Indonesia pun lebih merdeka dalam membuat karya mereka. Jangan lupa ikuti terus KINCIR buat dapatin berbagai informasi seputar film lainnya, ya!

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.