Fenomena Whitewashing, Penyakit Rasisme di Perfilman Hollywood

– Isu Rasisme di dunia film Hollywood ternyata telah ada sejak masa lampau.
– Kesempatan aktor ras kulit putih selalu lebih besar dibandingkan aktor ras lain.

Di tengah pandemi Corona yang meresahkan dunia, Amerika Serikat digemparkan dengan kasus kematian George Floyd yang disebabkan oleh tindakan polisi yang bernama Derek Chauvin. Peristiwa ini akhirnya menimbulkan gelombang demonstrasi tentang tindakan rasisme yang masih dirasakan oleh para penduduk minoritas Amerika Serikat.

Peradaban dunia memang semakin maju. Sayangnya, masalah rasialisme masih tetap ada hingga saat ini. Percaya enggak percaya, Hollywood yang dianggap sebagai pusat perfilman dunia nyatanya juga masih didominasi oleh golongan ras tertentu. Padahal, Amerika Serikat termasuk salah satu negara yang dihuni oleh berbagai ras.

Kalian mungkin pernah melihat seorang aktor ras kulit putih yang memerankan karakter dengan ras berbeda di film Hollywood tertentu? Yap, itulah yang disebut sebagai whitewashing. Nah, kali ini, KINCIR bakal membahas fenomena whitewashing yang masih terjadi di film Hollywood hingga saat ini. Yuk, simak!

Rasisme Masa Lampau Batasi Kesempatan Aktor Ras Nonputih

Rasisme memang masih menjadi masalah besar masyarakat di masa kini. Namun kenyataannya, rasisme di masa lampau jauh lebih parah, bahkan juga berdampak pada industri film Hollywood. Daripada merekrut aktor ras lain, para sineas Hollywood zaman dulu lebih memilih mendandani aktor ras kulit putih hingga menyerupai penampilan ras lain.

Pernah dengar istilah blackface atau yellowface? Nah, kedua kata tersebut merupakan istilah untuk penggunaan tata rias dalam mengubah aktor menjadi karakter yang rasnya berbeda. Praktek penggunaan blackface dan yellowface telah ada di film Hollywood sejak awal 1900-an. Kalian sendiri sudah tahu belum apa bedanya blackface dan yellowface?

Blackface merupakan penggunaan tata rias agar aktor ras nonhitam dapat menjelma menjadi karakter ras kulit hitam. Sebelum diterapkan di film era 1900-an, blackface terlebih dulu populer digunakan di berbagai pertunjukkan panggung Amerika Serikat sejak era 1820-an.

Ketika ada film era 1900-an yang menggunakan aktor ras kulit hitam, sineas ternyata tetap menggunakan blackface di film Hollywood. Hal ini terjadi di film Uncle Tom’s Cabin (1914). Aktor ras kulit hitam yang bernama Sam Lucas menjadi pemeran utama di film ini. Namun, sutradara William Robert Daly tetap merekrut aktor ras kulit putih yang diberi blackface untuk memerankan Topsy.

Setahun dirilisnya Uncle Tom’s Cabin, sutradara D. W. Griffith merilis film garapannya yang berjudul The Birth of Nation (1915). Film ini juga menggunakan aktor ras kulit putih untuk memerankan semua karakter ras kulit hitamnya. Penggunaan blackface-nya memang enggak diprotes pada saat itu, namun cara The Birth of Nation menggambarkan karakter ras kulit hitamnya akhirnya menimbulkan kontroversi.

Di The Birth of Nation, karakter ras kulit hitam digambarkan sebagai orang yang kekanak-kanakan dengan kemampuan mental yang terbatas bahkan agresif secara seksual kepada cewek ras kulit putih. Enggak heran film Hollywood tersebut akhirnya menyinggung para penduduk ras kulit hitam, hingga mereka membuat petisi dan melakukan demonstrasi untuk melarang penayangan film tersebut.

Lalu, apa itu yellowface? Jika blackface membuat aktor menjadi karakter ras kulit hitam, maka yellowface adalah penggunaan tata rias agar aktor ras kulit putih memiliki penampilan layaknya karakter dari Asia Timur. Pada era 1900-an, karakter Asia Timur biasanya digambarkan sebagai pelayan yang bodoh, tukang cuci, dan pencandu opium yang suka menggoda cewek ras kulit putih di pecinan. Karakter tersebut tentunya diperankan oleh aktor yang menggunakan yellowface.

Lalu, memasuki era 1910-an, Hollywood mulai memperluas stereotip karakter Asia Timur di berbagai film. Salah satu penggunaan yellowface yang cukup ikonis di era tersebut ada di film Madame Butterfly (1915). Di film Hollywood tersebut, aktris Mary Pickford berperan sebagai karakter Jepang yang bernama Cho-Cho-San.

Madame Butterfly memunculkan stigma baru pada karakter cewek Asia Timur yang disebut Lotus Blossom. Stigma ini mengacu pada karakter cewek Asia Timur yang digambarkan pasif, penurut, dan tersedia secara seksual untuk lelaki ras kulit putih. Padahal pada saat itu, kisah cinta antar ras masih dianggap tabu di Amerika Serikat.

Pada era 1930-an, ada kasus yellowface yang membuat seorang aktris Hollywood keturunan Tiongkok harus merelakan pekerjaannya kepada aktris ras kulit putih. Saat Metro-Goldwyn-Mayer (MGM) hendak mengadaptasi novel The Good Earth untuk menjadi film Hollywood, mereka mengaudisi Anna May Wong untuk memerankan karakter utamanya, yaitu O-Lan.

Namun, MGM berubah pikiran ketika aktor Paul Muni mendapatkan karakter cowok utamanya, yaitu Wang. Pada era tersebut, Hollywood masih memiliki peraturan bernama Hays Code, yang salah satu larangannya adalah enggak mengizinkan aktor ras kulit putih terlibat cinta dalam layar dengan aktor ras berbeda. Bahkan, hukum tersebut berlaku bagi aktor yang melakukan blackface atau yellowface.

Akibat Wong dan Muni enggak bisa dibuat menjadi sepasang kekasih di layar lebar, MGM akhirnya merekrut aktris ras kulit putih bernama Luise Reiner sebagai O-Lan. MGM kemudian menerapkan yellowface kepada Muni maupun Reiner. Gagal mendapatkan peran O-Lan, MGM sempat menawarkan peran Lotus kepada Wong yang akhirnya ditolak.

Selain kecewa karena gagal memerankan O-Lan, Wong menolak Lotus karena jenuh memerankan karakter penggoda yang menjadi stigma bagi karakter cewek Asia Timur di Hollywood pada saat itu. Wong bahkan pernah protes dengan keputusan Hollywood yang hanya memberinya peran yang itu-itu saja.

Dilansir Los Angeles Times, Wong berkata, “Saya sangat lelah dengan peran yang harus saya mainkan. Mengapa orang Tiongkok di layar lebar hampir selalu menjadi penjahat, kejam, pembunuh, atau pengkhianat. Kami sama sekali enggak seperti itu.”

Setelah Blackface dan Yellowface, Terbitlah Whitewashing

Seiring perkembangan zaman, sineas Hollywood semakin berani dalam mengeksplorasi tema di filmnya. Mereka pun mulai mengabaikan berbagai larangan yang tertulis pada Hays Code, dengan menampilkan adegan yang lebih sensual dan memasukkan unsur yang masih dianggap tabu di Amerika Serikat pada saat itu.

Bahkan pada 1967, sutradara Stanley Kramer merilis sebuah film yang berjudul Guess Who’s Coming to Dinner yang menggunakan aktor ras kulit hitam sebagai pemeran utamanya dan mengangkat tema kisah cinta beda ras di filmnya. Bahkan, Guess Who’s Coming to Dinner menghadirkan adegan ciuman pertama antara aktor berbeda ras di Hollywood.

Akibat banyaknya sineas yang mulai mengabaikan Hays Code, Motion Picture Association of America (MPAA) pun menyusun sistem klasifikasi yang dianggap lebih bekerja dibandingkan sistem sensor Hays Code. Tepat pada 1 November 1968, MPAA resmi mengganti Hays Code dengan sistem rating alfabet yang masih digunakan hingga saat ini.

Dengan ditiadakannya Hays Code dan hilangnya larangan untuk menampilkan kisah cinta yang diperankan oleh aktor berbeda ras, kesempatan aktor ras nonputih untuk tampil di film Hollywood pun semakin besar. Ditambah lagi, penggunaan blackface mulai ditinggalkan sejak era 1970-an dan penggunaan yellowface pun enggak seekstrem dulu.

Memang masih ada beberapa kasus blackface atau yellowface yang dijumpai di era perfilman modern, seperti di Soul Man (1986), Tropic Thunder (2008), dan Cloud Atlas (2012). Namun dengan berkurangnya penggunaan blackface dan yellowface, Hollywood malah menggunakan metode whitewashing dalam pemilihan aktor.

Whitewashing merupakan istilah yang menggambarkan kebiasaan sineas memilih aktor ras kulit putih untuk memerankan karakter ras lain. Lalu, apa bedanya dengan blackface maupun yellowface? Blackface dan yellowface menggunakan tata rias hingga mengubah tampilan fisik aktor menyerupai ras tertentu, sedangkan whitewashing memaksakan aktor ras kulit putih untuk memerankan karakter ras lain tanpa harus mengubah tampilan fisiknya.

Salah satu contohnya adalah Wanted (2008), film yang diadaptasi dari buku komik yang berjudul sama. Di film tersebut, Angelina Jolie berperan sebagai Fox. Padahal, Fox digambarkan sebagai karakter ras kulit hitam di komiknya. Supaya Jolie mau bergabung, Universal Pictures sampai rela menulis ulang naskah Wanted agar karakter Fox bisa disesuaikan ke Jolie.

Wanted adalah salah satu kasus penerapan whitewashing kepada karakter ras kulit hitam. Enggak hanya berhenti di karakter ras kulit hitam saja, whitewashing juga pernah terjadi pada karakter ras Asia. Salah satu kasus whitewashing pada karakter Asia yang cukup menggemparkan terjadi pada film Ghost in the Shell (2017).

Paramount Pictures merekrut Scarlett Johansson untuk memerankan karakter utama di film yang diadaptasi dari manga ini. Seperti yang bisa diduga, keputusan Paramount Pictures langsung menuai protes. Penggemar sampai membuat petisi agar Paramount Pictures mengganti Johansson dengan aktris keturunan Asia Timur.

Di sisi lain, Paramount Pictures tetap kekeh memilih Johansson karena sutradara anime Ghost in the Shell, Mamoru Oshii, enggak keberatan dengan pemilihan aktrisnya. Alih-alih menggunakan nama Motoko Kusanagi, tim produksi akhirnya menggunakan nama kebarat-baratan, yaitu Mira Killian, kepada karakter utama film Ghost in the Shell.

Karakter ras asli Amerika juga pernah kena sasaran whitewashing di layar lebar. Disney pernah menunjuk Johnny Depp untuk memerankan Tonto, karakter ras asli Amerika, di film The Lone Ranger (2013). Saat penunjukkan Depp menimbulkan perdebatan, sang aktor bersikeras bahwa dirinya memiliki darah ras asli Amerika.

Selain kekeh bahwa dirinya memiliki darah ras asli Amerika, Depp menegaskan bahwa dirinya akan menyingkirkan berbagai stigma tentang ras asli Amerika lewat perannya sebagai Tonto. Depp sampai bertemu dengan para tetua suku Comanche untuk meminta arahan dalam memerankan Tonto.

Dengan banyaknya aktor berbakat dari berbagai ras, mengapa Hollywood masih saja bersikeras memilih aktor ras kulit putih untuk memerankan karakter ras lain? Menurut Jeffery Mio, penulis buku Multicultural Psychology: Understanding Our Diverse Communities, praktik whitewashing berhubungan dengan sineas yang hanya merekrut orang yang familier dengannya.

“Sebagian dari whitewashing terjadi karena seseorang memilih orang lain yang membuat mereka merasa nyaman. Seseorang merasa lebih nyaman dengan orang lain yang memiliki latar belakang yang sama. Padahal Amerika Serikat terdiri dari masyarakat multikultural, tapi kami masih cenderung mengisolasi diri,” ujar Mio.

Hollywood yang Mulai Sadar tentang Keberagaman

via GIPHY

Kenyamanan para sineas Hollywood dalam merekrut aktor ras kulit putih sebenarnya juga berdasar pada ketidakpercayaan mereka terhadap aktor ras lain. Menurut Andrew Weaver, asisten profesor di Indiana University, Hollywood masih memiliki sedikit kepercayaan bahwa aktor ras lain dapat membawa kesuksesan filmnya.

“Hollywood pesimis bahwa film bisa sukses dengan pemain minoritas. Mereka lebih memilih merekrut aktor ras kulit putih jika masih dianggap memungkinkan untuk memaksimalkan penonton,” ujar Weaver.

Kasus yang terjadi di Wanted, Ghost in the Shell, dan The Lone Ranger menjadi bukti bahwa sineas Hollywood masih meyakini bahwa aktor ras kulit putih ternama mampu mengangkat kesuksesan filmnya. Namun, keberadaan aktor kelas A juga enggak selalu menjamin kesuksesan filmnya.

The Lone Ranger dan Ghost in the Shell terbukti gagal di pasaran. The Lone Ranger hanya mendapatkan pemasukan 260 juta dolar dari bujet 215 juta dolar, sedangkan Ghost in the Shell hanya mendapatkan pemasukan 169 juta dolar dari bujet 110 juta dolar. Di sisi lain, semakin banyak film yang dibintangi aktor ras lain yang mulai mendapatkan pengakuan dan kesuksesan di masa kini.

Lihat saja waralaba Bad Boys yang mengusung dua aktor ras kulit hitam sebagai pemeran utamanya, yaitu Will Smith dan Martin Lawrence. Waralaba yang dimulai sejak 1995 ini diterima dengan baik oleh penonton bahkan sampai berkembang hingga menjadi tiga film. Jeda 17 tahun antara film kedua dan ketiganya pun enggak menyurutkan minat penonton untuk menyaksikan Bad Boys for Life (2020).

Kebangkitan film Marvel di era 2000-an pun terjadi setelah New Line Cinema merilis film tentang superhero ras kulit hitam, yaitu Blade (1998). Bahkan, film Marvel lainnya yang didominasi oleh aktor ras kulit hitam, yaitu Black Panther (2018), berhasil mengantongi pemasukan lebih dari 1 miliar dolar!

Kesuksesan juga enggak hanya dialami oleh film yang didominasi aktor ras kulit hitam. Pada 2018, Warner Bros. merilis sebuah film yang pemerannya didominasi aktor ras Asia, yaitu Crazy Rich Asians. Representasi ras Asia di Hollywood memang belum sebanyak ras kulit hitam. Namun, siapa sangka Crazy Rich Asians sukses besar dan mendapatkan pemasukan 238 juta dolar dari bujet 30 juta dolar!

Melihat semakin tinggi minat penonton terhadap film yang didominasi oleh aktor ras nonputih tampaknya membuat sineas Hollywood semakin percaya diri untuk memproduksi film dengan aktor yang beragam. Apalagi, penonton masa kini lebih vokal dalam menunjukkan ketidaksetujuan mereka dalam pemilihan aktor.

Sukses dengan Aladdin (2019) yang menampilkan berbagai aktor ras Timur Tengah, Disney juga menggarap film live action Mulan yang direncanakan rilis di tahun ini. Setelah diwanti-wanti penggemar mengenai whitewashing pada sebuah petisi, Disney akhirnya merekrut aktris Tiongkok, Liu Yifei, untuk menjadi pemeran utamanya.

Selain Mulan, Disney juga sedang menggarap film superhero Asia Marvel, yaitu Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings. Disney kembali melibatkan aktor ras Asia sebagai sang superhero dan villain di film tersebut, yaitu Mandarin. Padahal, Disney sempat menggemparkan penggemar dengan memilih aktor Inggris Ben Kigsley untuk memerankan Mandarin di Iron Man 3 (2013).

Enggak hanya dari sutradara, produser, dan penonton, aktor sebenarnya juga punya peranan penting dalam proses penghentian praktik whitewashing. Seperti yang dilakukan oleh Ed Skrein ketika terpilih menjadi pemeran Major Ben Daimio di film reboot Hellboy (2019). Padahal, Daimio diceritakan sebagai karakter keturunan Jepang di komiknya.

Pada akhirnya, Skrein memutuskan untuk mundur dari proyek Hellboy karena perdebatan yang terjadi di kalangan penggemar. Skrein mengaku menerima peran tersebut karena awalnya dia enggak tahu bahwa Daimio adalah karakter keturunan Jepang. Setelah Skrein mundur, Lionsgate akhirnya merekrut aktor Asia Daniel Dae Kim untuk berperan sebagai Daimio.

***

Sikap tegas dari penonton dan aktor tampaknya memiliki peranan besar untuk membuat praktik whitewashing semakin menjauh dari Hollywood. Bagaimana orang tahu bahwa aktor ras lain juga sama berbakatnya dengan aktor ras kulit putih, jika Hollywood sendiri membatasi kesempatan untuk para aktor dari ras minoritas.

Lalu, apa pendapat kalian mengenai whitewashing di Hollywood? Apakah kalian setuju jika Hollywood harus semakin terbuka dengan para aktor ras nonputih? Kasih tahu pendapat kalian di kolom komentar dan jangan lupa ikuti terus KINCIR biar enggak ketinggalan informasi seputar film lainnya, ya!

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.